Mendobrak Liberalisme Baru

Mendobrak Liberalisme Baru*

SETELAH lama terpuruk oleh konsep ekonomi state-led development, atau yang di Indonesia lebih dikenal dengan istilah “pembangunanisme”, liberalisme kini kembali merangsek, merangkak, dan sedang mempersiapkan diri untuk berlari. Namun kali ini sedikit berbeda, dengan embel-embel “neo”. Kawasan dunia ketiga dan “kedua” menjadi bidikan utama konsep ekonomi ini.

Tercatat sebagian negara, termasuk Indonesia, telah mengimplementasi kebijakan ekonomi model neoliberalisme. Namun, ironisnya, bukannya reda dan membaik, “demam” krisis ekonomi justru semakin parah. Padahal, dalam manifestonya, neoliberalisme menjanjikan kondisi sebaliknya.

Mansour Fakih, penulis buku ini, mengungkap sejuta borok dan mitos hitam neoliberalisme. Ia melakukan penelusuran atas dampak penerapan kebijakan ekonomi berbendera neoliberalisme—termasuk diIndonesiadan dunia ketiga umumnya. Tersurat beberapa data dan fakta tentang mitos neoliberalisme, dan Fakih menyerukan satu suara: bebaskan diri dari neoliberalisme!

Tapi, semudah itukah? Jelas tidak. Bukan karena jerat neoliberalisme erat mengikat nadi leher perekonomian negara dunia ketiga. Tapi lebih buruk dan kompleks dari itu adalah persoalan indoktrinasi ideologis yang menancap di kedalaman kognisi kita. Lebih dari itu, persoalannya juga adalah: konsep ekonomi apa yang akan ditawarkan sebagai pengganti neoliberalisme? Sebab, secara faktual, state-led development, yang awalnya dianggap sebagai konsep ekonomi alternatif setelah kapitalisme liberal memurukkan banyak negara ke dalam great depression pada 1930, ternyata juga gagal menjalankan perannya.

Buku ini tidak sampai pada upaya pencarian konsep ekonomi pengganti bagi neoliberalisme, tapi sekadar menguak efek negatif neoliberalisme. Fenomena ini serupa dengan yang dilakukan kalangan postmodernis ketika mereka berhasil mengorek borok modernitas tapi tak mampu menyediakan “bangunan” alternatif sebagai tempat bernaung pengganti modernisme.

Membebaskan diri dari neoliberalisme, menurut pandangan kalangan ini, merupakan keharusan agar tidak terjebak dalam kondisi yang bahkan lebih buruk dari yang pernah diciptakan kapitalisme liberal. Sebab, secara substansial, neoliberalisme justru lebih eksploitatif, diskriminatif, dan dominatif dibanding kapitalisme liberal. Namun, mereka juga mengecam keras model state-led development yang dinilai hanya menjadi alat legitimasi negara untuk melakukan dominasi, monopoli, diskriminasi, serta eksploitasi.

Ibarat buah simalakama, dalam kondisi demikian kalangan penentang neoliberalisme terjebak dalam dilematisme. Mereka enggan menganut neoliberalisme, tapi juga tak mau kembali pada model state-led development. Lalu, apa model konsep ekonomi alternatif pengganti neoliberalisme? Penulis buku ini hanya menjawab bahwa konsep itu harus terus memihak rakyat miskin dan membela kaum tertindas. Cukup singkat, padat, radikal, tapi tetap belum menjawab persoalan.

Adasatu kejanggalan gagasan dalam buku ini. Secara konseptual, sebagai penentang neoliberalisme, Fakih menolak kembali pada model state-led development. Namun, secara faktual, seluruh gagasannya berisi “nasihat” dan anjuran untuk mengembalikan peran negara sebagai protektor rakyat miskin dan pengawas agar tidak terjadi tindak dominasi, monopoli, dan eksploitasi ekonomi. Bukankah ini merupakan konsepsi teoretis model state-led development? Hanya, secara faktual, dalam implementasinya dulu konsep ini dimanipulasi menjadi dominasi, monopoli, diskriminasi, serta hegemoni negara.

Dengan kata lain, apakah cita-cita kalangan penentang neoliberalisme sebenarnya adalah kembali pada autentisitas konsep state-led development yang diimplementasi secara konsisten dan prosedural? Jawabannya masih belum pasti. Tapi, jika tidak demikian, apakah kalangan pasca-neoliberalisme mencita-citakan konsep ekonomi dengan sistem proteksi kenegaraan yang berbeda dengan konsep state-led development?

*Muhammad Ja’far (peminat studi filsafat). Sumber: Majalah TEMPO – 16 Februari 2004.

*Rehal buku: Bebas dari Neoliberalisme/ Mansour Fakih/ INSISTPress, 2003.