Dari Rimba dengan Empati

Dari Rimba dengan Empati*

“Belanguunn, ibuk gurua tiba!!! Mumpamono kabaron kawana gaek lapay?” (Astagaa… ibu guru datang!!! Bagaimana kabarmu, hai gadis lapuk?)

Dia datang dari jauh seperti pertapa. Serupa bijak bestari muda.

Dari rimba, dia sodorkan sebuntal inspirasi dan juga harapan. Dia datang tanpa muntahan kata-kata dalam perdebatan sebagaimana riuhnya genderang perang tiap tahun antara pemerintah dan orangtua murid yang anak-anaknya tak lulus ujian nasional. Atau para aktivis pendidikan yang menggertak pemerintah di jalanan untuk merealisasi anggaran 20 persen dari APBN untuk pendidikan.

Dia memang seorang aktivis. Tapi jangan bayangkan dia seperti sosok Chico Mendes yang menyusun basis revolusi di pedalaman. Atau seperti Vandana Shiva yang menyusun tesis yang ribet tentang konservasi alam.

Mulanya, ketika memasuki rimba Jambi, dia masih memacak niat untuk memodernkan Orang Rimba lewat sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang memanggilnya. Akan tetapi, niat itu tertelikung dan runtuh bahwa Orang Rimba harus dikasihani dengan mental pesimistis dan tak melihat mereka dalam posisi yang sederajat.

Setelah sekian lama berinteraksi, dia sadar bahwa orang-orang rimba itu hanya butuh sekelumit pengetahuan tentang baca, tulis, dan hitung untuk berinteraksi dengan orang lain di perkotaan agar mereka terhindar dari mangsa penipuan. Mereka tak perlu diceramahi bagaimana menjaga hutan. Mereka tak perlu diajarkan ilmu konservasi yang njlimet hanya untuk memahami kenapa hutan perlu bestari. Yang barangkali perlu adalah bagaimana memasok keunggulan diri Orang Rimba dan membantu menggali potensi kolektif itu serta hak-hak mereka di hadapan hukum kalau ada sengketa lahan.

Kitab kearifan hidup

Saur Marlina Manurung atau akrab dipanggil Butet adalah nama pertapa muda yang progresif itu. Mengantongi dua ijazah, antropologi dan bahasa, perempuan yang menghabiskan waktu kecilnya di Leuven, Belgia, ini memasuki rimba seorang diri dengan segenap keraguan. Langkah ragu Butet itu mengingatkan saya kepada perjalanan yang sama yang dilakukan penyair dan pemenang Nobel Sastra 1971 asal Chile, Pablo Neruda, ketika memasuki jantung kesunyian Pegunungan Andes.

Dengan puitis, Neruda menggambarkan perjalanannya di antara bianglala rimba itu sembari membisikkan sebaris mantra, “dengan kesabaran membara kita akan taklukkan kotaagung yang bakal memberi cahya, keadilan, dan martabat bagi segenap umat manusia.”
Dengan lirih dan sederhana, Butet juga menuliskan, “penyusupannya” di antara celah dedaunan belantara, akar bahar raksasa, selapisan tanah yang mengendap selama berabad-abad, dan pohon jangkung sialang (madu) yang disucikan. Lalu didapatkannya dirinya menggigil ketakutan di tengah dangau sendirian seperti tercampak di sebuah dunia yang gaib, rahasia, dan sekaligus menjadi ruang sengketa terbuka.

Catatan harian Butet yang berjudul Sokola Rimba ini bukan hanya catatan tentang etnografi rimba dan upaya dia mendirikan sokola (baca: sekolah), melainkan juga kitab kearifan hidup berdampingan dengan manusia-manusia di dalamnya. Buku ini adalah kunci dan Butet adalah patok dari semua proses itu. Boleh jadi sudah banyak yang melakukan hal serupa sebelum Butet, tetapi kehadiran Butet adalah momentum untuk melihat bagaimana pemberdayaan itu diukur.

Kader guru Butet memulai segalanya dengan sangat perlahan. Awalnya Butet digeret oleh sebuah tenaga donor dengan pelbagai target. Laporan-laporan dan foto-foto kegiatannya adalah nyawa bagi mengalirnya dana dari pemberi donor. Dia tersiksa. Nuraninya berontak. Lalu dia memilih jalan sendiri.

Tapi jangan membayangkan Sokola Rimba Butet adalah sepetak bangunan tembok dan beratap seng bantuan inpres selazimnya. Sokola itu hanya dangau kecil tak berdinding agar jika tak dibutuhkan lagi, bisa segera ditinggalkan. Ini adalah sekolah nomaden, sekolah yang mendatangi murid dan bukan sebaliknya. Maka jika ditanya, di manakah alamat Sokola Rimba itu, Butet menjawab enteng: pada koordinat 01’ 05’ Lintang Selatan-102’ 30’ Bujur Timur. Pasalnya, sentra sokola itu tak pasti desa ataupun kecamatannya.

Di sokola itulah Butet membagikan buku tulis bergaris, pensil, dan pena secukup yang dia punyai. Yang tidak kebagian disilakan mengambil ranting dan menggarisi tanah. Saat tiba waktunya menggambar, seorang murid menangkap seekor kijang kecil. Binatang lucu itu ditidurkan di atas kertas dan mulailah sang murid menggambar ruas-ruas tubuh kijang tersebut.
Luas kawasan yang disisir Butet meliputi rimba Bukit Dua Belas dan Bukit Tiga Puluh. Dia sadar bahwa tenaganya tak sanggup merengkuh itu. Dia juga tak mungkin memanggil orangkota yang pasti akan menyulitkannya. Maka, dibuatnya sistem melatih anak-anak yang sudah mahir untuk menjadi guru. Butet mengistilahkan tim kecilnya ini sebagai kader guru. Dengan 14 kader guru angkatan pertama Sokola Rimba inilah Butet terus merangsek ke jantung rimba.

Sedapat mungkin materi yang diajarkannya langsung bisa dirasakan manfaatnya. Bagi Butet, sekolah harus berkontribusi langsung bagi kehidupan dan mampu membuat Orang Rimba menyadari siapa dirinya, posisinya, dan memberi tahu akan seperti apa dia kelak.
Persoalan besar yang dihadapi Orang Rimba, sebagaimana diinventarisasi Butet dengan lirih dan kerap meledak-ledak, adalah bahwa hutan yang kian sempit, sementara mereka sudah berada dalam kepungan pasar.

Pemerintah mengklaim bahwa taman nasional (TN) atau hutan yang dilindungi sudah banyak di Jambi, seperti TN Berbak, TN Kerinci Seblat, TN Bukit Tiga Puluh, dan TN Bukit Dua Belas. Namun, tak pernah diberi tahu masih berapa sisa pohon yang garis tengahnya lebih dari satu meter seusai digebuk habis-habisan buldoser perkebunan, sementara debit air menurun dan banyak tanaman obat-obatan tradisional yang raib.

Kebebasan memilih Pada posisi yang memakzulkan Orang Rimba itu, Orang Terang datang menawarkan pilihan yang memaksa: keluar hutan dengan agama baru (Islam atau Kristen) dan hidup dengan hasil kelapa sawit. Padahal untuk memilih, mereka mesti dibebaskan membandingkan.

Dan kebebasan itu tak pernah mereka dapatkan lantaran stereotip yang menangkar dalam masyarakat, dan bahkan di kepala rekan-rekan Butet yang aktivis. Bahwa Orang Rimba tak mengenal teknologi termutakhir seperti e-mail, motor, celana jins, bahkan kalau perlu mereka memakai cawat terus supaya terlihat eksotis, alami, dan sebagainya yang khas pikiran para pelancong. Dengan stereotip itu sebetulnya kita telah menutup pintu kebebasan mereka untuk memilih yang mereka sukai, apakah memakai baju tradisional atau jins. Bukankah kita tak berhak mengatakan mana yang lebih baik untuk mereka?

Untuk menanamkan kebebasan memilih itulah, Butet tetap bertahan. Mulanya dia sendiri habis-habisan menjaga asa agar tak meredup di jantung gelap rimba. Mengajarkan membaca, menulis, berhitung, menggambar, dan memberi tahu hak-hak mereka adalah dasar ilmu buat kelak mereka memilih dan menentukan nasibnya sendiri. Beberapa orang memang turut bergabung dari usaha pendidikan Orang Rimba ini dan mendirikan lembaga bernama Sokola, namun Butet tetaplah magnet dan patok dari semua jerih kecil tapi dikerjakan dengan penuh sadar itu.

Butet adalah nurani pendidikan yang sudah sangsai dan boyak oleh cakar kapitalisme. Yang disodorkannya tiada lain adalah empati. Dengan berempati, orang-orang rimba itu merasa dihargai dan diperhatikan dengan tulus. Sebab pengalaman juga yang membisiki bahwa Orang Rimba sudah terlampau paranoid dengan setiap keasingan yang menyusup di antara dedaunan belantara kekuasaan mereka. Hanya dengan bibit empati yang disebar Butet dan kesabaran membara, sekat itu koyak dan ketulusan itu bersambut.

*Muhidin M Dahlan, Pegiat I:BOEKOE Yogyakarta. Artikel ini dipublikasikan pertama kali di  Harian KOMPAS – Minggu, 02 September 2007.

*Rehal buku: Sokola Rimba: Pengalaman Belajar Bersama Orang Rimba/ Butet Manurung/ INSISTPress, 2007.