Era Kompeni VOC akan Berulang Kembali?

Era Kompeni VOC akan Berulang Kembali?*

Tak perduli apapun profesi atau pekerjaaan anda, dimanapun tempat dimana anda tinggal, dokter, pedagang klontong, atau buruh, karyawan, petani, nelayan, bahkan pengangguran sekalipun. Tinggal di Jakarta, atau di Papua, atau bahkan di ujung gunung terpencil sekalipun. Hidup anda akan terpengaruh oleh kesepakatan- kesepakatan yang dibuat oleh aparat birokrasi pemerintah dalam soal TRIPs (Trade Related Intelectual Property Rights).

Dalam proses perundingan mencapai suatu kesepakatan perdagangan dunia yang diprakarsai oleh WTO (World Trade Organisation) bukanlah semata soal kompromi dagang semata saja.. Tetapi lebih dari itu. Lebih merupakan proses kompromi politik antar negara.

Memang yang berunding adalah pemerintah, namun yang dirundingkan adalah hak para perusahaan raksasa multinasional untuk mendapatkan akses pasar, kemudahan persyaratan, dan berbagai fasilitas lainnya.

Kesepakatan yang diteken oleh para petinggi negara kita itu, bukan hanya urusan milik para aparat Birokrasi Pemerintah saja. Karena kesepakatan di forum tersebut, akan berpengaruh pada pekerjaan dan kehidupan kita, apa pun profesi yang kita tekuni dan apa pun juga mata pencaharian yang menjadi gantungan hidup kita. Pengaruhnya bukan hanya mempunyai dampak konsekuensi di kalangan pedagang dan pengusaha saja.

Seorang dokter yang berdedikasi ingin memastikan pasien miskinnya memperoleh akses obat murah, seorang petani gurem dipelosok desa di pucuk bukit yang tiap hari kerjanya hanya menanam palawija saja, tak akan dapat menghindarkan diri, dalam kehidupan dan sumber penghidupannya akan berhadapan dengan konsekuensi dari kesepakatan yang dibuat oleh pemerintahnya dalam soal TRIPs (Trade Related Intelectual Property Rights).

Pemeritah sebuah negara (biasanya negara-negara ketiga) diharuskan untuk menjalankan kewajibannya dibawah payung kesepakatan WTO. Ironisnya, kesepakatan itu justru perusahaan-perusaha an swasta multinasional atau biasa disebut dengan MNC (Multi Nasional Corporations) yang menikmati keuntungannya.

Demi kepentingan perusahaan multinasional itu, jajaran birokrat pemerintah negara-negara ketiga itu sangat bersemangat serta giat bekerja keras, memeras otak dan mengernyitkan dahi untuk mencarikan solusi dan jalan agar proses liberalisasi pasar di domestik negerinya dapat berjalan sempurna.. Kemudian dengan penuh semangat pula membujuk dan melakukan kesepakatan politik dengan parlemen negaranya agar dilakukan regulasi terhadap  perundang-undangan sebagai konsekuensi kesepakatan WTO itu.

Dan seringkali para birokrat untuk memuluskan kepentingan itu, tak akan segan-segan untuk menuntut adanya tumbal yang mengorbankan kepentingan rakyat di negaranya sendiri.

Akhirnya, WTO kemudian hanyalah menjadi alat bagi negara maju untuk menguasai tidak hanya perdagangan, tetapi juga berbagai aspek kehidupan lainnya. Dan yang paling utama, WTO telah menjadi alat untuk memajukan genda globalisasi korporasi menuju dominasi perusahaan-perusaha an multinasional atas kehidupan masyarakat awam kebanyakan, yang ada di dunia ketiga.

Salah satu contohnya adalah tentang bagaimana nasib petani pisang Karibia ditentukan oleh WTO melalui gugatan Amerika Serikat terhadap pilihan pisang Uni Eropa. Pisang adalah salah satu sumber pendapatan utama para petani kecil di negara-negara miskin di Karibia, dan negara itu sangat mengandalkan pasar Uni Eropa, kebetulan Uni Eropa pun juga lebih menyukai pisang dari bekas negara jajahannya tersebut.

Kemudian, Amerika Serikat menggugat Uni Eropa ke WTO. Amerika Serikat mengatakan bahwa tindakan Uni Eropa itu sebagai perlakuan tidak adil (diskriminasi) terhadap pisang produksi Amerika Tengah.

Pada tahun 1997, panel penyelesaian sengketa di WTO memutuskan bahwa Uni Eropa melanggar ketentuan WTO, dan Amerika Serikat dipersilahkan mengajukan sanksi sebesar USD 200 juta apabila Uni Eropa tetap memilih pisang dari Karibia dan menolak pisang dari Amerika Tengah. Keputusan WTO ini tentu saja amat memukul para petani pisang di Karibia.

Pertanyaan mengapa Amerika Serikat yang tidak mempunyai produksi pisang melakukan gugatan atas perdagangan pisang Karibia-Uni Eropa serta memperjuangkan pisang Amerika Tengah ?.

Rupanya hal ini karena banyak perusahaan raksasa Amerika Serikat mempunyai perkebunan pisang di Amerika Tengah. Dan, mereka tidak hanya ingin mengekspor pisang ke Uni Eropa saja namun juga ingin mendapatkan pangsa pasar yang besar.

Artinya, perusahaan-perusaha an raksasa Amerika Serikat dibantu pemerintahnya untuk bersaing mendapatkan pangsa pasar melawan petani gurem di Karibia lewat peraturan WTO. Sementara pemerintah Karibia tidak berdaya melawan adidaya yang hanya bisa mengatakan bahwa ‘peraturan WTO itu sah karena disepakati sekian banyak negara’.

Ini adalah cerminan bagaimana perusahaan raksasa menggunakan negara adidaya untuk menggilas mereka yang kecil dan lemah.

Demikianlah peraturan pasar bebas, seolah-olah pertarungan yang tidak berimbang itu menjadi sah dan adil, bagaikan pertarungan Mike Tyson melawan Elyas Pical, seumpamanya. .

Jangan amsalkan pertarungan antara Goliath melawan Daud, karena Nabi Daud mendapatkan bantuan mukjijat dari Tuhan. Apakah Karibia akan mendapatkan bantuan mukjijat serupa ?. Tidak, dan akhirnya petani pisang di Karibia pun dibiarkan oleh pemerintahnya, tergilas oleh kepentingannya perusahaan-perusaha an raksasa Amerika Serikat.

Itulah persoalan mendasar di WTO, peraturan dan mekanisme WTO tidak adil dan seimbang bagi negara-negara berkembang di dunia ketiga.

Memang kita teramat sering mendengar bahwa WTO adalah organisasi berdasarkan peraturan (rules based organisation) dan juga berwatak demokratis. Demikian yang selalu didengung-dengungka n oleh negara maju dan para kompradornya di dunia ketiga. Bahkan tak sedikit, para pakar dan intelektual dari universitas paling terkemuka di dunia ketiga, ikut-ikutan berandil dengan menjadi spin doctor bagi kepentingannya perusahaan-perusaha an raksasa Amerika Serikat.

Menjadi anggota lembaga multilateral seperti WTO mungkin memang mempermudah suatu negara mengekspor barang ke negara sesama anggota, tanpa melewati prosedur bilateral yang kadang juga menyulitkan. Walau tidak sepenuhnya menguntungkan namun dapat dianggap sedikit lebih baik.

Mungkin secara teoritis mungkin hal tersebut benar, namun pengalaman nyata ternyata tidaklah seindah teori tersebut. Karena itu perlu dipertanyakan sesungguhnya siapakah yang mendominasi pembuatan peraturan di WTO itu ?, dan siapakah yang sesungguhnya teruntungkan oleh peraturan itu ?.

Jika mengandaikan dunia perdagangan internasional sebagai pertandingan sepakbola yang seimbang, maka tentunya lapangannya rata, para pemain kedua kesebelasan mempunyai tingkat ketrampilan yang seimbang, standard kesehatan dan nutrisi kedua kesebelasan seimbang, dan wasit maupun penjaga garisnya pun netral serta adil.

Tetapi dunia perdagangan internasional tidaklah se-ideal itu. Fakta hari ini menunjukkan bahwa kondisi negara di dunia ketiga masih timpang dengan dibandingkan negara maju. Maka membiarkan pertarungan itu, bagaikan kita akan menonton pembantaian yang tak seimbang. Puluhan gol akan disarangkan oleh kesebelasan nasional Perancis ke gawang PSSI, sebagai umpamanya.

Jika itu adalah tontonan belaka, mungkin kita akan bergembira ria menontonnya didepan layar televisi sambil minum jeruk dan makan kacang. Namun ini adalah pertarungan yang secara langsung maupun secara tak langsung akan menentukan kehidupan bagi ratusan juta manusia.

Sangat bisajadi itu bukan anda, karena anda termasuk intelektual- dosen-guru besar universitas paling terkemuka di negeri ini atau ekseskutif di perusahaan multinasional. Atau itu karena anda adalah pejabat birokrasi eselon satu atau eselon dua di pemerintahan negara, sehingga beruntung mempunyai penghasilan besar dan ikut menikmati rente dari kesepakatan- kesepakatan itu.

Namun bagaimana dengan sanak saudara dan famili anda yang masih terbelakang di kampung yang mungkin akan menjadi korban dari pertarungan ini ?.

Persoalan WTO ini pada hakikatnya mirip dengan persoalan bangsa dunia ketiga pada zaman kolonialisme pada abad 18 dan 19 yang lalu.

Bangsa Indonesia dahulu pernah mengalami bagaimana secara pelan tapi pasti para Sultan dan Ningrat Bangsawan terperangkap dan bertekuk lutut dalam menuruti kemauan para pedagang Nederland yang terhimpun dalam VOC.

Ketika VOC berdatang ke tanah zamrud katulistiwa ini juga tak sedikit bangsawan yang sangat gembira dan menyambut baik serta menyukai bekerjasama dengan mereka.

Dimulai dari adanya iming-iming manfaat yang akan didapatkan dirinya jika terwujud suatu perjanjian kerjasama dagang dengan VOC, maka dimulailah siasat perangkap.

Bagaimana keuntungan yang diperoleh diri si bangsawan itu ketika ia berhasil menyewakan tanah apenage-nya, sampai kemudian manfaat  yang diterimanya ketika memberikan konsesi monopoli pembelian rempah-rempah.

Kemudian lambat laun disadari maupun tak disadari, kedaulatan negerinya akhirnya juga diserahkan kepada para tuan Kumpeni VOC itu.

Akhirnya, rakyat si bangsawan itu menjadi kulinya VOC. Se generasi kemudian, giliran cucu buyut dari keturunan si bangsawan tadi itu pun tak dapat mengelak, pada akhirnya juga ikut merasakan penderitaan, yang diakibatkan oleh ketidak hati-hatian para leluhurnya yang terperangkap oleh siasat VOC.

Memang ada pula beberapa keturunan bangsawan yang sampai Indonesia merdeka tetap merasakan manfaat dari kehadiran Kumpeni itu, ada yang menjadi kontroler perkebunan, pegawai pabrik gula, bupati, wedana, dan sebagainya. Namun itu hanya segelintir saja.

Saat itu, mungkin ada juga bangsawan yang menunjukkan ketidak sukaan dengan kehadiran VOC tadi. Namun itu hanya segelintir saja. Jika melihat sejarah terkolonisasikannya negeri ini dimasa lalu, menunjukkan bahwa lebih banyak bangsawan yang menyambut baik kedatangan VOC dibandingkan dengan yang tidak menyukai kehadirannya.

Sejarah selalu berulang, hanya pelakunya saja yang berganti. Maka bukan tak mungkin, hal itu akan terulang lagi, era kolonisasi jilid kedua di negeri ini. Walau secara bentuk dan mekanismenya terlihat berbeda, namun pada hakikatnya tetaplah sama, sebuah era kolonisasi.

Secara prinsip, peraturan WTO mensyaratkan liberalisasi perdagangan barang, tetapi mengabaikan hal-hal yang merupakan keuntungan komparatif negara berkembang. Misalnya tekstil dan pakaian jadi tidak dimasukkan kedalam perjanjian perdagangan barang, tetapi dibuat terpisah. Padahal kedua komoditi ini merupakan hal penting bagi negara berkembang.

Pada putaran Urugay, ada kesepakatan bahwa negara maju secara bertahap akan menghapus kuota impor tekstil dan pakaian jadi hingga 2005. Tetapi mereka menghindari proses liberalisasi yang sesungguhnya dengan hanya membebaskan produk-produk yang memang dulunya tidak dibatasi kuota.

Negara-negara dunia ketiga paling tidak menghadapi lima masalah berkaitan dengan WTO, yaitu :

– Struktur sistem dan perjanjian WTO tidak adil terhadap kepentingan negara berkembang.

Salah satu contohnya adalah subsidi. Subsidi biasa diterapkan oleh negara maju (riset dan adaptasi lingkungan) dimasukkan kedalam kelompok non-actionable subsidy, yaitu subsidi yang tidak terkena ketentuan pembalasan silang. Sementara subsidi yang biasa diberikan di negara berkembang (diversivikasi, pengembangan teknologi) justru dimasukkan kedalam kategori actionable subsidy, sehingga bisa menimbulkan pengaduan apabila dianggap mengacaukan pasar.

– Keuntungan yang diharapkan oleh negara berkembang ketika bergabung ke WTO, ternyata tidak terwujud.

Salah satu contohnya adalah kasus kuota perdagangan teksil dan subsidi pertanian di negara maju yang tak kunjung dihapuskan, sedangkan perlakuan khusus dan berbeda (Special and Differential Treatment) tidak kunjung diterapkan. Sama hal ini berarti bahwa negara dunia ketiga terus ditekan untuk meliberalisasikan pasarnya sedangkan negara maju justru terus memproteksi pasar mereka.

– Proses pengambilan keputusan didalam WTO tidak transparan dan tidak adil.

Negara dunia ketiga tidak bisa berpartisipasi secara penuh untuk merumuskan perjanjian yang ada, dan sulit menyampaikan pendapat serta permasalahan mereka.

– Negara berkembang terus ditekan.

Negara dunia ketiga biasanya dalam kondisi psikologis politik yang ditekan untuk menerima dan menyepakati perundingan baru dibidang perdagangan.

 

Masalah pengambilan keputusan ini sesungguhnya yang merupakan salah satu akar masalah di WTO. Kekuasaan sebenarnya berada ditangan satu kelompok (power block) yang biasa disebut sebagai geng empat (quad) yaitu Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang, Kanada.

Mereka ini tidak hanya mendominasi namun juga memanipulasi sidang serta keputusan WTO. Pertemuan formal dan informal yang banyak sekali sehingga menguras sumberdaya peserta perwakilan serta energi maupun kapasitas para peserta. Dalam hal ini jelas, bahwa Sekretariat WTO juga tidaklah netral, keputusan yang dihasilkan dari konsultasi-konsulta si informal (green room consultation) sering dibuat tanpa partisipasi dari semua negara perunding.

Tekanan diplomasi, janji penambahan bantuan, ancaman pengurangan bantuan, ancaman penghambatan perdagangan, sampai taktik yang bagaikan terorisme terselubung, sering dilakukan oleh negara maju terhadap para perunding dari negara berkembang.

Tak terkecuali, hal ini juga dialami oleh Indonesia. Tekanan-tekanan itu secara simultan juga dilakukan melalui lembaga internasional lainnya, semisal IMF, Bank Dunia, dan sebagainya.

Sebelum WTO, peraturan perdagangan hasil pertanian tidak terlalu ketat. Negara maju sebagai penghasil dan eksportir hasil pertanian, selama ini memberlakukan proteksi ketat, subsidi ekspor, yang merugikan negara pengekspor hasil pertanian lainnya. Karena itu, negara berkembang amat berkepentingan dengan aturan perdagangan yang adil di sektor ini.

Keunggulan negara ketiga umumnya adalah ekspor hasil pertanian dalam bentuk bahan mentah atau bahan baku untuk diolah lebih lanjut. Tetapi harga di pasar internasional sering bergejolak naik-turun tanpa dapat dikendalikan olehnya. Pertanian bagi dunia ketiga lebih bukan sebagai isu dagang, tapi lebih terkait soal pemenuhan kebutuhan hidup. Para petani tidak mempunyai tanah yang luas sehingga bertani adalah satu-satunya sumber kehidupan mereka.

Ditengah-tengah perbedaan kepentingan seperti itu, dirumuskanlah AoA, perjanjian yang rumit, dipenuhi istilah teknis yang njlimet dan jadwal komitmen yang ketat. Sekilas memang perjanjian AoA ini nampak memberikan keuntungan bagi negara berkembang berupa akses pasar. Tetapi jika diteliti lebih lanjut dan detail maka akan tampak menunjukkan hal lain yang berkebalikan.

AoA mensyaratkan subsidi harus dikurangi sebanyak 36%. Nampaknya angka yang besar, namun itu tidak berarti karena selama ini tarif impor di negara maju luarbiasa tinggi. Sebagai misal, tarif impor gula di Amerika Serikat sebesar 244%, daging di Uni Eropa sebesar 213%, gandum di Jepang sebesar 353%, mentega di Kanada sebesar 360%. Jika dikurangi 36% maka akan tetap lebih tinggi jika dibandingkan tarif serupa di negara berkembang.

Selain itu, berdasarkan prinsip perdagangan internasional terbuka di bidang pertanian dan keunggulan harga itu merupakan keuntungan banding. Maka suatu negara harus mengimpor hasil pertanian dari negara yang dapat memproduksinya dengan harga lebih murah.

Secara teoritis hal itu nampaknya menguntungkan, namun bagaimana dengan ketahanan dan kedaulatan pangan bagi negara itu ?, bagaimana dengan ancaman embargo ?, bagaimana jika negara itu menggantungkan dari impor sehingga meruntuhkan ketahan pangan sedangkan kemudian tiba masa perang ?, bagaimana dengan kondisi petani negara berkembang yang tanpa subsidi dengan petani negara maju yang disubsidi ?.

Selainnya ada hal yang penting selanjutnya, yaitu Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) atas bentuk kehidupan.

Trips telah menjadikan benih bukan lagi milik bersama, petani tidak lagi dapat bebas menanam, menyimpan, dan memuliakan benih-benih mereka sendiri. Kebiasaan dan tradisi menyimpan sebagian sebagian panennya untuk bibit pada masa panen periode berikutnya, tak lagi dapat dilakukannya.

Seluruh saprodi dan asupan kegiatan pertaniannya juga menjadi harus dibeli. Maka sisa surplus di petani yang tidak banyak itupun tergerogoti.

Pemberlakuan HaKI atas bentuk kehidupan, telah menimbulkan masalah soisal dan ekonomi di negara dunia ketiga. Sistem HaKI dalam Trips memberikan hak khusus para pemegang paten –sebagian besar perusahaan multinasional– sementara kesejahteraan sosial dan ekonomi serta alih teknologi tidak dipenuhi.

Perluasan obyek paten dalam perjanjian Trips juga telah menghilangkan kemungkinan produsen lokal untuk memproduksi obat generik dan obat penyelamat hidup (life saving drugs) karena proses pembuatannya menjadi dipatenkan.

Dalam banyak hal, Indonesia telah patuh dan telah menempuh liberalisasi sesuai dengan yang digariskan WTO. Selain atas prakarsa pemerintah Indonesia sendiri juga dibantu dan didorong oleh IMF dan Bank Dunia. Ketika IMF memberikan pinjaman untuk mengatasi krisis tahun 1997. Persyaratan dalam perjanjian (LoI) adalah berupa liberalisasi atas beberapa sektor seperti pembukaan pasar bagi beras, gula, kedelai, dan gandum, penghapusan fungsi Bulog. IMF dan Bank Dunia juga mendorong liberalisasi atas sektor pelayanan publik seperti Energi, Listrik, BBM, Air, Kesehatan, Pendidikan.

Pertanyaan yang kemudian timbul adalah dengan privatisasi pelayanan publik itu apakah perusahaan swasta (terutama swasta multinasional) yang berkegiatan mendapatkan laba akan mau melakukan kegiatan setengah sosial untuk memenuhi kebutuhan publik ?.

Dengan tingkat kepatuhan pemerintah Indonesia tersebut -dimana lembaga internasional tetap saja meminta dan mendorong liberalisasi lebih jauh lagi dari tingkat yang sekarang ini, apakah ada imbal baliknya bagi indonesia ?.

Mungkin janji Amerika Serikat bagi pencabutan embargo senjata dan peralatan militer atas Indonesia adalah bagian dari imbal balik dari kepatuhan Indonesia meliberalisasikan sektor hulu-hilir BBM dan pembukaan pasar domestik BBM-nya.

Selama ini pikiran banyak teknokrat, pakar ekonomi, pemerintah, dihinggapi paradigma tunggal bahwa liberalisasi perdagangan serta sektor pelayanan publik akan memadukan suatu negara kedalam ekonomi dunia dan pada gilirannya akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi, sehingga akan bermanfaat bagi perbaikan ekonomi rakyat dan pengurangan jumlah kemiskinan. Pada banyak kasus, ternyata paradigma itu tak selamanya selalu benar.

Mungkin ini terlupakan, Maka perlulah diingatkan kembali bahwa integrasi total system ekonomi nasional kedalam sistem ekonomi dunia (Internasionalisasi Ekonomi Nasional) adalah hasil, bukanlah persyaratan untuk pertumbuhan dan pembangunan. Perdagangan adalah alat, bukan tujuan dari pertumbuhan ekonomi.

Sayangnya, pemerintah Indonesia hanya sibuk mematuhinya, seolah-olah perdagangan adalah tujuan, dan menganggap integrasi total system ekonomi nasional kedalam sistem ekonomi dunia adalah persyaratan untuk pertumbuhan dan pembangunan negaranya. Padahal itu sebaliknya, seharusnya apabila hal itu mengancam kepentingan nasional, maka tidak harus dipatuhi sepenuhnya.

China, negara yang tak sepenuhnya patuh (salah satu contohnya adalah banyak melakukan kegiatan ‘penjiplakan’ teknologi dan inovasi) namun di sisi lain dengan ketidakpatuhan-nya itu mereka malahan menjadi yang paling berhasil mendapatkan manfaat dari WTO. Selain itu, China juga tahu diri dan mengukur diri, sehingga tahu persis sektor mana yang harus diliberalisasikan, dan sektor mana yang harus dilindunginya.

Berikut adalah salah satu contoh gambaran tentang bagaimana pemerintah Indonesia melalui para birokratnya berunding di WTO. Suasana itu tejadi pada September 2003, di salah satu ruang sidang World Summit on Sustainable Development (WSSD) di Johannesburg.

Sesi proses perundingan isu globalisasi telah selesai dan dilanjutkan dengan sesi proses perundingan isu keuangan dan perdagangan. Tiga orang anggota delegasi Jepang keluar ruangan dan digantikan oleh tiga orang juru runding lainnya. Hal itu sungguh berbeda dengan dengan delegasi Indonesia, sejak pagi dua orang juru runding Indonesia yang berasal dari Deplu itu tidak digantikan oleh yang lainnya. Wajah mereka lusuh karena kelelahan dan jenuh. Sementara, seorang pejabat senior Deperindag yang ditugaskan dari Jakarta, justru tidak mengikuti sepenuhnya proses perundingan itu, semenjak istirahat siang sudah tidak terlihat lagi di ruang sidang.

Lebih parahnya lagi, ketika KTM-IV di Doha. Juru runding Indonesia mengambil sikap hati-hati terhadap Isu Singapura dengan mengatakan bahwa harus dipelajari dulu. Salah seorang Menteri yang berkompeten soal itu juga mengatakan bahwa Indonesia menolak menegoisasikan Isu Singapura. Lalu menjelang akhir KTM, juru runding Indonesia mengambil posisi sama dengan negara berkembang lainnya yaitu menolak Isu Singapura.

Kemudian seorang juru runding dari negara maju mendekati juru runding Indonesia tersebut dan mengatakan dengan berbisik di telinganya bahwa “Posisi Indonesia sudah berubah, sebentar lagi Menteri anda akan menelpon anda”.

Benarlah yang terjadi kemudian seperti yang dikatakannya itu. Satu jam kemudian, Menteri yang dimaksud menelpon dan memerintahkan juru runding Indonesia untuk berkompromi.

Sungguh tak terbayang bagaimana menteri-menteri pada pemerintahan hasil pemilihan umum yang demokratis dapat mengurus perkara serumit ini hanya berdasarkan telepon dari petinggi Negara Asing, atau mungkin eksekutif perusahaan asing. Bukan berdasarkan data dan kajian yang akurat serta didasarkan pada tujuan kepentingan nasional. Hanya berdasarkan tekanan diplomasi dari pemerintahan negara maju untuk kepentingan perusahaan mereka.

Pemerintah dan parlemen Indonesia, dimasa mendatang seyogyanya perlu berhati-hati, kesembrononan dan ketidak waspadaan bukan mustahil akan mengakibatkan penjahan kembali walau dalam bentuk yang berbeda. Bila perlu, beberapa hal yang mengancam kepentingan nasional dan sudah merupakan keterlanjuran perlu dirubah kembali.

Janganlah mengulangi lagi kesembrononan para Raja, Sultan, dan para Bangsawan sewaktu mereka menerima kedatangan misi dagang VOC, yang kemudian hari telah berakibat bangsa ini terjerat lebih dari tiga setengah abad.

Wallahu’alambishawab.

*Oleh: Rifky Pradana. Tulisan ini disadur dari buku “WTO dan Penjajahan Kembali Dunia Ketiga” yang ditulis oleh Hira Jhamtani, diterbitkan oleh INSISTPress Yogyakarta. | Sumber: Kompasiana – 14 Agustus 2009.