Solusi Krisis Media

Solusi Krisis Media*

Hanya ada dua hal yang mampu menyinari dunia: matahari di langit dan pers di bumi. Jika melihat kondisi hari ini ungkapan klasik yang pernah dikatakan Mark Twain tersebut mestinya direvisi. Alih-alih mencerahkan, media-media saat ini justru menjadi penyebab krisis wacana di ruang publik.

Rentetan kasus di negeri ini bisa kita ajukan sebagai contoh untuk melihat bagaimana krisis tersebut terjadi. Ketua umum Partai Demokrat SBY yang terus mengeluh karena dipojokkan media, televisi yang digunakan untuk kepentingan partai politik, media yang reaksioner dalam menanggapi kritikan dari luar, sampai ribut-ribut Jilbab Hitam beberapa saat lalu yang ternyata berawal dari dendam lama seorang mantan wartawan.

Dari berbagai kasus, terpusatnya kepemilikan media di tangan segelintir pemodal bisa diajukan sebagai kambing hitam utama. Konsentrasi kepemilikan menyebabkan media menjadi penyebab media kemudian (di)identik(kan) dengan pemiliknya. Anggapan bahwa agenda media merupakan manifestasi perwujudan agenda pemilik modal menjadi tak terhindarkan.

Prinsip jurnalistik yang “obyektif, independen, dan berimbang” pelan-pelan kehilangan makna. Keadaan tersebut menyebabkan berita-berita media hanya menjadi tumpukan sampah informasi yang tidak berguna. Kecenderungan semacam ini nyaris melanda di berbagai negara.

Nah, krisis tersebut menjadi dasar Dave Boyle menulis Good News : A Co-operative Solution to the Media Crisis (2012). Buku tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Media Kooperasi dan Kooperasi Media. Dave Boyle adalah seorang penulis sekaligus aktivis koperasi di Inggris. Melalui buku ini, Dave Boyle hendak menawarkan satu alternatif untuk lepas dari jerat oligarki kepemilikan media.

Apa sebenarnya yang dimaksud Boyle dengan media koperasi?

Secara sederhana, media koperasi merupakan media yang dicirikan oleh kepemilikan bersama selayaknya koperasi. Media membutuhkan sistem keuangan yang lengas untuk memproduksi berita. Sementara publik membutuhkan media dengan berita yang dapat dipercaya. Koperasi menjadi irisan dalam menjawab dua persoalan itu (halaman 5).

Dalam media koperasi, pembaca tidak hanya menjadi objek yang pasif dan sekadar menerima berita. Pembaca justru menjadi sentral karena dilibatkan sebagai subjek yang aktif untuk membiayai bahkan menulis berita-berita di media tersebut. Dengan demikian, tidak muncul akumulasi keuntungan dengan mengeksploitasi masyarakat karena masyarakat adalah pemilik, pengelola, penulis, sekaligus pembaca media itu sendiri.

Melalui buku ini, Boyle tidak hanya menunjukkan bagaimana cara membentuk sebuah media koperasi. Ia juga memberikan contoh bahwa media koperasi sudah banyak muncul di berbagai negara. Artinya, media koperasi bukan sebuah gagasan yang mengawang. Gagasan semacam ini muncul di beberapa negara dengan konsentrasi kepemilikan media yang jauh lebih dulu terjadi bila dibandingkan dengan di Indonesia.

Di Kanada sejak tahun 2007 muncul media koperasi bernama Media Co-op, di Italia ada Il Manifesto, di Inggris muncul West Highland Free Press. Sementara di Jerman, sejak tahun 1979 muncul koran Tageszeitung – populer disebut Taz – yang sampai saat ini anggota koperasinya sudah mencapai angka 13.000 orang di seluruh Jerman.

Dalam media-media koperasi tersebut, kepemimpinan serta kebijakan redaksional dirumuskan bersama. Selayaknya koperasi, keuntungan digunakan untuk kesejahteraan anggota. Pelajaran dari berbagai negara itu menunjukkan bahwa kepemilikan kolektif dalam media membuat pilihan-pilihan idealis dalam bermedia bisa dilakukan tanpa meninggalkan aspek-aspek komersial yang diperlukan untuk menghidupinya.

Setidaknya ada dua hal yang menjadi sisi positif dari kepemilikan kolektif tersebut.Pertama, hal itu membuat media koperasi bisa mengangkat informasi yang penting dan mendesak namun kerap tidak muncul di media arus utama. Perkembangan mediaonline membuat (sampah) informasi datang silih berganti dengan cepat. Fakta bercampur dengan opini dan menjadi polusi bagi diskursus di ruang publik.

Kedua, kepemilikan kolektif menjadi semacam jaring pengaman bagi media untuk menghindar dari krisis ekonomi yang menggulung industri media. Sebagaimana kita tahu, media cetak terkena dampak yang paling parah dari penurunan pemasukan dari iklan. Tuntutan melakukan konvergensi membuat tekanan semakin kencang berhembus.

Jika melihat kondisi media di Indonesia yang semakin tidak sehat, gagasan pendirian media koperasi sebagaimana dikatakan Boyle mendapatkan momentumnya. Apalagi di Indonesia, koperasi – yang menjadi basis pengelolaan media tersebut – termasuk lembaga yang sudah lama berdiri dan berakar di masyarakat. Persoalannya, lembaga koperasi terutama di era Orde Baru semata-mata direduksi sebagai lembaga keuangan.

Alasan ini mendasari Bosman Batubara yang menerjemahkan buku ini menggunakan istilah “kooperasi” ketimbang “koperasi”. Istilah ini sengaja digunakan untuk mengembalikan kembali semangat koperasi sebagai sebuah gerakan. Atau dalam konteks buku Dave Boyle ini, sebagai gerakan yang mendasari pengelolaan media.

Usai tuntas membaca buku ini, saya membayangkan bahwa kehadiran media koperasi tidak hanya akan “sekadar” menjadi alternatif untuk mengalirkan arus informasi ke masyarakat. Media koperasi juga berperan dalam mengembalikan fungsi sosial jurnalis yang selama ini mengalami proses alienasi seiring industrialisasi media sejak Orde baru.

Jurnalis harus bekerja dengan menjual kemampuan profesionalnya di bidang jurnalistik. Pengusaha atau pemilik modal menjadikan berita-berita untuk meraih keuntungan yang kemudian bertransformasi menjadi kapital. Dalam kondisi tersebut, jurnalis tidak memiliki banyak wewenang dalam memutuskan kebijakan media. Ia terlepas dari berita-berita yang ia hasilkan. Dan selanjutnya, lepas dari konteks sosial dimana dia berada.

Padahal, jika mengandaikan bahwa jurnalis adalah aktor perubahan sosial, ia semestinya tidak berjarak dengan masyarakat. Pada titik inilah buku Dave Boyle tidak memberikan gambaran tentang bagaimana menghubungkan jurnalis dengan titik-titik gerakan sosial. Hal inilah yang saya kira penting untuk mulai mendirikan sebuah media koperasi.

Buku ini tidak memberikan big picture tentang kondisi obyektif yang memunculkan media seperti saat ini. Dari mulai penguasaan media di tangan baron-baron media, peran negara, sampai kerja-kerja pengorganisasian dalam media koperasi. Karena itulah ketika tiba-tiba berujuang pada media koperasi, saya merasa apa yang dibincangkan Boyle ini melompat.

Namun sebagai sebuah pembuka diskusi, buku ini adalah awalan yang tepat.

Wisnu Prasetya Utomo. Sumber: Kompasiana – 25 November 2013.

*Rehal buku: Media Kooperasi & Kooperasi Media/ Dave Boyle/ Bosman Batubara (penerjemah)/ INSISTPress dan Gerakan Literasi Indonesia (GLI), 2013.