Apa iya sekolah itu candu?

Apa iya sekolah itu candu?

Dengan tiga puluh satu ribu rupiah tersisa [minus ongkos angkot pulang] di saku, saya membandrol sebuah buku terbitan INSIST Press, yang pertama kali diterbitkan tahun 1998. Saya membeli cetakan kedua belas. Judulnya Sekolah itu Candu. Ceritanya, saya menghadiahi diri saya yang berulang tahun, setelah dapat ‘mentahan’ dari salah satu adik mama.

Buku ini unik. Seperti kumpulan ‘paper’ karena paparannya berlandaskan referensi formal, dari berita di koran-koran sampai jurnal dan buku teks teori pendidikan. Tapi, buku ini bercerita, bukan mendiktekan. Sesekali Roem menawarkan percakapan yang (tampaknya benar-benar) pernah dia alami atau dengarkan.

Roem Topatimasang, siapa dia? Silakan googling, hehe. Yang jelas dia pemikir yang mencoba membahas hakikat pendidikan dan realitas yang ada di lapangan sejauh ini, mulai dari zaman saat Athena menjadi pusat pengetahuan dan perabadan sampai ke masa sekarang.

Apa itu sekolah? Apa esensi sekolah? Apakah sekolah itu sebuah bangunan atau interaksi antara guru dan murid? Kita diingatkan kembali pada hakikat sekolah pada awal buku ini. *berhenti di sini jika tidak mau dengar ?

Roem memaparkan macam-macam sekolah dan akademi yang ada di dunia. Contoh dan bahasannya sangat membuka mata. Mulai dari Universitas Rockefeller, rahim tempat lahirnya para peraih hadiah Nobel, sampai Akademi Srimulat.

Lalu, soal seragam sekolah, hmm, apa isi kepala setiap murid juga harus seragam?

Lalu, tentang pilihan mengajar atau mendirikan sekolah (bagi pensiunan), serta tentang esensi sekolah swasta dan perbandingannya dengan sekolah negeri.

He who can does. He who cannot teaches. He who cannot teach, build schools! (Shaw)

Lalu, tentang sekolah yang sebaiknya dijalankan serupa perusahaan, sekolah anak-anak di daerah konflik, sekolahnya anak-anak laut yang senang saat dihukum mencari ikan, bangunan sekolah serupa kotak-kotak raksasa yang menyekat di mana setiap kegiatan ekstra malah diwajibkan dan dibatasi jenisnya, dan tentang anak-anak desa terpencil yang selalu gembira berjalan berjam-jam untuk sampai ke sekolah.

Penyadaran paling keras ada beberapa tulisan di bagian akhir buku ini. Candu disini, yang dimaksudkan Roem, bukan sepenuhnya soal kecanduan (addiction) yang ditimbulkan sekolah, tapi juga keadaan mabuk dan delusional yang ditimbulkan candu itu sendiri. Sekolah sudah menjadi sebuah ketergantungan; sekolah yang tinggi itu keren dan dipuja-puji, walaupun belum tentu setelahnya anak langsung siap kerja. Sekolah pun menjadi sebuah keharusan; seakan sekolah adalah satu-satunya jalan untuk jadi pintar, dan kemudian mata-mata orang tua tertutup untuk media belajar lain yang mungkin lebih efektif, misalnya tamat SMK langsung bekerja dan meniti karir (learning by doing). Sekolah pun menghasilkan delusi kolektif; orang tua merasa aman karena sudah mensekolahkan anaknya, mereka merasa sudah memenuhi kewajibannya sebagai orang tua tanpa harus mengkritisi apa iya sekolah itu benar-benar bermanfaat bagi masa depan si anak.

Lalu, dibahas bagaimana sekolah-sekolah telah mati secara fungsional dan bagaimana transformasi pendidikan di Indonesia yang jalan ditempat. Sistem berkembang semakin rumit, tapi tidak ada perubahan yang mengarah pada perbaikan riil.

Lalu, dibahas apa sih maksud akhir (the ultimate goal) dari sistem pendidikan di Indonesia. Apakah pendidikan untuk mempersiapkan tenaga kerja seperti pasca revolusi industri di Eropa?

Lalu, Roem bercerita, dalam epilognya, tentang sekolah masa depan. Dimana pembelajaran dilakukan dan penemuan dilahirkan di ladang-ladang, dan siapapun bisa mengajar dan belajar. Mungkin disana konklusi dari hakikat pendidikan yang diamini Roem, bahwa sekolah adalah interaksi, terlepas dari siapa subjeknya dan dimana terjadinya, tidak seperti sekarang.

*Lansir dari: beningtirta.tumblr.com – 30 November 2013.

*Rehal buku: Sekolah Itu Candu •Penulis: Roem Topatimasang •Penerbit: INSISTPress •Edisi: Mei 2013 (cetakan ke-12).