Diskusi Buku Analisis Gender dan Transformasi Sosial karya Mansour Fakih

Diskusi Buku Analisis Gender dan Transformasi Sosial karya Mansour Fakih*

Pokok bahasan dalam buku Analisis Gender dan Transformasi Sosial karya Mansour Fakih dibagi menjadi tiga bagian, yaitu tentang analisis gender dan ketidakadilan, analisis gender dalam gerakan transformasi perempuan, dan agenda  mendesak  gerakan  feminisme,  termasuk  tantangan  dan  strateginya pada masa mendatang.

Analisis gender dan ketidakadilan dimulai dengan pembahasan tentang perbedaan antara konsep seks dan gender. Konsep seks menitikberatkan pada perbedaan manusia secara fisik atau biologis yang sifatnya permanen atau kodrati. Sementara itu, sifat gender antara laki-laki dan perempuan dapat dipertukarkan atau  tidak  bersifat  permanen  (tidak  kodrati).  Konsep  gender dapat berubah seiring berjalannya waktu, tempat, dan kelas.

Perbedaaan gender tidak menjadi masalah selama tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Ada kaitan yang erat antara perbedaan gender (gender differences) dan ketidakadilan gender (gender inequalities)  dalam  struktur  ketidakadilan  masyarakat  luas.  Banyak  sekali perilaku menyimpang berupa kekerasan yang terjadi di masyarakat. Kekerasan karena bias gender yang sampai saat ini masih terjadi disebut gender related violence. Jenis-jenis ketidakadilan gender telah terjadi di beberapa tingkatan seperti  kebijakan/adat/kultur/agama,  dan  rumah  tangga.  Yang  paling  sulit diubah adalah ketidakadilan gender yang sudah mengakar ke dalam keyakinan.

Analisis gender dalam gerakan transformasi perempuan diawali dengan gerakan feminisme yang berangkat dari asumsi dan kesadaran bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas, dieksploitasi sehingga harus ada upaya untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi tersebut. Aliran fungsionalisme struktural sering disebut mazhab arus utama (mainstream). Menurut aliran ini, masyarakat merupakan sistem yang terdiri atas bagian yang berkaitan untuk mencari keseimmbangan. Pengaruh fungsionalisme ditemukan dalam pemikiran feminisme liberal yang muncul sebagai kritik teori politik liberal. Berbeda dengan feminisme radikal, feminisme liberal tidak mempertanyakan diskriminasi akibat ideologi patriaki dan juga  tidak mempersoalkan analisis atas struktur kelas, politik, ekonomi, dan gender seperti yang dipermasalahkan oleh  feminisme  sosialis.  Salah  satu  pengaruh  feminisme  liberal  terekspresi dalam teori modernisasi dan program global yang dikenal dengan nama Woman in Development.

Pembahasan Fakih yang terakhir terkait agenda mendesak serta tantangan dan strateginya mendatang. Menurutnya untuk memperjuangkan keadilan  gender  dapat  dilakukan melalui  upaya  jangka  pendek  dan  jangka panjang. Upaya yang difokuskan dalam jangka pendek   untuk menyelesaikan masalah-masalah praktis ketidakadilan gender melalui program-program aksi yang melibatkan perempuan dan upaya jangka panjang untuk menemukan cara strategis dalam rangka memerangi ketidakadilan melalui kampanye kesadaran kritis dan pendidikan umum masyarakat. Kemudian tantangan yang dijadikan isu oleh Fakih adalah gerakan feminisme yang dapat dibagi ke dalam tiga dasawarsa.  Dasawarsa  pertama  merupakan  masa  “pelecehan”.  Dasawarsa kedua merupakan pengenalan dan pemahaman dasar tentang  analisis gender beserta isunya yang menjadi masalah pembangunan. Selanjutnya, tantangan pada tahap dasawarsa ketiga adalah tantangan gerakan kilas balik dari aktivis baik laki-laki maupun perempuan. Strategi yang diusulkan adalah mengintegrasikan gender ke dalam seluruh kebijakan dan program berbagai organisasi dan lembaga pendidikan; serta menjalankan strategi advokasi.

Sebagai penutup disebutkan bahwa gerakan feminis bukanlah gerakan yang semata-mata menyerang laki-laki melainkan merupakan gerakan perlawanan  terhadap  sistem  yang  tidak  adil,  untuk meningkatkan martabat dan kekuatan perempuan.

Rangkuman hasil diskusi:

  1. Gerakan “ibuisme“  yang  muncul  pada  tahun  1950,  saat  ini  sudah  berubah polanya  dan tidak lagi didukung APBN (tidak  ada  biaya  dari  pemerintah). Sistem perumusan untuk PKK sudah berubah seperti yang sudah dilakukan LSM atau kemitraan. Namun, untuk saat ini PKK dikukuhkan sebagai bagian integratif dari sebuah sistem dan pendanaannya dialirkan ke lembaga yang sesuai. Ada beberapa pertanyaan yang belum bisa terjawab, misalnya, ada anggota PKK yang punya permasalahan dan bagaimana cara PKK untuk mengatasi permasalahan anggotanya? Sementara itu, saat era Soeharto, suami didukung  istri  tapi bagaimana  sebaliknya?  Sistem  negara  masih menitikberatkan peran suami dibandingkan dengan peran istri. Misalnya, PNS boleh pindah dengan alasan ikut suami, tetapi tidak sebaliknya (ikut istri). Jika negara ingin menghapuskan ketidakadilan gender, perbaikan harus dimulai dari kebijakan.
  2. Perempuan merupakan entitas yang diperebutkan ideologinya dan secara tidak langsung masuk ke dalam kategori radikal. Oleh karenanya diperlukan kajian etik atau emik terkait pandangan feminisme di Indonesia agar meningkatkan martabat perempuan.
  3. Banyak masalah yang terkait bias gender di hampir semua daerah Indonesia dan  cara  mengatasinya  harus  melalui  peran  pemerintah  karena  berkaitan dengan kebijakan.
  4. Budaya atau keyakinan memang sulit atau bahkan tidak dapat diubah. Akan tetapi, kesadaran individu akan pentingnya persamaan gender perlu ditumbuhkan.  Jika   setiap   individu   memiliki   kesadaran akan  pentingnya persamaan gender, niscaya akan masyarakat akan menumbuhkan konstruksi sosial yang berkeadilan, tidak bias gender.
  5. Kesadaran akan keadilan gender merupakan langkah awal untuk menjamin kesamaan martabat antara laki-laki dan perempuan. Kaum perempuan harus menyadari bahwa ketidakadilan gender bukanlah kodrat, melainkan konstruksi sosial yang dibentuk oleh masyarakat.

*Pembahas: Luh Anik Mayani | Hasil Diskusi Klub Baca Badan Bahasa, Pertemuan ke-6 (18 Mei 2017),  diskusi buku Analisis Gender dan Transformasi Sosial karya Mansour Fakih ( INSISTPress, 2016).

*Rehal buku: Analisis Gender dan Transformasi Sosial/ Mansour Fakih/ INSISTPress, 2016.