Sketsa Kehidupan Tapol di Pulau Buru

Sketsa Kehidupan Tapol di Pulau Buru*

Film Pulau Buru Tanah Air Beta (2016) yang disutradarai Rahung Nasution mengajak kita berkunjung ke pulau para tahanan politik (tapol) dibuang. Kita diajak menapak tilas Pulau Buru didampingi Hersri Setiawan, penyintas sekaligus salah seorang pengisah utama di film itu.

Pengisah utama lain, Pramoedya Ananta Toer, telah berpulang dan hanya bisa kita jumpai melalui warisan tulisannya. Baik Pram maupun Hersri, selama ini dipandang sebagai eks-tapol yang paling sanggup mengisahkan Pulau Buru dengan apik dan legitim, lewat teks-teks yang mereka hasilkan.

Beruntung Hersri berumur lebih panjang sehingga sempat turut serta mengisah Pulau Buru melalui film, menunjukkan salah satu noda terkotor sepanjang sejarah bangsa kita.

Film Pulau Buru Tanah Air Beta sangat emosional, memaksa seorang eks-tapol di hari tuanya berkunjung lagi ke tempat yang menghabisi masa muda, cita-cita, dan bayangan hidup sewajarnya. Maka, dalam film, kita menjumpai selipan-selipan marah Hersri.

Misalnya, saat berkunjung ke tugu yang didedikasikan untuk awak militer yang “menemani” para tapol di Pulau Buru. Jelas, Hersri tak terima, sebab yang kerja, kerja, dan kerja menghijaukan pulau itu adalah para tapol. Namun, yang dihargai pemerintah justru bukan mereka.

Kita tahu, Pulau Buru Tanah Air Beta adalah film dokumenter yang hanya mungkin menampilkan Pulau Buru hari ini. Sedang, masa lalu kita jumpai dari penuturan Hersri yang sedikit mengisah peristiwa lampau, di tiap titik yang dikunjunginya.

Toh, sepertinya kita masih butuh mata masa lalu.

Pak Greg dan Kenangan Buru

Mata itu, ya mata masa lalu, kita dapatkan di tahun yang sama. Juli 2016, terbit buku Tiada Jalan Bertabur Bunga: Memoar Pulau Buru dalam Sketsa (2016) hasil garapan Gregorius Soeharsojo Goenito, pelukis yang pernah bergabung dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).

Mereka yang berafiliasi dengan Lekra, di zaman itu, serta-merta dicap “merah”. Kita tahu kelanjutannya, orang-orang itu takdirnya mengerucut ke Tiga B: bui, buang, dan bunuh. Pak Greg, demikian ia disapa, beruntung lantaran tak sampai kehilangan nyawa. Namun, nasibnya tak kalah pahit. Ia menjalani bui dari Jawa Timur hingga Nusakambangan, kemudian dibuang ke Pulau Buru.

Meski mendaku diri sebagai memoar Pulau Buru berdasarkan sketsa, Tiada Jalan Bertabur Bunga bukan sepenuhnya mengandalkan coretan tangan Pak Greg. Komposisi buku ini terdiri dari sketsa, sajak, dan teks naratif. Buku tersebut diawali sajak berjudul Nawala. Begini bunyinya:

“Untuk anak cucu segala zaman. Baru hari ini aku sempat menulis untukmu. Dan untukmu pewaris dan penerus. Dari lembah Wai Apo Indah. Di lereng-lereng Batabual pagar bukitmu. Dari Rana sampai Namlea. Di sini tak ada saksi yang membatasi…”

Pak Greg terasa menyampaikan maaf lantaran baru bisa menghadirkan buku ini pada 2016. Tentu jarak antara 2016 dengan 1978—tahun dibebaskannya Pak Greg—amat jauh, apalagi dengan 1966, tahun ketika semuanya dimulai. Kita tergoda meragukan apakah ingatan Pak Greg masih utuh?

Beruntung, sketsa-sketsa Pak Greg digambar pada saat peristiwa terjadi, dan memberi kita imajinasi atas Pulau Buru di masa itu. “Pulau Buru adalah tempat pembuangan yang indah,” tulis Pak Greg.

Penyusunan dan penataan sketsa dalam buku Pak Greg mengikuti alur teks naratif. Tentu saja berisiko, seakan-akan sketsa sekadar sebagai penjelas narasi, alih-alih narasi itu sendiri. Kurasi sketsa dilakukan Opee Wardany dari rumah seni Gerimis Ungu, serta diolah pula oleh rumah seni kolektif Flying Pants.

Memang, karena termakan usia, ada beberapa sketsa yang tak disertakan demi menjaga hasil cetakan buku. Ketaklengkapan tersebut toh tak terlalu mengganggu alur pengisahan Pulau Buru.

Teks naratif Pak Greg sendiri berusaha kronologis, dan pilihan ini sangat wajar. Namun, Pak Greg tidak bisa menahan diri untuk melakukan kilas balik yang jauh, hingga ke masa kolonial.

Barangkali, mengingat situasi Pulau Buru tak lengkap tanpa menengok kenangan masa kecil di bawah penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang. Toh, sama-sama merenggut kebebasan bukan?

Kalau Hersri menunjukkan sedih dan marah di film Pulau Buru Tanah Air Beta, Pak Greg memilih untuk optimis. Ia sadar pembuangan ke Pulau Buru telah merenggut kiprah senimannya, tapi hal itu tak menghalangi keyakinannya pada esok hari. Pak Greg berseru lantang:

“Penakut berkali-kali takut. Sebelum ajalnya tiba. Pahlawan merasakan mati. Hanya satu kali.”

Teks naratif Pak Greg memang tak menunjukkan kesedihan yang berlebih. Bahkan, ia beberapa kali terlihat mensyukuri pembuangannya ke Pulau Buru.

Ia memandang Pulau Buru hanya suatu fase dalam hidupnya, yang kelak diganjar masa depan yang indah. Pak Greg percaya masa depan indah tak didapati dengan menempuh jalan yang menyenangkan. Untuk menuju masa depan indah, tiada jalan bertabur bunga.

Melengkapi Memoar Pulau Buru

Di Pulau Buru, kawah candradimukanya itu, ia mensyukuri perjumpaan dengan tokoh-tokoh penting, seperti Pram, Samandjaja, Rivai Apin, dan lain-lain. Perjumpaan dengan Pram, misalnya, selalu Pak Greg kisahkan dengan antusias.  Pram seakan-akan sudah menjadi primadona Pulau Buru bila kita merujuk buku ini. Pak Greg pun sampai-sampai menyusun satu subbab khusus untuknya, berjudul “Belajar dari Pak Pram.

Pak Greg menulis, “Aku dan Pak Pram berada dalam satu rumah selama beberapa bulan, mungkin hampir setahun. Beruntunglah bisa serumah dengannya, setelah diadakan perubahan pada 1976…Hampir setiap malam bilamana tak terlalu capek, sebelum tidur, pasti ada acara bercerita dari Pak Pram yang meminta kawan-kawan serumah untuk nimbrung dan membacakan.”

Buku Tiada Jalan Bertabur Bunga memang melimpah persoalan: penerbitan yang terlambat berpuluh tahun, penyusunan dan penataan kurang rapi, pengagungan Pram dan Sukarno, dan ada beberapa hal yang masih bisa kita persoalkan.

Kendati demikian, kehadiran buku Pak Greg tetap saja penting. Kehadirannya melengkapi pengisahan yang disampaikan Pram, Hersri, Gumelar Demokrasno, dan sebagainya.

Perspektif Pak Greg sebagai pelukis pun memberi sumbangan makna dan cara pandang kita terhadap Pulau Buru berikut peristiwa yang terjadi di sana sepanjang 1966-1978.

“Pandangan kacamata pekerja seni sedikit berbeda dari apa yang tertulis,” kata Pak Greg.

Lagipula, peristiwa di Pulau Buru mesti terus-menerus dikisahkan, untuk tahu konsekuensi pascaperistiwa 30 September 1965 bagi kemanusiaan amatlah besar.

Bangsa ini tumbuh dengan darah, resah, dan lelah (*)

*Penulis artikel: Udji Kayang Aditya Supriyanto |  Sumber lansiran: jurnalruang.com – 21 September 2017.

*Rehal buku: Tiada Jalan Bertabur Bunga: Memoar Pulau Buru dalam Sketsa/ Gregorius Soeharsojo Goenito/ INSISTPress, 2016.