Perempuan Pala Azhari

Perempuan Pala Azhari*

Aceh adalah sebuah wilayah di negeri ini yang paling lama didera badai tragedi kekerasan fisik maupun konflik politik sejak masa penjajahan kekuasaan Kerajaan Hindia Belanda hingga pada masa Pemerintah Republik Indonesia.

Heroisme rakyat Aceh membuat kekuasaan kolonialisme di Hindia Belanda kepayahan dan terpaksa bekerja keras untuk menaklukkan tanah Serambi Mekah ini. Dalam banyak catatan sejarah, watak Aceh tampil kuat dan tabah. Aceh adalah wilayah paling akhir di negeri kepulauan ini yang dapat dikalahkan kekuatan militer penjajahan Belanda. Selama tahun-tahun yang panjang aksi-aksi separatisme sebagian masyarakat di Aceh yang ingin mendirikan negara sendiri yang terpisah dari kekuasaan Republik Indonesia membuat wilayah ini tetap bergolak dan berdarah. Sampai hari ini masyarakat masih dicengkeram ancaman peristiwa-peristiwa yang akan semakin memanjangkan torehan nyeri masyarakatnya sendiri maupun masyarakat dunia.

Tragedi kemanusiaan di banyak tempat dan di berbagai waktu sering menjadi sumber pendorong, gagasan, atau latar karya sastra besar. Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, Dokter Zhivago karya Boris Pasternak, Epic Song karya Pablo Neruda, maupun Saksi Mata karya Seno Gumira Adjidarma adalah contoh karya yang disulut oleh kepekaan yang piawai mengolah peristiwa-peristiwa yang telah mendera dan menghancurkan kemanusiaan di banyak negeri. Demikian juga model pengambilan sumber penciptaan karya sastra yang dilatarbelakangi aneka peristiwa kemanusiaan di Aceh ini.

Sebagaimana karya sastra yang bagus, kumpulan cerita pendek ini tak sepenuhnya rekaan atau permainan imajinasi melainkan serupa serangkaian catatan yang teramat hidup oleh seorang putra Aceh yang diilhami oleh peristiwa-peristiwa kemanusiaan yang hangat maupun kejadian-kejadian yang ganas yang terjadi di tanah kelahirannya sendiri. Peristiwa-peristiwa itu dirangkai dan diolah secara wajar, lancar, dan tak dibebani pernyataan-pernyataan atau slogan-slogan propagandis sehingga cerita semakin elegan dan menyentuh batin pembaca yang tak mengalami langsung tragedi kemanusiaan itu. Peristiwa-peristiwa itu hadir sebagai cerita yang bukan copy langsung dari kenyataan tetapi tetap menyerap muatan suatu kondisi tertentu yang teramat menyenyak dan brutal sehingga tetap bisa menggugah rasa kemanusiaan terhadap rentetan peristiwa tragedi kemanusiaan yang terjadi di Aceh beserta pergulatan batin masyarakatnya.

CERITA Menggambar Pembunuh Bapak adalah contoh kisah yang jitu merepresentasi kenyataan Aceh saat ini. Kisah ini memuat peristiwa yang pendek dan ringkas tetapi menggaungkan kesan yang dalam dan panjang tentang seorang anak yang menggambarkan secara seksama wajah bapaknya sendiri di atas tanah halaman rumahnya untuk bisa mengingat siapa pembunuh bapaknya. Ibunya yang gila tak bisa memberikan gambaran wajah bapaknya. Cerita ini gambaran yang menyentuh tentang tragedi yang banyak menimpa lelaki dewasa di Aceh yang terbunuh maupun hilang. Cerita ini secara samar mengatakan tentang hilangnya atau terputusnya tali antargenerasi lewat cara yang sangat memilukan. Ada bibit dendam dan juga percik rindu yang memerihkan batin manusia yang telah tertorehkan sejak usia dini, dan inilah yang kemudian bisa menjadi bom waktu yang kelak meledak.

Selain menyuguhkan kisah-kisah konflik yang penuh kekerasan antara “orang gunung” dan tentara maupun peristiwa sarat intrik pengkhianatan demi mencari keuntungan materi yang mengorbankan saudara sendiri, juga banyak dihadirkan pernik kepercayaan lokal, cara mereka memandang dunia, maupun khazanah kearifan tradisional yang hidup dalam masyarakat setempat beserta detail tata sosialnya yang unik dan jarang diketahui oleh kalangan masyarakat yang lain.

Ada sisi lain Aceh yang terungkap melalui cerita-cerita ini. Aceh bukan melulu konflik. Aceh memiliki sisi “kehidupan pribadi” sendiri yang hangat dan kokoh jati dirinya, yang sudah terpelihara berabad-abad di tengah kecamuk penindasan dan ancaman aneka kekejaman yang menimpanya dalam kurun yang tak singkat. Di media massa wajah Aceh seolah tak mengenal rasa damai dan tampak selalu menakutkan. Cerita-cerita dalam buku ini serupa rangkaian informasi yang lain yang dapat memberikan gambaran Aceh dari sisi yang lain sehingga Aceh dapat dipandang sosoknya secara lebih lengkap dan manusiawi.

Banyak cerita dalam buku ini yang menempatkan sosok ibu atau bapak sebagai tokoh yang menjadi pilar besar bagi keseluruhan cerita. Mereka menjadi semacam obsesi bagi sejumlah tokoh di dalam cerita-cerita ini. Ini bisa diartikan bukan hanya sebuah pilihan penokohan dalam gagasan cerita. Sosok ibu atau bapak ibarat simbol kekerabatan yang paling dekat tempat calon-calon manusia dewasa untuk menggali dan menuai nilai- nilai kehidupan bersama masyarakat yang melahirkannya. Ibu dan bapak adalah sosok yang penting sebagai penurun dan penjaga silsilah beserta segala muatan tradisinya. Mereka adalah simbol pelindung yang alamiah yang ketika mereka mati atau hilang bakal banyak calon manusia dewasa kehilangan sumber untuk mengisi dan membentuk dirinya. Dan Aceh adalah sebuah daerah di antara puluhan daerah yang lain yang selama ini merasa dianaktirikan, dilupakan, disia-siakan, dan bahkan dizalimi Pusat. Barangkali pendaman obsesi terhadap ibu dan bapak dalam diri para tokoh di dalam cerita-cerita ini adalah juga sebuah “politik” penulisan tersendiri.

STRUKTUR dan alur cerita dalam buku ini sederhana dan terang benderang. Tak ada upaya pencanggihan cara bercerita maupun pendahsyatan gagasan cerita. Gagasan cerita yang wajar dan latar cerita yang baru adalah kekuatan utama yang membuat pembaca betah mengikutinya, dan matanya bisa “menyaksikan” peristiwa-peristiwa brutal dan mengharukan seakan langsung di depan hidungnya sendiri. Cerita-cerita Azharai bukan sebagaimana reportase yang kaku dan formal, melainkan kesaksian yang lentur karena terlumuri rasa penghayatan yang sedap dan tajam. Gaya bertuturnya padat dan pendek namun menyimpan visi kepengarangan yang patut diperhitungkan, serta mengandung kemahiran mengemas gagasan cerita yang menjelma serupa obrolan asyik yang mengundang rasa ingin tahu yang kian bernafsu, seperti ketika sedang mengunyah makanan yang lezat.

Sepanjang sejarah penulisan karya sastra Indonesia modern buku inilah yang pertama kali intensif dan konsisten menggarap lokalitas masyarakat Aceh beserta jejak sejarah kekiniannya. Dan, di tengah “alergi” besar gagasan karya-karya sastra di negeri ini terhadap sumber penciptaan yang diilhami dan diolah dari peristiwa-peristiwa tragedi kemanusiaan yang banyak terjadi di pelosok negeri para pengarangnya sendiri, membuat buku ini mengandung daya pikat.

*Binhad Nurrohmat | Tulisan ini pernah dipublikasikan di rubrik Pustakaloka – Harian KOMPAS – 22 Januari 2005.

*Rehal buku: Perempuan Pala: kumpulan cerpen/ Azhari/ AKYPress, 2004.