Potret Peladang di Kalimantan

Potret Peladang di Kalimantan*

SEKITAR tahun 1970-an nasib orang Dayak digambarkan dengan “tempun petak nana sare”. Ungkapan yang diangkat menjadi judul buku ini menyiratkan penduduk asli yang mempunyai tanah tetapi harus mencari tanah ke tempat yang jauh, berladang di pinggiran untuk penghidupannya. Bermacam pohon seperti pantung, tengkawang, durian, yang menurut peraturan pemerintah tidak boleh ditebang, terpaksa direlakannya. Kebun milik warga terkena proyek yang mendapatkan ganti rugi tidak sepadan, bahkan tidak jarang hanya merupakan janji belaka.

Hadirnya perusahaan pemegang HPH (hak pengusahaan hutan) yang berdekatan dengan daerah ladang menciptakan berbagai relasi sosial dan ekonomi antara peladang dan pekerja dengan bermacam latar belakangnya. Penulis yang juga berkarya di harian Dayak Pos ini mengkaji perubahan sosial sekelompok suku Dayak Kadorih __salah satu suku asli Kalimantan yang sering disebut Dayak Ot Danum atau Dayak Dohoi_ sebagai dampak beroperasinya perusahaan pemegang HPH yang namanya disamarkan. Selama pertengahan Mei 1997 sampai November 2000, Rini tinggal di kamp Sungai Paroi, di wilayah Kalimantan Tengah, mencermati dan berinteraksi dengan peladang dan pekerja perusahaan.

Di samping menguraikan sejarah, pola kehidupan, hukum, dan nilai yang dianut komunitas peladang, dikisahkan juga benturan dan perlawanan mereka karena tidak puas dengan kebijakan ganti rugi, aksi penebangan pohon produktif, serta tergusurnya tajahan, lokasi yang dikeramatkan penduduk. (THA)

*Litbang Kompas, Harian Kompas, Minggu, 20 Maret 2005.

*Rehal buku: Tempun Petak Nana Sare: Kisah Dayak Kadori, Komunitas Peladang di Pinggiran •Penulis: Kartika Rini •Penerbit: INSISTPress •Edisi: I, Februari 2005.