Seseorang dan Tengah Malam

Seseorang dan Tengah Malam*

Beberapa orang yang duduk di sekitar kita mungkin akan masih ingat bagaimana aku membicarakan Ladytron dan Ivy dengan begitu semangatnya hingga mereka sebal dan membicarakan hal-hal lain hanya untuk menghindarkan diri mereka menjadi pendengar resensi musikmu. Saat kamu mulai beralih membahas band dalam negeri seperti Nextofkin dan Melancholic Bitch, aku menangkap beberapa pandangan tidak nyaman yang diarahkan kepada dirimu. Mungkin karena tahu bahwa aku hanya pendengar, mereka mengalihkan pandangan dan menyalakan rokok.

Pandangan tidak bersahabat itu mulai hilang ketika kita membahas kisah keluarga kita masing-masing. Aku begitu iri mendengar cerita mengenai keluargamu yang hangat hingga ketika kamu bertanya apakah aku lapar dan bahwa kamu “kenyang akan kenangan”. Ya, bagaimana tidak. Sekalipun kamu tergolong manusia yang tumbuh dalam kesendirian dan pengasingan, aku tidak mempunyai seorang sepupu yang begitu semangatnya bermusik hingga rela meninggalkan bangku kuliahnya, aku tidak mempunyai orang tua yang mampu bermain beberapa jenis alat musik, aku tidak tinggal di rumah yang selalu ramai dengan kawan dan perbincangan yang hangat.

Anehnya, kamu ternyata tidak tumbuh menjadi seorang musisi. Kamu hanya menjadikan dirimu sebagai penggemar musik dan kolektor CD. Berkebalikan dengan diriku yang datang dari keluarga yang selera musiknya sangat tidak keruan dan ternyata menjadi seorang musisi yang lumayan beken. Yah, paling tidak untuk kalangan tertentu.

Lalu tanpa sadar, ketika pembicaraan mengenai keluarga semakin mendalam, kamu berhenti menggunakan kata-kata bahasa Inggris dan menggantinya dengan kata-kata dari Bahasa Indonesia yang memiliki arti kekuatan tekanan yang setara dengan kata-kata dalam Bahasa Inggris. Kamu berhenti menggunakan kata-kata yang mungkin kamu comot dari lirik lagu, seperti lost, affection, gloomy, atau numb dengan frasa dari Bahasa Indonesia yang, sekalipun sederhana, membuatmu seolah sedang membacakan sebuah puisi serta rangkaian kata-kata yang sekalipun sederhana tapi mampu menjadi pengabar suasana di dalam dirimu. Mungkin itu pengaruh bir. Tapi bir semacam Carlsberg ukuran kecil tentu tidak akan membawa banyak perubahan atas dirimu. Lagipula tidak cukup dua botol Carlsberg ukuran kecil untuk membuat kamu mabuk.

Aku benar-benar menikmati saat itu. Jika kau tanya apa yang ada dalam pikiranku hingga aku melamun saat kamu mengeluarkan begitu banyak kata-kata, aku akan dengan cepat memintamu meneruskan pembicaraan karena aku sedang memikirkan anjing kecil di rumah yang belum diberi makan dan memusatkan perhatian sepenuhnya pada obrolan mengenai “ingatan yang meluntur” dan tindakan “mengamankan dirimu dari warna dan dunia”.

Dengan gaya bertutur seperti itu, aku bisa memahami bagaimana tubuhmu telah menjadi lapangan tempat bermain begitu banyak kenangan dan kejadian. Terlebih jika dibandingkan beberapa hari lalu saat kamu menceritakan tubuhmu yang “hilang arti” tersebut dengan banjir ungkapan dalam bahasa Inggris hingga membuatku merasa bahwa kamu tidak sedang menceritakan dirimu tapi menceritakan setumpuk buku mengenai tubuh yang kamu koleksi.

Pun, aku juga tidak merasakan bahwa kamu sedang memungut baris-baris puisi dari beberapa penyair yang pernah kamu sebutkan. Siapa saja? Ah, aku bukan mahasiswa sastra dan bukan penggemar sastra, aku hanya ingat seseorang dengan nama belakang yang mirip dengan kata ‘mesin turbo’ dan seorang lagi penyair yang namanya mirip nama seorang tokoh dalam cerita anak-anak Wizard of Oz. Siapa ya? Dorothy? Dorothea?

Kamu seolah kamera retak yang merekam begitu banyak gambar dan menumpahkannya dengan sempurna dalam kata-kata. Ah, benar khan, aku sudah ketularan.

Ketularan begitu parahnya hingga aku memiliki kebiasaan baru yang dengan segera menambah ketenaran bandku: menerjemahkan dan mengubah lagu-lagu berbahasa Inggris dan mencoba tidak lagi menulis lirik laguku sendiri dalam bahasa Inggris

Lihatlah kini bagaimana kerumunan anak-anak muda itu berjingkrak kegirangan, seolah ingin melemparkan tubuh mereka jauh-jauh ke perbatasan sadar dan tidak sadar. Aku hanya bisa ikut meloncat-loncat dari balik synthesizer dan mengagumi stamina vokalis band kami yang karakter suaranya mirip sekali dengan vokalisnya Ladytron. Beberapa orang yang sebelum kami naik panggung hanya duduk-duduk di pinggir lapangan, ikut terseret lantunan lagu kami dan meninggalkan rasa sungkan mereka bersama dengan botol air mineral mereka di pinggir lapangan.

Lapangan kampus yang biasanya hanya digunakan untuk upacara bendera dan main bola itu kini berubah menjadi ajang penemuan kembali tubuh-tubuh yang selama ini dibebani begitu banyak hal, tubuh yang kehilangan arti, tubuh yang terluka, tubuh yang dalam pencarian anggota tubuh yang lepas, tubuh yang kehilangan ingatan.

Mereka tahu bahwa lagu kami yang berjudul “Seseorang dan Tengah Malam” ini adalah gubahan dari Destroy Everything You Touch-nya Ladytron.

Ai, salahkah aku memakai judul itu? Haruskah aku meminta izin kepada penulisnya? Tentu kau tidak akan ingat bahwa pada pertemuan kita malam itu, beberapa orang melihat aku memasukkan sebuah buku puisi ukuran kecil dengan gambar sampul sebuah gudang dan berwarna dominan hitam ke dalam tasku.

Buku puisi kecil yang membuatmu meninggalkan istilah-istilah bahasa Inggris dan menyadarkan dirimu bahwa sejarah tubuhmu dan lebih pantas dijelaskan menggunakan Bahasa Indonesia, bahasamu sendiri, alat untuk menyusun kembali tubuhmu setelah sekian lama tercabik oleh penyakit kulit yang mematikan, yang membuat cinta berpaling darimu karena di zaman ini cinta lebih memilih untuk hinggap di tubuh-tubuh serupa manekin.

*Sumber: Tandabaca.com6 September 2006.

*Rehal buku: Biografi Kehilangan: sebuah kumpulan puisi/ Dina Oktaviani/ INSISTPress, 2006.