Ladang Emas di Medan Perang

Ladang Emas di Medan Perang*

Mereka yang datang membawa M-16, pulang membawa 16 M. Lelucon satiris ini beredar di kalangan aktivis perdamaian Nanggroe Aceh Darussalam. M16 adalah jenis senjata laras panjang, sedangkan 16 M artinya Rp.16 miliar. Maksudnya, kehadiran pasukan yang membopong senjata ke kawasan itu bakal menghasilkan keuntungan besar, bagi militer maupun swasta.

Bisnis perang: itulah sebutan yang tepat menurut La Empressa Guerra, buku yang diterjemahkan dari bahasa Spanyol dan diluncurkan Penerbit INSISTPress pekan lalu. Pertikaian dua negara, kelompok etnis, agama atau apa pun, tak lagi bisa dipandang sebagai ketidakharmonisan saja. Teori klasik bahwa “perang digerakkan oleh sebuah negara atau bangsa yang berdaulat dan diatur oleh hukum internasional” tampaknya tak laku di masa kini. Kenyataan menunjukkan, hukum internasional dipermainkan oleh metode perang baru yang digerakkan oleh berbagai pelaku yang sering kali bebas bergerak di luar hukum.

Karl Marx sudah lama menyodorkan konsep perang sebagai bagian dari kapitalisme. Fungsi perang bukan hanya penaklukan atau perebutan wilayah dan pasar serta sumber alam dan tenaga kerja. Lebih dari itu, “Perang merupakan mekanisme kapitalisme untuk mengatasi krisis kapitalisme yang diakibatkan oleh overproduksi.”

Ya, dengan kata lain, perang adalah jalan keluar kapitalisme untuk bertahan hidup, bahkan melipatgandakan modal alias untung. Ingat Perang Teluk II pada 2003. Ketika empat orang tentara Amerika Serikat terbunuh di Fallujah, terkuaklah bahwa mereka bukan anggota militer AS, melainkan “tentara partikelir” yang tergabung dalam perusahaan militer swasta, Blackwater USA. Keterlibatan perusahaan-perusahaan seperti ini tak terbatas pada penyediaan “tentara swasta”, tapi juga penyediaan pakar militer, informasi, dan radar yang membantu pasukan Amerika.

Mereka terlibat aktif dalam pelatihan pasukan paramiliter di berbagai negara. Di Kolombia, Meksiko, dan Guatemala, perusahaan militer swasta memerangi gerilyawan sayap kiri sambil menyebarkan teror kepada penduduk setempat. Di wilayah yang dihantam konflik dan pemisahan seperti wilayah Balkan, bekas negaraYugoslavia, dan Timor Timur, mereka hadir memberikan pelatihan militer kepada polisi dan pasukan khusus. Hebatnya, semua dilakukan dalam balutan istilah “rekonstruksi” dan “kemanusiaan”.

Bahkan perang melawan terorisme kini pun tak luput dari tangan-tangan bisnis. Craig Unger dari New York Observer mengungkapkannya dalam House of Bush, House of Saud: The Secret Relationship Between the World’s Two Most Powerful Dynasties. Keluarga Bush ternyata berkongsi dengan keluarga Bin Ladin melalui kelompok usaha Saudi Binladin Group. Kedua dinasti ini juga sama-sama menanam saham di Carlyle Group, perusahaan keamanan swasta di Amerika.

Makin banyak dana dikucurkan Amerika untuk menumpas terorisme, bertambah lancar pula kocek mengalir ke keluarga Bin Ladin yang, ironisnya, adalah musuh utama Amerika pascaserangan 11 September. Apa boleh buat, bisnis menihilkan pertentangan itu.

Untuk memberi konteks lokal, buku ini juga memuat artikel dari penulis Indonesia: George Junus Aditjondro dan Andi Widjajanto. Aditjondro menyorot politik bisnis tentara di Papua. Demi retorika “mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan RI”, pemerintah selalu punya alasan untuk mengirim serdadu ke kawasan konflik. Padahal, ada kepentingan bisnis yang menyembul. Mereka inilah yang “menikmati” peperangan.

*Andari Karina Anom | Lansiran dari: TEMPO Online02 Oktober 2006.

*Rehal buku: La Empresa Guerra: Bisnis Perang dan Kapitalisme Global/ Dario Azzelini & Boris Kanzleiter/ Dina Oktaviani (penerjemah)/ Onny Wiranda (penyunting)/ INSISTPress, 2005.