Kaum Homoseks Menuntut Hak

Kaum Homoseks Menuntut Hak* 

Awalnya agak enggan untuk membaca apalagi sampai meresensi buku ini. Dari judul dan karikatur cover-nya saja terkesan cabul. Namun, setelah mendalami buku ini, bisa dipastikan tidak ada satu kalimat pun yang mengundang memuncaknya birahi manusia.

Terus terang dari awal hingga akhir buku ini, saya yakin kita yang memiliki kenormalan dalam memilih seksualitas dan berkeyakinan akan adanya agama sebagai pedoman hidup, pasti tidak akan pernah setuju dengan apa yang disampaikan penulis, dan menganggap argumentasi yang diutarakan dengan mengutip beberapa ayat Alquran adalah akal-akalan belaka. Namun, patut diakui, secara tata bahasa, buku ini cukup dinilai baik, tidak bertele-tele dan tepat sasaran. Sehingga pembaca pun dibuatnya tidak ingin melewatkan bab demi bab yang disampaikan penulis.

Sebelum menyelami buku ini, ada beberapa catatan saya untuk penulis. Silakan saja berbeda dalam menentukan pilihan hidup karena Allah swt. pun memberi kebebasan kita untuk menentukan pilihan. Umbarkan semua argumentasi untuk memperkuat pemikiran penulis. Tapi satu hal yang perlu diingat, sesungguhnya Alquran bukan kitab kacangan, kebenarannya tidak diragukan lagi, di dalamnya sudah jelas mana yang hak dan batil. Jadi, salah besar bila penulis mengatakan bahwa beberapa ayat Alquran masih sangat abstrak.

Dalam buku ini, penulis menuntut hak atas perbedaan pilihan seksnya. Jika sebagian besar negara masyarakatnya memilih berhubungan seks dengan lawan jenisnya itu bisa dilindungi oleh agama, negara, dan kapitalis. Tapi mengapa hal itu tidak bisa diterapkan juga bagi kaum minoritas dunia, yakni kaum homoseksual. Menurut penulis. Bukankah kaum homoseks juga manusia, dan itu merupakan urusan privasi individu seseorang. Mengapa agama, negara, dan kapitalis sebagai tiga kekuatan dunia dalam menentukan kebijakan tidak melindungi. Bahkan dianggap sebagai tindak penyimpangan atau abnormalitas, gejala kejiwaan dan dosa.

Sejauh ini kaum homoseks di Indonesia tidak pernah melanggar peraturan yang telah ditentukan oleh undang-undang pemerintahan. Bahkan menurutnya, tidak sedikit kaum homoseks memiliki kepekaan sosial yang cukup tinggi. Tidak hanya melarang, justru pemerintah juga menyudutkan kaum homoseks melalui kaki tangan kekuasaan pemerintah. Dokter-dokter begitu gencar menyosialisaikan dampak buruk dari perbuaan homoseks melalui seminar, pendidikan dan lainnya. Sedangkan agama, tak henti-hentinya memberi ceramah bahwa itu perbuatan dosa. Hal ini menimbulkan rasa takut pada seseorang yang memang sejak awal memiliki kecenderungan senang kepada sesama jenisnya.

Padahal, menurut penulis, di dalam Alquran yang menurutnya memiliki makna yang sangat abstrak tidak menjelaskan bahwa kaum homoseksual sejak zaman kenabian itu dilarang dalam agama. Untuk memperkuat itu, penulis mencantumkan beberapa surat dan ayat. Seperti QS.24:30 yang terjemahannya berbunyi: “Katakanlah kepada laki-laki beriman, agar mereka menjaga pandangannya dan memelihara kemaluannya. Yang demikian lebih suci bagi mereka, sungguh Allah maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”.

Penulis menafsirkan ayat ini dengan kehendaknya. Ia menerangkan bahwa sesungguhnya perintah menundukkan pandangan bagi kaum laki-laki agar tidak terjadi zina. Seseorang akan dikatakan berzina apabila melakukan hubungan suami istri di luar akad nikah, “belum menikah” menurutnya, ayat ini berlaku bagi semua individu, baik yang memiliki kecenderungan terhadap lawan jenis, maupun sesama jenis.

Jadi, katanya, jika kaum homoseksual melakukan hubungan badan dalam tali ikatan pernikahan maka mereka tidak termasuk orang yang melakukan zina dan itu diperbolehkan dalam Islam. Masih banyak ayat lain yang telah diselewengkan maknanya.

Penulis pun mengaitkan bencana yang terjadi pada zaman Nabi Luth. Menurutnya, bencana hebat yang ditimpakan kepada kaum Nabi Luth bukan karena kebanyakan umat Nabi Luth melakukan sodom, melainkan kerena pada zaman itu umat Nabi Luth lebih banyak melakukan kemaksiatan mencuri, mabuk-mabukan, berzina dan lainnya.

Akibat tangan-tangan kuasa yang turut campur tangan dalam urusan pilihan seksualitas manusia, maka banyak yang harus dikorbankan. Misalnya, kebudayaan tarian-tarian nusantara banyak yang luntur dan tidak memiliki ruh lagi dalam menghibur masyarakat (ada beberapa tarian nusantara yang memang harus dilakoni oleh kaum homoseks. Misalnya, tarian reog dan tarian daerah lainnya yang melibatkan pencinta sesama jenis). Sejak digantikannya pasangan penari dengan lawan jenis, lantaran ada pelarangan dari agama Islam, maka tarian itu tidak lagi memiliki makna.

Jadi, menurutnya, salah jika budaya homoseks yang ada di Indonesia itu mengadopsi dari barat. Ternyata jauh sebelum budaya barat masuk, orang-orang terdahulu bangsa ini juga sudah ada kaum homoseksnya. Tidak mungkin rasanya budaya itu akan dimusnahkan dari negeri yang menganut prinsip gotong royong dan tepo seliro. Artinya, jika ketiga kekuasaan (agama, pemerintah dan kapital) ingin membumimusnahkan kaum homoseksual dengan berbagai program pendukungnya, pemerintah berusaha untuk menghilangkan budaya nenek moyang.

Konsep pemikiran Foucalt begitu melekat dan mendarah daging di pikiran penulis. Hampir di setiap bab buku ini memasukkan teori Foucalt. Salah satu teorinya mengatakan bahwa kekuasaan bersifat ada di mana-mana, ia direproduksi, diproliferasi, serta dioperasikan untuk dinikmati, dan justru bukan merasa tertindas olehnya. Inilah teori yang membuat penulis sepertinya begitu semagat untuk memperjuangkan hak kaum homoseksual sebagai warga negara yang patut dilindungi oleh pemerintah.

Homoseksual bukan bagian dari penyimpangan yang disertai dengan abnormalitas dan gejala kejiwaan, tetapi hal itu tidak jauh dari pilihan sekualitas saja (hal:133). Jika kaum homoseks ingin dihilangkan maka hilangkan pula pemerintah, agama, dan kapital karena mereka bagian dari timbulnya hal tersebut. Penulis mengampanyekan saatnya menghilangkan pola pikir Victorian yang memandang homoseks sebagai penyimpangan dan dosa. Karena homoseksual bukanlah suatu aib.

*Eni Musliha, Penggiat Bengkel Jurnalis, tinggal di Bandar Lampung. | Sumber: Lampung Post – 27 Sep-2007.

*Rehal buku: Tangan Kuasa dalam Kelamin: Telaah Homoseks, Pekerja Seks, dan Seks Bebas di Indonesia/ Hatib Abdul Kadir/ Benedict Anderson (editor)/ INSISTPress, 2007.