Dari penindasan Sampai ke Ketahanan Pangan

Dari penindasan Sampai ke Ketahanan Pangan*

Negeri ini penuh dengan ironi dalam hal pangan. Tanahnya subur, sumberdaya alam hayati melimpah dan sebagian besar penduduknya hidup dari pertanian, namun sejak awal 2005 kerap tersiar kabar kelaparan, rawan pangan, serta gizi buruk.

Pemerintah Indonesia pernah mendapat penghargaan dari Organisasi Pangan Dunia (WHO) pada 1980-an karena berhasil dalam swasembada beras. Tetapi, pada 1994 Indonesia kembali mengimpor beras dan hingga kini hal tersebut masih menghantui wacana tentang pangan di negeri kita.

Masalah ini memang tidak hanya terjadi di negara kita, tapi hampir di negara-negara Dunia Ketiga. Delapan ratus juta orang hidup di bawah ancaman kelaparan sepanjang hidupnya dan sebagian besar penderitanya justru para petani. Yang menjadi pertanyaan, mengapa justru petani yang menjadi orang pertama yang menderita kelaparan?

Kelaparan itu sendiri sebenarnya terjadi karena ulah manusia itu sendiri, seperti keserakahan segelintir manusia yang merampas sumber daya alam dan makanan yang menjadi hak orang banyak serta mengambil keuntungan dari orang-orang yang tertindas lewat akal-akal bulus.

Keserakahan, kehidupan yang tidak mengenal kata “cukup”, dan menganggap diri lebih berarti daripada yang lain telah mendorong manusia berbuat untuk mendapatkan dan menguasai lebih dan lebih lagi. Bahkan tidak jarang “si kaya”, orang-orang atau negara-negara maju yang menguasai lebih banyak pangan itu, justru lebih menghargai harkat binatang daripada harkat seorang manusia miskin (lapar).

Buku ini mengungkapkan secara sederhana dan gamblang ketidakadilan pangan yang terjadi di muka bumi ini dalam bentuk komik. Ditulis oleh Susan George dengan judul “Food for Beginners” dan diterbitkan pertama kali pada 1982. Kemudian pada 1985 Kelompok Studi Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) menerbitkannya dalam edisi bahasa Indonesia dengan harapan akan tumbuh kesadaran rakyat dan pemerintah untuk merespons ketidakadilan pangan yang terjadi di Indonesia. Kemudian diterbitkan kembali pada Agustus 2007, dengan harapan semoga bermanfaat sebagai bahan penyadaran baik bagi si “miskin” atau kaum lapar dan bagi para pengambil kebijakan agar tercipta keadilan pangan yang merata.

Namun demikian, setelah dua puluh tiga tahun berjalan, kondisinya tidak jauh berubah, malah boleh dikatakan memburuk. Kesenjangan ekonomi masih tetap tajam dan tragisnya petani yang memproduksi pangan justru kerap kekurangan pangan alias kelaparan. Bahkan, di beberapa daerah di Indonesia keluarga petanilah yang menjadi korban penyakit busung lapar. Sudah tentu hal itu dikarenakan kekurangan gizi atau gizi buruk. Produk pangan mayoritas disedot untuk memenuhi kebutuhan sekelompok kecil warga kaya yang umumnya tinggal di pusat-pusat kota.

Sebenarnya Indonesia sendiri tidak kekurangan sumber daya, baik keuangan maupun sumber daya hayati pangan. Tetapi sungguh ironi, di sebuah negara yang Gemah Ripah Loh Jinawi terdapat kondisi busung lapar dan kurang gizi. Setelah ditelaah, ternyata persoalan kecukupan pangan dan gizi buruk lebih disebabkan oleh sesat fikir dan salah urus daripada karena kemiskinan atau infrastruktur yang tidak memadai. Dan hal ini juga terjadi di tingkat global.

Beberapa hal yang termasuk salah urus seperti proses monokulturisme. Segala sesuatu yang bertumpu pada faktor tunggal akan rawan terhadap gangguan. Bila kebijakan pertanian dan pangan Indonesia yang monokultur tidak diubah, maka rawan pangan akan tetap menjadi persoalan yang sulit diselesaikan.

Berbeda dengan Eropa dan negara-negara maju lain, di mana petani memperolah berbagai dukungan dan subsidi, petani di Indonesia adalah kelompok yang paling tidak bisa menggunakan hak-hak sosial-ekonominya sebagai warga negara. Kualitas sumberdaya manusia petani (dan nelayan) adalah yang terendah, dari segi pendidikan maupun kesehatan. Petani adalah produsen pangan, tetapi merupakan kelompok termiskin di Indonesia, tanpa perlindungan ekonomi dan sosial yang memadai.

Hal ini terjadi karena pembangunan bagi petani (dan nelayan) gagal dikaitkan dengan pengembangan kesejahteraan melalui pembangunan desa yang adil dan merata. Mereka hampir tidak pernah mendapatkan pelayanan informasi mengenai pasar, iklim dan hasil-hasil penelitian yang bisa mereka terapkan, termasuk mengenai teknologi tepat guna yang bisa memberikan nilai tambah pada produk mereka.

Buku ini menolak alasan klise yang menyesatkan tentang penyebab kelaparan di Dunia Ketiga seperti populasi yang terlalu padat, iklim, dan sistem pertanian yang tidak efisien. Buku ini justru mengetengahkan permainan kejam agribisnis multinasional, metode neo-malthusian, dan neo-kolonialisme, sekaligus membuka topeng pemberi dana yang sok suci sekaligus membongkar akar eksploitasi.

*Sri Setiawati | Sumber: Opini Indonesia – Edisi 100/Tahun II/Tanggal 19 Mei-25 Mei 2008.

*Rehal buku: PANGAN: Dari Penindasan Sampai Ketahanan Pangan/ Susan George, Nigel Paige/ Magdalena Sitorus (penerjemah)/ INSISTPress dan KSPPM, 2007.