Profesi Guru, ”Lahan” Tak Bertuan?

Profesi Guru, ”Lahan” Tak Bertuan?*

Pelbagai perbincangan mengenai sertifikasi guru sebenarnya menghadirkan sebuah tren baru guru dalam mereformasi diri. Di satu sisi, sertifikasi guru memberi kepastian bagi pihak penyelenggara pendidikan untuk mendapatkan guru-guru yang profesional. Namun di sisi lain, sertifikasi guru menghadirkan periode baru dalam sistem pendidikan guru yang kilat, cepat, dan sering kali tak memiliki fondasi evolusionis bagi siapapun yang layak menyandang profesi mulia ini.

Belum lagi, kita banyak menyaksikan guru yang sudah belasan sampai puluhan tahun mengajar mesti jungkir balik mencari-cari sertifikat yang tak tertata sedari awal. Tak sedikit pula guru yang melakukan pemalsuan sertifikat. Itu semua dilakukan demi sebuah pengakuan atau legitimasi diri, “saya memang guru profesional.” Simpulannya jelas, bahwa profesi guru bukanlah profesi kultural, melainkan profesi yang layak dihuni oleh siapa saja, bahkan untuk mereka yang sebenarnya “terpaksa” menjadi guru. Kalau begitu, benarkah profesi guru layaknya “lahan” tak bertuan sehingga siapa saja dapat menjadi guru?

Periode pasca reformasi

Potret buram guru pasca reformasi dapat dilihat dari bagaimana periode-periode sebelumnya. Muchtar Buchori dalam bukunya Evolusi Pendidikan di Indonesia (2007) membagi pendidikan guru Indonesia menjadi empat periode, yakni periode 1945-1949 sebagai periode rehabilitasi sistem pendidikan guru, periode 1950-1965 sebagai periode ekspansi sistem pendidikan guru, 1969-1984 sebagai perioode moderniasasi pendidikan guru, dan periode 1984-1989 sebagai periode ambivalensi. Periode terakhir inilah yang disebut Muchtar Buchori sebagai periode yang ditandai oleh munculnya keragu-raguan dalam lembaga pendidikan guru Indonesia mengenai jati diri yang sebenarnya. Dari situ, kegundahan mengenai ketidakcakapan universitas bekas IKIP bukanlah terjadi begitu saja, tetapi secara evolusionis dimulai pada periode ambivalensi dan sampai kini.

Apalagi profesi guru makin diminati, karena kebutuhan akan tenaga guru dari tahun ke tahun semakin tinggi terutama di daerah-daerah. Ini semakin memastikan bahwa profesi guru yang –sebelum sertifikasi guru diberlakukan – setiap orang bebas mendeklarasikan dirinya sebagai guru. Menyandang predikat guru begitu mudah, tak perlu susah-susah sebagaimana mengikuti pendidikan dokter. Tentu saja, ini semakin menggerus keyakinan masyarakat terhadap universitas bekas IKIP untuk menggelorakan kembali predikat profesi guru ke khittahnya, yakni yang secara kultural dibentuk atas dasar pengakuan sosial masyarakat.

Namun itu kembali kepada pendidikan guru pasca reformasi yang faktanya kian lama kian terbenam oleh kepentingan pemodal, terlebih setelah sektor pendidikan masuk ke dalam sektor tersier (PP nomor 77/ 2007) dan akan diberlakukannya Undang-undang Badan Hukum Pendidikan yang keduanya seperti menjadi satu paket yang sangat menguntungkan pihak pemodal daripada kepentingan pendidikan nasional itu sendiri.

Kalah pamor

Ada beberapa alasan mengapa universitas bekas IKIP kalah pamor baik dilihat dari peringkat perguruan tinggi dan rendahnya animo masyarakat untuk tertarik datang, lihat, saksikan, dan kemudian menghadirkan minat dan kepercayaan terhadap universitas bekas IKIP, yakni: pertama, kekhawatiran berlebih kalau guru tak mampu menjadi profesional atau pengamat atau penjabar terhadap keilmuannya. Sebagai misal guru Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) yang berasal dari jurusan Ilmu Sosial Politik begitu percaya diri menerangkan kondisi perpolitikan terhadap murid-muridnya di kelas, namun tidak punya daya ketika ia harus menerangkannya ke dalam tulisan atau dikirim ke media massa untuk dibaca publik. Kedua, sedari awal mahasiswa pendidikan hanya memiliki kekuasaan untuk membahas, menganalisis, dan meneliti dalam dunia yang tertutup tembok atau pagar, yakni kelas dan sekolah. Sehingga sangat sulit bagi universitas bekas IKIP untuk mengeksplorasi secara keseluruhan terhadap adanya kaitan epistemologis yang erat antara ilmu pengetahuan dan realitas. Ketiga, IKIP yang mengkonversi diri menjadi universitas disinyalir makin menggerus profesi pendidik. Seperti mengubah tanda lahir, agak aneh kiprah universitas bekas IKIP karena titik berat kurikulum bagi profesi guru makin lemah, karena program studi non pendidikan akan lebih dikedepankan. Secara materiil, program studi non pendidikan dibuka seluas-luasnya, sehingga nafas bagi program studi pendidikan makin terbenam. Bahkan asumsi yang terpikirkan, program studi pendidikan akan disatukan ke dalam satu fakultas, layaknya FKIP (fakultas keguruan ilmu pendidikan) seperti yang diselenggarakan di UKI, Atma Jaya, Unila, dan universitas lainnya.

Kenyataan di atas seperti tak dapat ditolak. Apakah periode pendidikan guru pasca reformasi ini menandai semakin lemahnya politik pendidikan untuk masuk dalam praksis kebijakan dunia pendidikan yang lebih banyak dilakonkan oleh mereka yang tak memiliki pengetahuan tentang sejatinya ilmu pendidikan? Pendidik tanpa ilmu pendidikan (pentip) yang dilayangkan Winarno Surakhmad layaknya patut direnungkan terlebih hasrat mengkomodifikasi pendidikan tak lagi dapat terbendung oleh mereka yang sangat sadar dengan kondisi pendidikan guru kita yang tiada berdaya melawan hegemoni liberalisasi ekonomi yang sudah masuk dalam rahim pendidikan. Sehingga benarlah kalau profesi pendidik sudah seperti “lahan” yang tak bertuan (lagi)?! Benarkah?

*Muh Ivan Azhari, Alumnus Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta. Sumber: Kompasiana/opini – 03 Desember 2009.

*Rehal buku: Evolusi Pendidikan di Indonesia: Dari Kweekschool sampai ke IKIP: 1852-1998/ Mochtar Buchori/ INSISTPress,  2007.