Berebut Berkah Nikotin

Berebut Berkah Nikotin*

SETIAP buku selalu menyimpan kekuatan dari visualisasi sampul. Begitu juga buku ini. Ketika  memutuskan untuk menyimak, pandangan tercuri di dua titik. Pertama, bayangan pistol yang dihasilkan dari gambar jari-jari tangan yang mengapit sebatang rokok. Kedua, logo yang seketika memberi asosiasi pada industri farmasi —yang tergambar dari kepulan asap rokok.

Tentu saja, ketertarikan tersebut serta-merta menyingkirkan kesan meremehkan buku ini gara-gara cukup disusun dalam 137 halaman. Terlebih lagi, dari segi ukuran pun relatif mungil, 14 x 21 centimeter. Namun, Wanda Hamilton sebagai penulis buku ini sepertinya tak mau bertele-tele ketika memaparkan data dan kajian tentang agenda global pengendalian asap tembakau. Dia ingin menunjukkan kepada kita terkait peranan korporasi farmasi di balik agenda tersebut.

Sosok dan nama Wanda Hamilton barangkali tak teramat akrab terdengar. Dia memang ”hanyalah”  seorang akademisi, jurnalis, dan aktivis Forces International, Amerika Serikat. Yang mengesankan, selama sembilan tahun terakhir, ia rela dan sedia diri buat menghabiskan waktu menjadi seorang peneliti independen. Ia pun rajin menulis isu-isu ilmu pengetahuan dan kebijakan publik yang berkaitan dengan merokok dan hak-hak para perokok.

Tidakkah kini isu serupa tengah ”menghantui” kita di Indonesia? Belum lama kita menyaksikan Pimpinan Pusat Muhammadiyah memfatwa rokok itu haram. Satu fatwa tambahan lagi setelah sebelumnya dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pemerintah pun semakin kencang mengampanyekan gerakan antitembakau. Bahkan, kini tengah disusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif bagi Kesehatan. Kontroversi di seputar isu rokok dan tembakau pun mengemuka, dibahas tanpa habis-habisnya.

Tak pelak, kehadiran buku ini seperti memosisikan diri sebagai analisis sekaligus kritik terhadap pihak-pihak tersebut. Serangkaian analisis yang menyajikan fakta dan data, bukan prediksi apalagi fiksi. Dan, Wanda memulai dengan merunut muasal gencarnya perlawanan global terhadap tembakau, yakni adanya Prakarsa Bebas Tembakau (Free Tobacco Initiative) yang menjadi salah satu poin WHO Cabinet Project. Kita catat: World Health Organization, WHO. Penting diutarakan bahwa WHO Cabinet Project merupakan pelaksanaan kebijakan Health for All in the 21st Century di bawah rezim Direktur Jenderal WHO Dr. Gro Harlem Brundtland. Bekas Perdana Menteri Norwegia, dokter, dan politisi kawakan tersebut terpilih pada Mei 1998.

Kini, Prakarsa Bebas Tembakau itu didukung secara finansial dari tiga korporasi farmasi besar, yakni: Pharmacia & Upjohn, Novartis, dan Glaxo Wellcome. Ketiga perusahaan itulah yang kemudian menghasilkan produk-produk untuk menangani ketergantungan terhadap tembakau. Bentuknya berupa permen karet nikotin (nicotine gum), patches, nasal spray dan inhalers, serta obat-obat nonnikotin seperti bupropion. Aduhai barang-barang yang langka di negeri ini. Dibaca-baca atau didengar dari unsur penamaannya pun terasa betapa kurang akrab di telinga.

Dramatisasi Sebagaimana dikutip penulis buku ini, WHO pun (secara dramatis) memperkirakan angka 4,9 juta kematian per tahun yang disebabkan tembakau. ”Selain itu, diprediksi pula pada 2020 angka kematian tersebut jadi dua kali lipat. Rata-rata 70% kematian terjadi di negara berkembang. Tembakau disebut sebagai kontributor utama dari perkembangan begitu besar penyakit-penyakit yang dihadapi negara berkembang. Hal ini meningkatkan ancaman penghancuran pembangunan sosial dan ekonomi negara-negara tersebut.” Hm, benarkah itu?

Wanda membantah rilis WHO itu dengan mengutip peneliti yang kritis terhadap ”propaganda” antitembakau. Seperti, Robert A Levy, Rosalind B. Marimont, Judith Hatton, dan Lauren A. Colby. Mereka menunjukkan beberapa hasil penelitian dan kajian ilmiah yang membuktikan tidak adanya hubungan antara merokok dengan risiko kanker payudara dan sakit jantung. Mereka pula yang mengungkapkan bahwa tembakau bukan penyebab utama dan bukan satu-satunya risiko segala penyakit yang dihadapi negara berkembang seperti didramatisasi WHO.

Sebaliknya, pada 2008 saja, obat-obatan yang diproduksi industri farmasi tadi berhasil dijual di atas 3 miliar dolar AS. Bersamaan dengan itu, WHO tak alpa menggalang ìsekutuî melalui pertemuan dengan pemuka agama di Jenewa, 3 Mei 2009. Belum lagi dengan diletakkannya landasan hukum internasional bertitel Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Satu piranti ampuh guna mematikan industri tembakau dan menjual obat pengganti nikotin. Segenap kampanye antitembakau itu pun tak luput dari sokongan korporasi-korporasi farmasi.

Tak salah bila Gabriel Mahal dalam epilog buku menulis, ”Tidak ada bisnis yang lebih aman dan nyaman daripada bisnis yang didukung oleh suatu lembaga internasional dan hukum internasional yang dibungkus rapih dan meyakinkan dengan bungkusan itikad baik demi kepentingan publik.”

Ulasan Wanda dari Bab 1 Perang Nikotin: Kronologi sampai akhir Bab 12 Menyelamatkan Nyawa atau Memaksakan Obat dan Agenda? tentu menjadi sumber argumentasi Gabriel Mahal. Wanda memang memaparkan data secara proporsional dulu, sebelum menganalisis dan menarik satu kesimpulan tajam, seperti dibahasakan Gabriel Mahal.

Tetapi, adakah proporsionalitas informasi tentang rokok dan tembakau di Indonesia diutarakan oleh pemerintah, kalangan ulama, dan aktivis antitembakau sebelum melempar satu sikap? Kita melihat bahwa informasi soal efek positif-negatif rokok pun tak dihadirkan secara tuntas dan seutuhnya. Hanya ditampilkan sebagian, lalu dijadikan kebenaran tunggal oleh pemerintah, kalangan ulama, dan aktivis antitembakau. Mereka tidak jujur kepada publik sehingga pantas kalau muncul anggapan: mereka tidaklah lebih dari pihak-pihak yang ”berebut berkah nikotin!”

*M Lubabun Ni’am Asshibbamal | Sumber: Suara Merdeka.com – 25 Juni 2010.

*Rehal buku: Nicotine War: Perang Nikotin dan Para Pedagang Obat •Penulis: Wanda Hamilton •Penerjemah: Sigit Djatmiko •Penerbit: INSISTPress dan Spasimedia •Edisi: I, Mei 2010.