Dari Buku Nicotine War, Anti Tesis Gerakan Anti Tembakau (5-habis)
Skandal Dibalik Gerakan Anti Tembakau Global*
Judul tulisan di atas melukiskan betapa perang nikotin tidak lebih dari sebuah intrik-intrik korporasi farmasi internasional untuk meraup keuntungan secara materi melalui teror bahaya racun nikotin. Bagaimana koorporasi farmasi internasional meraup kentungan besar melalui kampanye anti nikotin, yang mengemas diri sebagai dewa penyelemat dengan menggandeng lembaga publik dan hukum global. Berikut adalah bagian akhir tulisan Wanda Hamilton yang dinukilkan dari buku Nicotine War.
Perang Nikotin, sebagaimana digambarkan oleh Wanda Hamilton sudah nyaris dimenangkan oleh korporasi-korporasi farmasi internasional. Kemenangan ini, tidak lepas dari suksesnya kampanye-kampanye internasional yang dilakukan sejumlah NGO anti tembakau dan dukungan dari organisasi kesehatan dunia WHO. Seperti telah diuraikan sebelumnya, gencarnya perang global melawan tembakau itu diawali dengan peluncuran prakarsa bebas tembakau (Free Tobacco Initiative), yang menjadi salah satu dsri tiga project cabinet WHO. Program ini merupakan pelaksanaan kebijakan WHO Health for All in the 21 a Century, di bawah rejim Direktur Jenderal WHO Dr. Gro Harlem Brundtland, mantan Perdana Menteri Norwegia.
Proyek Prakarsa Bebas Tembakau ini didukung dana dari tiga korporasi farmasi besar, yakni Pharmacia & Upjohn, Novartis, serta GlaxoWellcome. Kemitraan antara WHO dan ketiga korporasi farmasi itu diumumkan langsung oleh Brundland dalam pidatonya di forum ekonomi dunia di Davos, Swiss pada akhir Januari 1999. Dalam pidatonya itu, Brundtland menegaskan, bahwa ketiga korporasi farmasi yang mendukung gerakannya merupakan manufaktur produk-produk Nicotine Replacement Treatment (NRT).
Proyek prakarsa anti tembakau dari WHO merupakan momentum yang tepat dan menguntungkan bagi korporasi-korporasi farmasi. Setidaknya, ada tiga keuntungan yang berhasil diteguk dari ketiga korporasi itu. Pertama, melalui proyek prakarsa iniindustri tembakau dapat dibunuh, atau setidaknya dapat dihambat perkembangannya. Kedua, pada saat yang sama, korporasi farmasi dapat leluasa mempromosikan produk-produk terapi pengganti nikotin. Ketiga, hal pertama dan kedua di atas, dapat dilakukan melalui dan dengan dukungan badan dunia WHO melalui kebijakan dan regulasi yang mematikan industri tembakau. Sekaligus juga menghidupkan industri farmasi yang menghasilkan dan menjual produk-produk therapi pengganti nikotin. Dengan bantuan WHO pula, program ini bisa leluasa bergerak ke seluruh dunia menerobos batas-batas kedaulatan suatu negara.
Salah satu hal penting dalam pelaksanaan proyek prakarsa bebas tembakau adalah ketika WHO berhasil meletakkan landasan hukum internasional dalam memerangi tembakau adalah dengan lahirnya Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Konvensi ini merupakan senjata ampuh untuk mematikan industri tembakau dan meletakkan landasan hukum internasional bagi promosi dan perdagangan produk obat pengganti nikotin yang dihasilkan dan dijual oleh korporasi farmasi.
Tidak ada bisnis yang lebih nyaman dan aman daripada bisnis yang didukung oleh suatu lembaga internasional dan hukum internasional yang dibungkus rapih dan meyakinkan dengan balutan itikad baik demi kepentingan kesehatan publik. Maka tidaklah heran ketika dalam konvensi ini terdapat artikel khusus yang memberikan landasan hukum bagi kepentingan bisnis korporasi-korporasi farmasi sebagaimana tercantum dalam pasal 14 di bawah judul “Demand reduction measures concerning tobacco dependence and cessation”, dan pasal 22 yang merupakan rujukan dari 14.2.
Proposal ini diajukan oleh Dr. Douglas Bettcher, Direktur Prakarsa Bebas Tembakau WHO. Menurutnya, NRT diakui efektif memacu individu-individu untuk menghentikan kebiasaan merokok. Dua bentuk NRT yang dimasukan dalam WHO Model List of Essential Medicines adalah Transdermal Patches dan Chewing gums. Dengan demikian, dua model NRT itu secara resmi diakui oleh WHO sebagai obat-obat esensial yang dapat digunakan oleh negara-negara yang ikut meratifikasi FCTC, dalam pengimplementasian ketentuan pasal 14 FCTC.
Kartel obat-obatan terlarang internasional jelas menghasilkan banyak uang. Namun, risikonya amat tinggi. Termasuk risiko tewas diberondong pelor. Di lain pihak, perusahaan-perusahaan farmasi bahkan menghasilkan uang lebih tinggi lagi, dan risiko terburuk yang akan mereka hadapi paling-paling adalah gugatan ke pengadilan. Berapa besar uang yang berputar dalam penjualan obat yang legal? Menurut Drug Monitor Report dari IMS Health menyebutkan, penjualan obat-obatan farmasi dunia menca[ai USD 179 miliar untuk tahun fiskal Maret 1998. Dari jumlah itu, USD 68,7 miliar terjadi di Amerika Serikat. Kemudian pada tahun 2000, penjualan obat di Amerika Serikat melonjak drastis mencapai USD 145 miliar. Dan para pengamat yang memantau pertumbuhan obat-obatan di AS meyakini, kondisi ini masih terus menanjak hingga sembilan tahun ke depan.
Pesatnya pertumbuhan penjualan obat-obatan, bukan dikarenakan munculnya obat-obatan baru yang revolusioner. Menurut laporan public Citizen, hanya 22 persen dari obat-obatan baru yang dilempar ke pasar dalam 20 tahun terakhir. Beberapa pengamat dan peneliti pasar obat menyebutkan pesatnya angka penjualan obat bukan karena inovasinya. Tetapi lebih karena perkembangan pemasarannya.
Lembar fakta yang dikeluarkan World Health Organization (WHO) pada April 1999 meggambarkan dengan sempurna bagaimana para farmakrat memanfaatkan bahasa untuk melancarkan stigmasi dan mendikalisasi terhadap merokok. Traktat WHO juga menyebutkan “merokok” sebagai wabah pediatri. Dimana, perilaku itu dapat membunuh jutaan anak-anak dan orang dewasa. “Wabah ini akan membunuh 250 juta anak-anak maupun orang dewasa yang hidup saat ini, dan sepertiga dari mereka hidup di negara berkembang,” begitu bunyi salah satu traktat WHO. Naskah itu juga menegaskan, bahwa perokok tak akan bisa mengatasi dirinya sendiri, karena mereka ditelikung oleh ketagihan.
Propaganda seperti ini jelas didanai oleh perusahaan-perusahaan farmasi yang memasarkan obat-obat anti nikotin. Legitimasi itu diklaim sebagai lembar fakta WHO yang ditulis oleh sekelompok ahli dari negara-negara maju dan berkembang, tanpa menyebut nama-nama para ahli yang dimaksud. Namun, tak perlu diragukan lagi sebagian dari mereka pembuat propaganda ini adalah mereka para konsultan perusahaan obat yang kini bermitra dengan WHO. Atau mungkin juga sama dengan para ahli yang menulis panduan klinis AS mengenai Penanganan Ketergantungan Tembakau.Tak dapat dipungkiri, bahwa masing-masing yang terlibat dalam perang nikotin memang mendapatkan keuntungan yang besar secara materi.
Sayanngya, seperti sudah menjadi suratan takdir dalam sebuah perang. Pasti harus ada yang dikorbankan. Diantaranya yang harus dikorbankan itu adalah ilmu yang jujur, kebenaran, kemerdekaan individu dan jutaan anak-anak dan orang dewasa yang nyata-nyata hidup di negara-negara berkembang. Karena mereka menderita penyakit yang nyata-nyata, bukan rekayasa.
Ketika WHO menerima dana kucuran dari negara-negara donor seperti Amerika Serikat untuk melenyapkan kebiasaan orang dewasa yang memilih mnggunakan produk legal, hanya dalam kurun waktu setahun ada 5 juta bayi lahir di negara-negara berkembang hanya mampu bertahan hidup pada bulan pertama. 17 juta orang di seluruh dunia tewas terinfeksi parasit. Dan jutaan warga Afrika Selatan tewas karena terjangkit penyakita HIV.Para farmakrat lebih berminat untuk mengisi sakunya sendiri, memperkuat kekuasaan poltik dan mengendalikan perilaku warga di negara-negara makmur dari pada menangani penyakit yang sungguh-sungguh nyata dan bisa dicegah di negara-negara berkembang.
Kini bisa dimengerti jika korporasi perusahaan farmasi bersedia mendanai gerakan untuk mengutuk tembakau, melarang iklan tembakau, memberlakukan larangan merokok dan menodorong untuk menangani secara terapis para perokok. Karena semua langkah itu, secara otomoti akan mendongkrak penjualan produk-produk anti rokok mereka. Akan menjadi lebih menguntungkan jika lembaga-lembaga kesehatan publik, maupun pemerintah ikut serta dalam promosi ini. Agenda suatu korporasi adalah bagaimana mendapatkan uang. Adapun caranya, menjadi tidak penting selama hal itu mendatangkan laba.
Jadi, dipandang dari sudut manapun, perang nikotin hanya menguntungkan bagi perusahaan obat. Semakin gencar perang dilancarkan, maka semakin mendongkrak laba yang mereka peroleh. Karena itu, mereka akan menggunakan berbagai cara untuk membuka jalur-jalur obat-obatan terbaru ke pasar, dan mendorong perkembangan negaraterapeutik lebih lanjut, demi mencetak keuntungan maupun peningkatan laba di kemudian hari.
Yang masih bisa kurang dimengerti sekarang, mengapa para legilator, politisi, pejabat kesehatan publik, dokter, maupun peneiliti ilmiah membiarkan diri mereka menjadi pengasong obat dan fasilitator program anti tembakau seperti yang dilakukan oleh NAZI pada era zaman Reich ke tiga. Pada era NAZI, tidak melarang di luar ruangan. NAZI juga tidak melegitimasi dengan cap bahwa perokok adalah orang-orang yang berpendidikan rendah, miskin atau sedang terganggu jiwanya.
Dari serangkaian fakta tadi, jelas telah menunjukkan bahwa perang nikotin ini tidak semata-mata masalah nikotin. Juga tidak berhubungan dengan masalah keselamatan jiwa manusia. Gerakan anti rokok selama ini tidak lebih dari gerakan kepentingan bisnis korporasi yang concern utamanya bukan pada kesehatan masyarakat, tetapi bagaimana menciptakan keuntungan secara global dengan menggunakan fasilitas lembaga-lembaga publik internasional maupun badan hukum internasional. Tanpa mempedulikan, bahwa gerakan ini telah mengorbankan kebenaran, kedaualatan hukum maupun kedaulatan bangsa dan negara, demi keuntungan besar untuk korporasi-korporasi internasional. (aj-habis)
*Lansir dari Harian Jawa Pos – Jum’at, 02 Juli 2010.
*Rehal buku: Nicotine War: Perang Nikotin dan Para Pedagang Obat/ Wanda Hamilton/ Sigit Djatmiko (penerjemah)/ INSISTPress dan Spasimedia, 2010.