Petani Sebagai Korban Politik Pangan*
Fenomena kelaparan muncul tidak hanya di benua Afrika saja, namun juga bisa muncul di negara dunia ketiga tak terkecuali Indonesia. Ironis, Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki kekayaan sumber daya alam yang besar dibandingkan dengan negara-negara di Eropa yang wilayahnya kecil dan beriklim basah. Tetapi kenyataanya, bangsa ini selalu defisit soal sumber pangan.
Indonesia, pada tahun 1980, mendapat penghargaan dari Perwakilan Bangsa-Bangsa (PBB) karena berhasil dalam meningkatkan sumber pangan lewat swasembada beras. Namun itu tak bertahan lama sebab sepuluh tahun kemudianIndonesiamelakukan impor beras sampai kini pun masih berencana impor beras.
Masih banyak kasus-kasus yang menabalkanindonesiasebagai ‘negara anomali’ (mati di lumbung padi) dalam soal pangan. Masalah yang berkaitan lansung dengan kekurangan pangan adalah masalah kekurangan gizi, busung lapar (marasmus), dan kelaparan. Masalah di atas bisa di jumpai hampir di setiap daerah. Tak kalah lucunya, Jakarta sebagai ibu kota negara Republik Indonesia, pada tahun 2005, terdapat 13 kasus gizi buruk dan 8450 anak lainnya mengalami rawan gizi buruk. Menyedihkan!
Susan George, seorang penulis yang konsen dengan persoalan pangan dan kelaparan, menulis buku dengan judul Pangan: Dari Penindasan Sampai ke Ketahanan Pangan. Buku ini diterbitkan oleh INSISTPress bersama-sama Kelompok Studi Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM). Buku ini secara gamblang dan lugas mengulas soal pangan. Isinya ini berbentuk komik, ditujukan untuk para pemula (sesuai dengan judul aslinya: Food for Beginner,1985) yang gandrung dengan seluk beluk pangan dan persoalan kelaparan. Walaupun demikian, buku ini berisi data-data yang berguna bagi kalangan akademisi, pemikir, dan para aktivis yang konsen dengan pertanian dan permasalahan pangan.
Dalam tema Makanan adalah Kekuasaan, Susan George mengulas kelaparan dengan detailnya. Baginya, kelaparan yang melanda manusia bukan disebabkan oleh hal-hal mistis. Kelaparan yang melanda manusia bukanlah kutukan dari Tuhan. Kelaparan sebenarnya terjadi karena ulah manusia sendiri: seperti keserakahan segelintir manusia yang merampas sumber daya alam dan makanan yang menjadi hak orang banyak dan mengambil keuntungan dari orang-orang yang tertindas lewat akal-akal bulus. (hal. 3)
Makanan adalah sumber kekuasan. Siapa yang memiliki makanan dan harta maka dialah sang penguasa. Ini terjadi sudah lama sejak ribuan tahun lalu. Penguasa cenderung menindas para petani dalam kerja-kerja paksa di sektor pertanian. Untuk melanggengkan kekuasaan para penguasa harus memiliki sejumlah tanah yang luas, sistem birokrasi dan kekuatan militer seperti pada masa feodalisme. Akhirnya petani hanya menjadi budak bagi penguasa dan tidak pernah menjadi penguasa bagi diri mereka sendiri.
Petani sebagai produsen pangan, namun kenyataannya petanilah yang cenderung merasakan kelaparan dan kelangkaan sumber pangan. Mengapa ini bisa terjadi? Oleh Susan George, kaum petani didefinisikan sebagai berikut: “Kaum petani terdiri dari penghasil agrikultural kecil yang dengan bantuan peralatan sederhana dan menggunakan tenaga kerja yang berasal dari keluarga mereka sendiri, umumnya menghasilkan bahan pangan hanya unutk konsumsi pribadi dan untuk memenuhi kewajiban pada para pemegang kekuasaan politik dan ekonomi”. (hal. 17)
Ada struktur atau hirarkies sosial-ekonomi yang timpang. Penguasa sebagai penindas dan kaum petani sebagai yang tertindas. Jadi, kaum petani pada dasarnya selalu tertindas walaupun mereka sebagai produsen pangan. Ini disebabkan oleh kecilnya lahan yang dimiliki kaum petani dan beban birokrasi yang diberikan penguasa seperti pajak yang jumlahnya memberatkan kaum petani tak sebanding dengan penghasilan kaum petani.
Bencana kelaparan tidak terjadi hanya di negara ‘dunia ketiga’, di Eropa Timur juga terjadi yang namanya bencana kelaparan. Di Eropa Timur, kaum petani harus bekerja pada tuan tanah tanpa dibayar. Tidak hanya itu, hampir seluruh alat produksi pertanian dikuasai oleh penguasa atau tuan tanah. Di bagian-bagian tertentu di Eropa, menggiling gandum sendiri, memanggang roti, atau memeras anggur sendiri adalah tindakan yang bertentangan dengan hukum. (hal. 22)
Bencana kelaparan bukanlah disebakan semata-mata oleh bencana alam. Bencana alam hanyalah salah satu faktor. Bencana kelaparan yang terjadi di Irlandia pada tahun 1846-1850 tercatat sebagai salah satu bencana kelaparan terparah di Eropa. Gagal panen kentang yang merupakan bahan makanan pokok akibat serangan hama merupakan ‘bencana alam’, namun kematian akibat kelaparan 2 juta penduduk orang bukanlah bencana alam. Karena pada waktu itu persedian makanan cukup memberi makan dua kali jumlah penduduk yang berjumlah 8 juta orang. Yang menjadi masalah adalah ekspor besar-besaran bahan makanan seperti gandum, oat, barley (jenis gandum yang dipakai untuk membuat bir), ternak, telur, dan mentega berlansung terus-menerus. Ini menunjukan bahwa kaum petani dipaksa untuk menanam hasil bumi untuk perdagangan. Hasil bumi yang ditanam tidak untuk dimakan atau dikonsumsi oleh petani melainkan untuk diperdagangkan. Ini dikarenakan kaum petani tidak memiliki tanah sendiri, mereka menyewa tanah dari tuan tanah dengan harga yang tinggi.
Bagaimana dengan kaum petani diIndonesia? Hampir sama dengan yang terjadi di Eropa dan di benua lainnya. Petani di Indonesia adalah kelas sosial yang paling miskin dan paling apes. Kaum petani diIndonesiatidak meiliki lahan yang luas. Kebanyakan dari kaum petani hanya menjadi buruh tani di lahan mereka yang mana mereka telah jual atau gadaikan kepada tuan tanah. Sehingga mereka hanya mengandalkan upah buruh untuk bertahan hidup. Sehingga kaum petani dan keluarganya, walaupun mereka produsen pangan, lebih merasakan dampak terhadap bencana kelaparan. Kelurga petani, terutama di pedesaan, banyak menderita gizi buruk dan marasmus (busung lapar).
Untuk merubah situasi yang buruk di atas, harus dimulai dengan meninjau ulang kebijakan yang selama ini diterapkan.Adakekeliuran dalam sistem pertanian pengelolaan pangan dan kebijakan pertanian di negara ini. Meminjam kata Hira Jhamtani, “sesat fikir dan salah urus” selama ini yang membuat sistem pertanian tidak maju sehinga ketahanan pangan menjadi labil. Sesat fikir itu seperti: proses monokulturisme, penggusuran sistem lokal, ketidakpedulian terhadap petani, kebijakan menggusur pertanian, reformasi pertanian yang setengah hati, dan pertanian tanpa melibatkan petani.
Buku ini memaparkan segala hal tentang pangan (bukan trik memasak), seluk beluk pangan dan segala kebijakan “dunia pertama” (negara maju) yang menyesatkan “dunia ke tiga” (negara-negara berkembang). Buku ini sangat baik dibaca oleh mereka para akademisi, pakar pertanian, decision maker pertanian, dan terutama kaum tani di Indonesia. Majulah kaum tani indonesia!
*Farauq N. Ubaidillah, Pegiat di Lembaga Musyawarah Nelayan Lombok Utara (LMNLU) | Sumber: kaukustujuhbelas.org – 17 Juli 2010.
*Rehal buku: PANGAN: Dari Penindasan Sampai Ketahanan Pangan/ Susan George, Nigel Paige/ Magdalena Sitorus (penerjemah)/ INSISTPress dan KSPPM, 2007.