Mengempati Jejak yang Diabaikan

Mengempati Jejak yang Diabaikan*

Sebuah jawaban atas klaim seolah tradisi lokal Nusantara ketinggalan zaman.

Adalah kelatahan nyata jika rakyatIndonesia memiliki sekian banyak ragam seni dan budaya nan eksotis, tapi malah melupakannya hanya karena malu dan gengsi dengan dalih modernisasi.

Adalah keanehan tak berdasar jika bangsa ini memiliki sekian banyak tradisi lokal sarat nilai edukasi, sosial, dan filosofi yang agung, tapi justru “buta“ hakikat tradisi lokal itu.

Berawal dari kegelisahan itu, Fandy Hutari (esais, penulis cerpen, dan jurnalis lepas) mengajak rakyat Indonesia mendedahkan sekaligus merenungkan hakikat seni, budaya, dan tradisi lokal Nusantara. Tujuannya jelas, agar kita semua tahu bahwa kita sebenarnya punya “kebanggaan“ yang patut kita jaga biar tak “dicuri“ atau diklaim oleh bangsa lain.

Buku ini merupakan sebuah jawaban lantang atas pelbagai klaim dari sebagian pihak yang cenderung berargumen bahwa tradisi lokal Nusantara adalah tradisi kolot dan ketinggalan zaman. Melalui karyanya ini, Fandy menegaskan bahwa Indonesia merupakan negara yang kaya akan sejarah, seni, budaya, dan tradisi lokal. Namun, ironisnya, sebagian dari kita justru “pura-pura lupa“ atau “melupakan diri“ realitas itu. Fandy membagi buku ini menjadi lima judul utama. Pertama, panggung sandiwara kita. Judul ini mengisahkan seluk-beluk hikayat kemunculan panggung sandiwara yang pernah ada di Nusantara hingga masa perkembangannya sampai era modern kini, yang lebih dikenal dengan istilah drama. 

Kedua, budaya lokal. Kajian ini menguak ihwal asal-usul, esensi, serta nilai filosofis yang terkandung dalam pelbagai budaya lokal Nusantara yang masih eksis di tengah-tengah masyarakat dan yang sebagian telah punah tergilas modernisasi. Sebut saja seperti sintren, cikeruhan, rengkong, dan nyadran.

Nyadran, ritual keagamaan tahunan bagi masyarakat Jawa Tengah dan Yogyakarta yang diwujudkan dengan mengunjungi makam leluhur menjelang Ramadhan, merupakan bukti nyata betapa tradisi lokal masih eksis hingga kini. Jika diselisik secara detail makna sosial-filosofisnya, hal ini sungguh sangat mencerminkan betapa bangsa Indonesia kaya akan kearifan lokal (hal. 76). 

Ketiga, di sekitar kita. Bagian ini secara khusus mengelaborasi pelbagai permainan tradisional rakyat sekaligus budaya berbusana masyarakat antara pribumi dan bangsawan. Arus globalisasi dan modernisasi menjadikan permainan tradisional, seperti egrang, sorodot gaplok, sondah, prepet jengkol, gasing, gatrik, serta bedil jepret, menjadi usang bak tumpukan buku penuh debu. Sebab, anak-anak generasi kiwari lebih dimanjakan dengan PlayStation. 

Keempat, jangan dilupakan. Judul ini berfokus pada elaborasi jasa dua sosok aktivis perempuan, R.A. Lasminingrat dan Miss Roekiyah, serta seorang komikus sekaligus pemerhati sosial saat itu, Tatang S. Secara tersurat, nama ketiga orang ini tak begitu dikenal oleh khalayak kala itu. Tetapi, secara tersirat, peran dan jasanya justru telah mengharumkan Indonesiadi kancah nasional lewat karya dan perannya yang spektakuler.

Kelima, pancaran layar putih. Bagian ini mendedahkan tontonan bioskop di Bandung tempo dulu, awal mula industri perfilman di Indonesia hingga perkembangannya saat ini. Di sini, Fandy tampak sekali mengurai puing-puing sejarah perfilman Indonesia secara detail dari masa ke masa. Karena itu, tak berlebihan kiranya bila saya menyebut Fandy sebagai “sejarawan muda”yang berempati pada tradisi lokal Nusantara.

F.W. Pei, pemimpin perusahan di indonesiaseni.com, pernah menyatakan, menjadi pemburu yang bergerak dalam kesamaran puing-puing sejarah dengan keterbatasan data dan minimnya dokumentasi bukanlah pekerjaan mudah. Dan, kehadiran Fandy merupakan ikhtiar luar biasa untuk menguak yang tertimbun dan tersamar menjadi terang. Fandy tak sekadar mengenang melalui tulisan, tapi juga menyusuri jejak-jejak historis Nusantara yang selama ini banyak diabaikan khalayak.

Persoalan mendesak saat ini adalah bagaimana seni, budaya, dan tradisi lokal Nusantara dapat terus terjaga dan lestari.Tradisi lokal Nusantara bukan sekadar warisan leluhur yang habis manis sepah dibuang, melainkan telah menjelma menjadi “urat nadi” kehidupan bangsa sampai kapan pun.

*Ammar Machmud. Sumber: Koran Tempo – Minggu, 25 September 2011.

*Rehal buku: Hiburan Masa Lalu dan Tradisi Lokal: Kumpulan Esai Seni, Budaya, dan Sejarah Indonesia •Penulis: Fandy Hutari •Penerbit: INSISTPress •Edisi: I, April 2011.