Perempuan Penari dalam Seni Tradisi

Perempuan Penari dalam Seni Tradisi*

DIA berdiri menari di tengah riuh rendah penonton yang utamanya laki-laki pada sebuah pasar malam. Tubuhnnya yang molek melenggok mengikuti irama musik yang disetel dari radio usang. Sesekali para lelaki itu maju dan menari bersisian, beradu napas dengan dirinya. Terkadang tubuh mereka terasa dekat di tubuh perempuan itu seperti sebuah kain yang melekat di tubuh. Tetapi, ia terus menari dan menari hingga musik usai dan uang telah terkumpulkan dari mengamen.

Kisah seorang penari ronggeng, Srinthil, dalam film Sang Penari adaptasi dari novel karya Ahmad Tohari berjudul Ronggeng Dukuh Paruk merupakan sebuah potret nyata mengenai kehidupan seorang seniman pertunjukan tradisional di Tanah Air. Akhir cerita dalam film tersebut menjelaskan posisi mereka saat ini: seorang seniman ronggeng yang dahulunya mendapatkan posisi yang tinggi di masyarakat kini mesti mengemis kepada masyarakat untuk menafkahi diri mereka. Padahal, zaman dulu, menari merupakan sebuah berkah yang kemampuannya tidak dimiliki oleh sembarang orang. Para penari itu dihargai oleh masyarakat tempat mereka tinggal. Panggung memuja mereka, menjadikan mereka bintang.

Jacob Sumardja, seorang pengamat kebudayaan mengatakan dalam acara diskusi buku Hiburan Masa Lalu dan Tradisi Lokal karya Fandy Hutari yang diselenggarakan dalam rangkaian acara Festival Teater Jakarta 2011 di Gedung Kesenian Miss Tjitjih, perempuan seniman dalam kebudayaan memiliki dualitas posisi yang tak bisa dielakkan. Di satu sisi mereka dipuja setinggi langit, namun di sisi yang lain mereka juga dihina, dicaci, dan dijadikan sebagai komoditas pengeruk keuntungan.

“Hal ini merupakan persoalan serius yang menimpa para seniman perempuan yang mencoba mengangkat tradisi. Tidak hanya ditekan dari negara yang memiliki kekuatannya untuk merepresi, tetapi juga agama. Dari berbagai segi mereka disudutkan. Padahal, kenyataannya dari tangan-tangan merekalah, tradisi terus bertahan dan dihidupkan kembali ruhnya,” kata Jacob.

Fandy Hutari, sang penulis buku, menceritakan kisah beberapa seniman tradisional panggung yang pernah hidup dan mengisi sejarah dunia pertunjukan di Tanah Air. Di antaranya adalah Miss Tjitjih, mojang Sumedang, yang akhirnya mengangkat seni tradisional Sunda serta menghidupkan kesenian di suatu gedung bernama sama dengan dirinya, Gedung Kesenian Miss Tjitjih. Miss Tjitjih awalnya merupakan pemain sandiwara Sunda yang belum memiliki nama. Kariernya kemudian melesat saat ia bergabung dengan Opera Valencia. Kemudian, ketika akhirnya dipersunting sang pemilik Opera, nama Valencia lantas diubah menjadi Miss Tjitjih Toneel Gezelschap. Dari tangan Tjitjih, kesenian tradisional Sunda lantas diangkat dalam pertunjukan grup tersebut, salah satunya dengan menggunakan bahasa Sunda setiap kali pementasan.

Hal ini menunjukkan bahwa perempuan memiliki peran sentral dalam mengangkat seni tradisi, seperti juga ditunjukan oleh tokoh Srinthil dalam buku Ronggeng Dukuh Paruk. Kekuatan perempuan tak hanya sebagai objek dalam seni tradisi itu sendiri, melainkan telah berdiri sebagai subjek, sang penentu.

Peran Miss Tjitjih, misalnya, pada akhirnya mampu mempertahankan kesenian Sunda dalam pentas grup opera Valencia yang dulunya lebih banyak mengangkat cerita-cerita opera Barat. Nama opera Valencia pun berganti menjadi Miss Tjitjih Toneel Gezelschap.

Sementara, berkat keputusan Srinthil untuk terus menari, ronggeng tetap lestari di Dukuh Paruk. Tak hanya itu, perempuan-perempuan ini juga mampu menarik pasar atau penonton yang kemudian mampu memberikan penafkahan bagi keseluruhan grup pementasan. Tak heran jikalau posisi mereka pada masa lampau adalah sebagai pusat, ibarat matahari yang memberikan sinar kepada tumbuhan di sekitarnya.

Kesuksesan para seniman perempuan ini bukan tanpa kerja keras, Fandy dalam bukunya menyebut istilah ini ‘Bukan Sekadar Ngartis’. Misalnya saja Miss Roekiah, artis kelahiran Cirebon, yang memulai karier keartisannya dari titik bawah. Awalnya ia menjadi penyanyi dari grup pertunjukan ke grup pertunjukan yang lain sebelum akhirnya sukses menjadi bintang film.

Keputusan Roekiah terjun ke dunia seni ditentang ayahnya. Setiap kali pementasan, sang ayah datang dan marah-marah. Namun, Roekiah terus menyanyi dan berakting. Akhirnya sikap sang Ayah melunak berkat kegigihan perempuan berwajah cantik ini.

Ketika dunia panggung mengalami pergeseran, peran perempuan sebagai penjaga tradisi dalam seni pertunjukan ikut memudar. Industri pertunjukan tidak lagi menempatkan para perempuan panggung sebagai sebuah subyek melainkan sekadar komoditas untuk menarik pasar bagi keuntungan pemodal.

*Utami Diah Kusumawati. Lansir dari: Jurnal Nasional – Minggu, 18 Desember 2011.

*Rehal buku: Hiburan Masa Lalu dan Tradisi Lokal: Kumpulan Esai Seni, Budaya, dan Sejarah Indonesia •Penulis: Fandy Hutari •Penerbit: INSISTPress •Edisi: I, April 2011.