Menanti Kemandirian Ekonomi Indonesia

Menanti Kemandirian Ekonomi Indonesia*

Membayangkan kemandirian ekonomi Indonesia, layaknya membayangkan masa depan pasar tradisional. Derap modernisasi, menghendaki keberadaan pasar tradisional untuk kian ditinggalkan, dilupakan, sampai suatu saat nanti layak untuk ‘dimusiumkan’. Terlihat laju perkembangan pasar modern jauh lebih pesat, dibandingkan pasar trasidional. Kadang malah berdampingan. Kesan yang terbangun pun berbeda, yang satu bersih, bermandikan cahaya dan berpendingin udara, yang satunya lagi, kumuh, bermandikan peluh keringat dan pengap. Bukan tawar menawar yang terjadi, tetapi sejauh mana utilitas hasrat berbelanja termanifestasi. Pasar tradisional sebagai arena gerak akar rumput dalam memenuhi hal ihwal urusan rumah tangga, kian ‘diambang batas kemusnahan’, akibat laju developmentalisme, patut menjadi perhatian.

Pada tahun 1949, saat Presiden Harry S. Truman mengumumkan diskursus developmentalisme sebagai bahasa dan doktrin resmi kebijakan luar negeri AS, (Mansour Fakih, 2006: 200). Mulailah kerja developmentalisme yang menitikberatkan pada usaha pengentasan persoalan ekonomi dalam negeri, serta dari jerembab utang luar negeri. Berkaitan dengan usaha ini, dirumuskanlah kebijakan-kebijakan kepada Negara-negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia, untuk menjalankan ‘perintah-perintah’ dari pihak pemberi utang, agar ekonomi negara tersebut keluar dari krisis ekonomi. Perintah-perintah pihak pengutang, sukses dijalankan oleh masa Orde Baru, sekaligus menjadi daya tahan (status quo) rezim berkuasa. Cara pandang Negara Dunia Pertama terhadap ‘kelesuan’ ekonomi yang menerpa Negara Dunia Ketiga, dinilai akibat dari gejolak masyarakat yang tradisional. Agar beranjak kepada yang modern, pembangunan harus dilakukan.

Pembangunan sebagai rumusan jalan keluar ekonomi yang ditawarkan, kentara terlihat sebagai penundukan kembali negara-negara bekas jajahan. Penundukan bukan lagi secara fisik, tetapi secara ideologis, melalui kekuasaan, ketergantungan ekonomi dan langkah demi langkah mengikuti anjuran Bank Dunia, IMF, WTO, perusahaan/bank transnasional serta agen kapilatis yang lain. Dengan kata lain, dari pembangunan terus berlanjut ke globalisasi. Selain menancapkan dominasi asing di Indonesia dalam bentuk dana, developmentalisme adalah tameng menangkal kekuatan sosialis, pasca perang dingin. Sembari terus mendorong laju Negara-Negara Dunia Ketiga melalui sektor pembangunan, tirai penjajahan baru justru terlihat di dalamnya. Kolonialis format baru dalam bentuk utang luar negeri. Ketika rezim Orde Baru gencar melanjarkan agenda pembangunanisme, justru kemalangan didapat semenjak bantuan dana asing mulai beroperasi; peristiwa Malari, dan berdampak negatif; kemiskinan kian menggelayut di pelosook negeri.

Gelombang krisis moneter 1997 berlanjut dengan tumbangnya rezim. Lahirlah masa harapan baru; Reformasi. Reformasi 1998 satu sisi merupakan keberhasilan gerakan massa, memaksa mundur sang Bapak Pembangunan. Pada sisi lain, ekonomi politik dalam negeri tak serta merta beranjak keluar dari krisis. Akibat lanjut dari krisis adalah korupsi, kolusi dan nepotisme menggerogoti dari pusat sampai daerah. Desentralisasi kekuasaan memicu raja- jara kecil. Disintegrasi bangsa kian mengkhawatirkan. Basis ekonomi yang bersumber pada Pancasila dan UUD 1945 seperti menjadi hiasan dinding, dan ditinggalkan. Justru, terlihat usaha menjalankan paradigma ekonomi bercorak neoliberalisme.

Geliat (neo)liberalisme sebenarnya sudah terlihat, semenjak pasal 33 UUD 1945 sebagai tulang punggung tegaknya ekonomi Indonesia, tak lantas menjadi punggawa. Kemandirian ekonomi dijalankan justru menengok pihak asing, membuka investasi, perdagangan bebas dan liberasi eksploitasi sumber daya alam kepada swasta seraya terlibat aras perdagangan global. Apa yang dicitakan Bung Karno; berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, berkepribadian di bidang kebudayaan, seolah menjadi angin lalu. Tiga prinsip berdaulat itu, kalah oleh rayuan praktis Negara Dunia Pertama.

Hadirnya buku Pembangunan Pascamodernis karya M. Dawam Rahardjo, setidaknya membawa hawa baru. Dalam buku ini, terpapar melacak kembali jalan dalam menatap pembangunanisme, dalam ulasan Esai-Esai Ekonomi Politik. Ada enam belas esai. Satu esai dengan esai lainnya menyusun bersambung, meski tidak bersatu utuh, tetapi memiliki keterikatan dalam konteks pokok bahasan. Secara keseluruhan, buku ini merunut praktik developmentalisme. Mencakup aspek; ontologis, perekonomian Indonesia di awal perkembangannya; epistemologis, khususnya paradigma pembangunan; dan aksiologis, terutama dampaknya terhadap perekonomian Indonesia desawa ini. (hlm. xvii).

Menurut M. Dawam Rahardjo, untuk melangkah ke depan, agar ekonomi Indonesia belajar mandiri dan berdiri di kaki sendiri. Segera beranjak dari ekonomi modernisasi menuju ekonomi pascamodernis. Dengan berciri pada; kembali pada cita-cita Proklamasi yang tercermin dalam Pancasila dan UUD 1945 sebelum perubahan, membangun kembali tradisi, desentralisasi dan pembangunan yang merata, membangun ekonomi rakyat sebagai bentuk praktis dari fondasi pembangunan berbasis kerakyatan, dan pembangunan sebagai gerakan rakyat. (hlm. 8-9).

Bagian bab akhir dari esai buku, didapati jalan, dalam bentuk rekayasa ulang manajemen pembangunan. Jalannya adalah ekonomi kerakyatan. Suatu konsep strategi pembangunan dalam konteks Indonesia. Inti dari konsep ini adalah pembangunan pedesaan dan industrialisasi pedesaan dalam rangka pemberantasan kemiskinan melalui penciptaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan rakyat kecil. (hlm. 167). Secara konsep seperti terumuskan diatas terpapar jelas, tetapi belum menyentuh aspek operasional praksis untuk bagaimana ekonomi kerakyatan itu mewujud dalam praktek ekonomi Indonesia.

Dalam realitasnya saat ini, menunjukkan hal yang berbeda, ketika ingin ber-daulat dalam politik dan ber-ekonomi secara kerakyatan dari pada pendahulu (founding fathers), dalam prakteknya seperti adagium “besar pasak dari pada tiang”. Perjalanan ekonomi Indonesia, kian bergerak mengikuti mekanisme pasar, peran negara dikesampingkan. Kedaulatan atas bumi, tanah, air, energi dikelola perusahaan asing. Rakyat tak berkuasa di tanah air negeri sendiri, merana. Ekonomi kerakyatan, sejatinya menjadi langkah nyata penyelenggara negara, bila memang benar-benar berpihak kepada rakyat, tak semata hanya sebatas retorika politik belaka. Sudah seharusnya Indonesia mandiri secara ekonomi. Merdeka dari belenggu pembangunanisme.

*Nur Wahid, Ketua Bidang Perkaderan HMI (MPO) Badko Jawa Bagian Tengah dan Timur  | Lansiran dari: hminews.com – 11 April 2013.

*Rehal buku: Pembangunan Pascamodernis: esai-esai ekonomi politik/ M. Dawam Rahardjo/ INSISTPress dan INFID, 2012.