Membaca Rastas dengan Materialisme Historis*
Bosan dengan pembacaan makna? Ya, literatur bahasa Indonesia tentang Reggae sudah sesak dengan penanda dan tinanda, atau pembelokan makna, dan tetek-bengeknya. Kalian bisa dengan mudah menemukannya berjejer di rak toko-toko buku, lengkap dengan judul menggoda dan kaver bergambar Bob Marley atau ganja atau seorang rastas berambut gimbal. Bagaimanapun, ini adalah komodifikasi! So, apa pentingnya buku ini selain mendatangkan laba bagi para kapitalis produksi dan distribusi, tukang cetak dan penjual buku?
Horace Campbell, bukan anglo-saxon, tidak pula seorang akademisi jebolan Centre for Contemporary Cultural Studies Birmingham yang banyak melakukan penelitian bagi advokasi kebudayaan populer, termasuk kebudayaan rastas. Lahir pada 1945 di Jamaika (seperti Stuart Hall, pendiri CCCS), dia aktif dalam dalam gerakan-gerakan politik di Karibia, membaca realitas lebih dekat. Penelitian yang menghasilkan buku ini sepenuhnya dibiayai kantongnya sendiri. But, well, alasan macam itu terlalu sentimental buat masuk lapangan akademis.
Namun, ada untungnya dekat dengan realitas keseharian rastas, khususnya realitas politik. Setidaknya Campbell tahu apa yang penting dan selama ini absen dianalisis oleh para akademisi. Dia mengajukan analisis ekonomi politik. Pembacaan seorang Marxis khas benua hitam dengan mengambil hikmah para pendahulunya seperti Amilcar Cabral dan Frantz Fanon.
Bagi Campbell akar dari gerakan Reggae adalah persoalan ekonomi. Kolonisasi Eropa atas lahan-lahan di Jamaika serta perbudakan atas manusia-manusia merupakan benih-benih yang berkembang jadi pohon perlawanan kaum Rastas.
“Organisasi perkebunan, yang mendukung kelas pemilik perkebunan, mencakup bentuk tertinggi dari organisasi kapitalis pada masa itu — suatu bentuk organisasi di mana…budak merupakan komoditas yang dapat disingkirkan setelah bekerja sampai mati” (h. 14). Di bagian awal buku ini, dia menggambarkan bagaimana kegiatan ekonomi seperti perdagangan budak dan produksi komoditi di perkebunan menjadi asal muasal perlawanan rasial.
Seperti Marx, Campbell percaya bahwa “kelas yang menguasai alat produksi material, pada saat bersamaan juga menguasai alat produksi mental”. Ekspresi-ekspresi yang berbeda dari masyarakat Jamaika hanya bisa dilihat dengan analisis kelas. “…Karena perkembangan proses integrasi yang tidak merata. Kaum Afrika harus menemukan sebuah mode baru ekspresi diri dari mulai zaman perbudakan hingga sekarang” (h. xix). Kolonisasi mode produksi kapitalisme terhadap mode produksi daerah jajahan, menghasilkan kelas baru semisal penguasa lahan, yang meskipun sedarah dengan kebanyakan rakyat Jamaika, tetapi memunyai posisi berbeda dalam proses produksi.
Salah satu aspek dari kolonisasi mode produksi kapitalis adalah penggunaan uang sebabagi alat tukar universal dan terciptanya pasar komoditi yang bergerak di atasnya. Akibatnya adalah komodifikasi ganja yang semula hanya digunakan untuk ritual agama menjadi barang dagangan; dari produksi ganja untuk subsistensi menjadi produksi ganja untuk laba. Hal lain yang menjadi akibat sampingan adalah komodifikasi gaya hidup yang mengacaukan integrasi rasial masyarakat Jamaika. Kelas-kelas penguasa lahan, terdorong untuk mendekati gaya hidup para tuan-tuan Eropa, pengusaha Ganja menjadi “white rastas” dan menggunakan ganja untuk kesenangan, sedangkan para buruh Jamaika membentuk gaya hidupnya sendiri.
Untuk melanggengkan dominasi kelas kapitalis di Jamaika, ideologi yang menindas menjadi kebutuhan tak terelakkan. Banyak aspek di dalamnya. Label pemalas (quashie) dan orang liar diberikan pada kaum rastas. Faktanya jauh dari itu. Mereka hidup dengan bekerja keras dalam komunitas-komunitas semisal Groundings-nya Walter Rodney. Komunitas-komunitas tersebut menghalangi ekspansi kapital. Sebagai hasilnya adalah pembentukan sebuah sistem hukum yang mampu menyingkirkan Rodney dan kawan-kawannya.
Sejak tahun 1938, pemerintah Inggris di Jamaika terus-menerus merevisi hukum mengenai penggunaan ganja. Merubahnya dari sebuah kebiasaan menjadi aksi kriminal. “Hal tersebut merupakan peningkatan eskalasi perang yang telah dimulai sejak tahun 1938…dan sejak itu undang-undang tersebut digunakan oleh pemerintah kolonial dan neo-kolonial untuk memberantas kaum rasta.”
Di bagian-bagian selanjutnya, Campbell banyak membahas gerakan politik di Karibia dan Afrika yang terjadi empat dekade belakangan. Gerakan tersebut muncul sebagai hasil dari relasi produksi kapitalistik yang sadis bukan kepalang. Keterlibatan Amerika Serikat melalui DEA (Drugs Enforcement Agency, badan yg mengurusi masalah narkotika bentukan presiden Richrad Nixon) dan CIA (ah, semua tau badan yang sering terlibat diam-diam dalam kudeta di berbagai negara sosialis ini) dalam politik Jamaika turut memerlemah gerakan Rasta (h. 257 – 275).
Sebagai penutup, seperti juga karya kebanyakan akademisi cum aktivis, buku ini mengajukan seruan dan cara alternatif yang bisa ditempuh gerakan-gerakan politik di Karibia dan Afrika. “Bagi banyak kaum rasta, perjuangan-perjuangan berkelanjutan di Etiopia menuntut sebuah analisis dan penjelasan tepat, yang dapat melampui visi-visi romantis tentang benua Afrika” (h. 571). Buatnya, tujuan gerakan-gerakan tersebut lebih dari besar dari sosok Haile Selassie, sosok raja Etiopia yang dimessiaskan oleh rastas. Campbell menambahkan, “menyerukan pada kaum Rasta agar dapat membangun suatu level organisasi dan juga sebuah persepsi…sehingga dapat membantu memercepat kejatuhan ‘Babilonia’ (h.574).“
*Sumber: narratur.wordpress.com – 5 Mei 2013.
*Rehal buku: Rasta dan Perlawanan/ Horace Campbell/ Dina Oktaviani (penerjemah)/ INSISTPress, 2009.