Kooperasi sebagai Solusi Krisis Media*
Krisis yang melanda sektor media membuatnya semakin merangkak. Krisis modal maupun krisis kualitas menjadi persoalan yang harus segera diselesaikan agar sektor media dapat berjalan dengan tegak. Salah satu yang bisa ditempuh adalah dengan mengadopsi struktur dan model kooperasi ke sektor media. Dengan menerapkan struktur dan model kooperasi, maka posisi pekerja media dan khalayak adalah setara dalam konteks perbaikan kualitas isi media maupun keuntungan.
Bab satu buku ini menjelaskan peluang bagi media kooperasi untuk menekan permasalahan yang berkaitan dengan keuangan dan etika. Pengalaman media kooperasi di berbagai belahan dunia yang dipaparkan dalam bab ini dapat menjadi contoh bagi para pengelola media, terutama media komunitas di Indonesia. Seperti di Inggris tahun 1871, gerakan kooperasi yang berkembang memutuskan untuk mendirikan media kooperasi yang bernama Coo-perative. Di Wisconsin, Amerika Serikat, media yang dikelola dengan sistem kooperasi mampu menyaingi media media arus utama. Kooperasi menyediakan peluang yang sangat bagus karena sistem produksi yang diterapkan dalam sistem ini bisa memotong jarak antara pembaca dan penulis, sebab dalam sistem kooperasi, para pembaca merupakan sekaligus pemilik media.
Selanjutnya dalam bab dua dijelaskan mengenai kooperasi dan nilai berita.Sistem kooperasi mengharuskan pengelolanya mengambil keputusan yang bersifat akuntabel karena kooperasi adalah usaha milik bersama. Oleh karena itu, dalam media yang dimiliki secara kooperatif, keinginan kolektif dari anggota akan di tanggapi dan para jurnalis di perlakukan secara baik, di percaya dan aman dalam bekerja. Ketika jurnalis dipercaya, mereka pun akan menghasilkan tulisan yang akuntabel. Media kooperasi yang akuntabel akan membangun kembali kepercayaan publik terhadap media.
Kecenderungan media yang saat ini kerap menyajikan informasi yang tidak diperlukan pembacanya membuat bisnis media terpuruk, sehingga banyak media yang tutup. Hal itu terjadi karena koran lokal tidak peduli terhadap komunitas yang dilayaninya, sehingga komunitas pun mulai menghentikan kebiasaannya membaca koran yang sudah berlangsung lama. Pelajaran yang bisa dipetik adalah, dalam menyajikan informasi, media kooperasi lokal seharusnya tidak boleh terlampau berjarak dengan para pembacanya apabila tak ingin mati sebelum terbit (hal 24).
Transformasi media cetak menjadi media online menjadi tantangan tersendiri bagi media lokal. Publik lebih menyukai media online karena di internet mereka bisa membaca apa yang diinginkan, kapan saja, dan tentu saja gratis. Menghadapi kenyataan itu, koran lokal mempunyai dua pilihan yaitu meningkatkan pendapatan atau menurunkan produksi. Namun, jika memilih menerapkan model kooperasi, hal yang dapat dilakukan adalah menciptakan keterlibatan pembaca. Pembaca bukan sekadar diundang untuk mengonsumsi atau tidak, namun diundang untuk mengonsumsi, menulis, terlibat, membentuk, mengontrol, memiliki dan berbagi. Di samping itu, biaya penerbitan lokal baik dalam bentuk cetak atau online lebih rendah dan terjangkau.
Untuk merombak media menjadi kooperasi, peran pemerintah nasional maupun pemerintah lokal sangat diharapkan. Pemerintah nasional dapat memberikan potongan pajak dari keuntungan yang diperoleh surat kabar milik masyarakat. Dengan potongan tersebut, biaya operasional bisa semakin ditekan sehingga penerbit bisa membayar para jurnalis atau menurunkan harga pa sar. Pemerintah daerah bisa menunjukkan perannya dengan mengeluarkan sebuah peraturan resmi untuk menerbitkan koran lokal dan men do rong dewan daerah untuk menyetujui kontrak iklan bagi koran kooperasi milik masyarakat lokal.
Dari buku yang secara khusus di tujukan untuk para pejuang media ini, kita juga dapat melihat hal-hal yang harus didiskusikan jika ingin memberitakan secara kooperatif. Di antaranya adalah tentang anggota dan peran yang dimiliki, kooperasi nonprofit atau ada pembagian sisa hasil usaha, media amal kooperasi, keterampilan yang tepat, serta bagaimana menetapkan peran editorial yang tepat. Buku ini hadir untuk menghidupkan kembali media-media lokal dengan kooperasi, karena saat ini media telah kehilangan ruhnya. Dengan gagasan media kooperasi dan kooperasi media ini, ke depan tanggungjawab menyajikan informasi bukan hanya berada di tangan pemilik media, namun juga masyarakat.
Penulis buku ini menyampaikan gagasan dengan runtut. Meski begitu, gaya bahasa dalam buku ini tak bisa cepat dipahami sehingga harus di baca berulang-ulang. Hal tersebut wajar karena buku ini merupakan buku terjemahan sehingga gaya tulis dan gaya bahasa mengacu pada buku aslinya. Walaupun demikian, kekurangan tersebut tidak mengurangi kualitas buku ini.
Buku ini membeberkan adanya peluang bagi media guna merespons krisis keuangan dengan tetap mempertahankan model peliputan yang adil. Cara yang dapat dilakukan adalah dengan menuntutnya dalam menyajikan berita yang lebih baik serta bekerja secara lebih terkoordinasi. Sehingga, dunia akan mendengar bukan hanya cerita soal kooperasi, melainkan juga cerita yang dibawakan dengan cara yang kooperatif.
*Oleh: Maryani. Sumber: Majalah Kombinasi (Majalah Dua Bulanan Combine Resource Institution) – Edisi ke-54, Februari 2014, hal. 18-19.
*Rehal buku: Media Kooperasi & Kooperasi Media/ Dave Boyle/ Bosman Batubara (penerjemah)/ INSISTPress dan Gerakan Literasi Indonesia (GLI), 2013.