Menolak Tumbang, Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan

Menolak Tumbang, Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan*

BAGI anak-anak orang miskin susah membedakan bermain dan bekerja. Para orang tua membebankan pekerjaan kepada anak-anak untuk meringankan pekerjaannya.

Mereka menjaga adik-adiknya selepas sekolah, atau mengangkut air, memasak, dan lain-lain. Di dalam banyak budaya, bekerja lebih baik daripada bermain. Dan berbakti kepada orangtua tuntutan sosial yang tak terhindarkan bagi anak-anak.

Seperti Salsa, anak perempuan kelas III Sekolah Dasar. Ia memecah batu pakai godam besar untuk membantu nenek. Tangan kapalan, dia anggap biasa.

“Cuma bantu-bantu saja, daripada main-main,” kata nenek, warga Dusun Gegutu, Lombok Barat. Bagi Salsa, setiap hari permainannya memecah batu.

Nabila punya cerita lain. Dia anak sulung berumur 13 tahun, masih tinggal di kelas V SD. Dia beberapa kali cuti sekolah karena harus menjaga tiga orang adik-adiknya yang masih balita. Ibunya, Atikah dan suaminya buruh perkebunan kakao di Kulawali, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Keluarga itu tak bisa hidup jika Atikah tak turun tangan membantu suaminya mencari nafkah.

Anak lelaki biasanya membantu orangtua mengembala ternak atau mencari kayu bakar, mengangkut air dan sebagainya. Tapi, pekerjaan rumahtangga hanya dianggap pantas bagi anak perempuan. Sementara pekerjaan rumahtangga lah yang setiap hari ada. Bagi anak perempuan nyaris tak ada waktu bebas dari beban kerja domestik.

Anak laki-laki masih bisa mengeksplorasi dirinya dengan berenang di sungai, memanjat pohon, dan lain-lain. Sedangkan anak perempuan dibebani oleh pekerjaan rumahtangga.

Kenyataan itulah yang diteliti pakar gender, Lies Marcoes. Ia turun ke desa desa untuk meneliti akar kemiskinan dan hubungannya dengan diskrimasi gender.

Gender, istilah untuk membedakan perempuan dan laki-laki secara sosiokultural. Gender merupakan perilaku yang dibentuk oleh kehidupan masyarakat yang membedakan laki laki dan perempuan bukan dari kodrat alam. Misalnya, perempuan dianggap lemah lembut, emosional. Laki laki dianggap kuat dan bijaksana. Oleh karena itu pembagian pekerjaan pun dibedakan berdasarkan konstruksi sosial.

Perempuan mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga, mengurus anak, melayani suami. Bahkan ketika si perempuan berperan mencari nafkah.  Di banyak budaya, laki-laki bahkan tak boleh mengerjakan pekerjaan dapur. Dampaknya, karena pekerjaan rumah tangga dianggap sukarela, perempuan kehilangan kesempatan mencari nafkah.

Karena perempuan miskin tak punya akses terhadap pendidikan yang bisa membuka peluang untuk menghindar dari himpitan kemiskinan, pada periode produktif, perempuan semakin masuk ke labirin kemiskinan. Pernikahan usia dini dan masalah reproduksi satu paket yang harus dihadapi. Sedangkan nilai-nilai sosial yang memberi kuasa laki-laki terhadap perempuan memicu kekerasan fisik terhadap perempuan.

“Daur hidup perempuan miskin itu sangat pendek. Dalam waktu singkat mereka melewati masa kanak-kanak, bergegas masuk ke dunia kerja sambil berumahtangga. Periode itu disebut usia produktif. Bagi perempuan itu bermakna ganda yang butuh tenaga; produktif beranak pinak dan produktif secara ekonomi,” kata Lies.

Hasil penelitian Pusat Kajian Perlindungan Anak Universitas Indonesia menemukan, 13 % anak perempuan yang hidup dalam 30% keluarga termiskin yang disurvei telah menikah pada umur di bawah 16 tahun.

Lebih dari 50% tak memiliki akte kelahiran dan tak ada satupun yang menyelesaikan program wajib belajar 12 tahun.

Celakanya, pemerintah selama ini hanya menghitung orang miskin berdasarkan usia produktif. Itupun terfokus pada kepala keluarga yang dalam hal ini laki-laki. Selain banyak perempuan tak bersuami, pada kenyataannya, yang mengelola rumahtangga dan mencari nafkah tak melulu laki-laki. Dari 27% orang miskin di Indonesia, hanya 7% perempuan yang diakui di dalamnya, kata Lies.

“Peran negara nyaris tak ada,” katanya.

Lies meneliti di Aceh, Jawa, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara Barat. Hasil penelitiannya itu dia rekam dalam sebuah buku berjudul Menolak Tumbang, Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan. Buku itu diluncurkan pertama kali di Jakarta. Dan, Selasa, 2 September lalu dibahas di Makassar.

Lies menghabiskan waktu satu tahun untuk buku itu. Bersama fotografer, Armin Hari, ia masuk ke kantung-kantung kemiskinan di desa dan kota, dimana perempuan dimiskinkan secara struktural maupun oleh nilai-nilai sosial.

Dari hasil penelitiannya itu, Lies menyimpulkan bahwa kemiskinan bukan hanya disebabkan oleh sistem ekonomi, tapi juga praktik diskriminasi melalui nilai agama, budaya dan adat, bahkan otonomi daerah.

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan setiap tahun mencatat ada 158 regulasi otonomi daerah, dan 86 di antaranya mendiskriminasikan gender. Seperti, wajib jilbab, larangan sekolah bagi perempuan hamil.

Secara kultural, misalnya, sejak kecil jenis-jenis permainan anak-anak sudah dibedakan, itu berpengaruh pada kesempatan anak-anak perempuan mendapat akses terhadap pekerjaan ketika mereka dewasa. Jenis permainan yang berhubungan dengan ketangkasan hanya milik anak laki-laki. Dari kecil permainan anak perempuan diarahkan ke pekerjaan rumahtangga. Akibatnya, anak perempuan dianggap tak perlu pendidikan, karena nasibnya akan berakhir di dapur.

Kisah pilu datang dari daerah-daerah konflik. Dimana anak-anak perempuan akan menjadi mata rantai terendah dari penderitaan keluarga.

“Sejak konflik, kami membuka Rumah Aman di sini (Ambon). Banyak isteri menjadi korban kekerasan suaminya yang kehilangan pekerjaan. Anak-anak perempuan menjadi korban kekerasan seksual bapak tirinya. Ibunya tahu, tapi dalam kondisi terhimpit di pengungsian, ibunya tak berdaya. Beban mencari nafkah terlalu berat untuk ditanggung sendiri. Anak sering diminta tutup mulut. Anak pun patuh, karena di pengungsian dia tak punya siapa-siapa selain ibu. Anak-anak perempuan dan ibu bersekongkol menutupi kebejatan ayah atau ayah tirinya dan suaminya. Padahal anak anak secara nyata menunjukkan gangguan mental,” kata Lies Marantika, dari Yayasan Humanum di Ambon yang dikutip dalam buku itu.

Dalam catatan Komite Perlindungan Anak Indonesia atau KPAI, hubungan sedarah (incest) sering terjadi dalam keluarga miskin dipicu oleh rumah yang tak memadai. Satu kamar kecil, dihuni oleh lima sampai enam orang.  Atau ketika isteri bekerja di luar rumah menjadi buruh rantau, anak-anak perempuan ditaklukan dengan perasaan bersalah karena ibunya meninggalkan rumah untuk bekerja. Anak perempuan sering diminta melayani kebutuhan biologis bapaknya.

Dari Aceh, ada kisah pilu anak perempuan sebut saja Iva. Ia pengidap HIV sejak dalam kandungan. Ibunya menikah dengan mantan seorang anggota Gerakan Aceh Merdeka. Akibat konflik mereka terpisah, suaminya berpindah-pindah menghindari kejaran tentara Indonesia. Dari Aceh, ia keluar masuk Thailand, Malaysia, dan beberapa negara lain.

Ketika damai, ia kembali kepada istrinya membawa virus HIV. Sementara istrinya hamil, sang suami meninggal dunia. Rumah Sakit yang memeriksanya sebelum meninggal mendiagnosanya terkena HIV. Kabar itu tersiar dari petugas kesehatan kepada warga sekitar.

Tinggalah sang istri dengan stigma HIV, sambil mengidap TBC saat mengandung Iva. Begitu lahir, Iva beserta seluruh keluarga dikucilkan. Ia tumbuh tanpa teman. Orangtuanya dilarang berbaur, dilarang menggunakan fasilitas umum. Hidup mereka bergantung pada sepetak sawah dan kebun milik orangtua. Mereka melalui jalan-jalan sunyi untuk mencari kayu bakar, dan berkebun. Dalam keadaan terdesak, satu persatu pohon di kebunnya ia gadaikan. Iva sudah miskin sejak lahir.

Dengan keterampilan seadanya, para perempuan miskin terseok-seok mencari nafkah di sektor-sektor informal. Mereka harus menanggung hidup keluarga karena ketidakmampuan suami atau ditinggal pergi suami. Menjadi pembantu rumah tangga, berjualan dengan modal minim, atau menjadi buruh tani, dan sebagainya. Tak ada perlindungan terhadap hak-hak pekerja dalam sektor itu. Alih-alih mendapat uang, banyak di antara mereka justru menjadi korban eksploitasi. Atau malah memperluas kemiskinan mereka dengan membebankan urusan anak-anak mereka kepada keluarganya yang juga miskin.

Padahal karena kemiskinan itulah kelas menengah diuntungkan. Kelas menengah melimpahkan beban rumah tangga kepada para pembantu untuk bisa bekerja di sektor formal dengan mengupah pembatunya, jauh lebih rendah dari upah yang dia peroleh. Bayangkan jika kelas menengah mengerjakan semua urusan domestiknya sendiri. Mereka tak akan punya waktu dan tenaga untuk menghasilkan upah.

“Orang di Malaysia disupport oleh kemiskinan di NTT. Kalau orang NTT berhenti semua. Mereka collapse,” kata Lies. Sama juga di Arab Saudi. Kelas menengah bisa menikmati hidupnya karena ditopang oleh tenaga kerja Indonesia. Secara langsung, akibat ketiadaan akses terhadap alat produksi di desanya, para perempuan itu terlibat dalam pasar global tanpa perlindungan apapun dari negara, yang dari mereka negara menarik pajak dan keuntungan devisa.

Sebelum masuk ke era globalisasi, jalan panjang pemiskinan perempuan sudah terjadi sejak 25 tahun lalu, sejak pemerintah orde baru menetapkan kebijakan Revolusi Hijau yang berdampak pada hilangnya akses para perempuan desa terhadap alat-alat produksi pertanian. Revolusi Hijau adalah program pertanian untuk mengejar hasil produksi sebanyak-banyaknya. Caranya, dengan menggenjot penggunaan pupuk kimia, bibit unggul dan penggunaan teknologi pertanian.

Modernisasi pertanian sebagai turunan dari kebijakan Revolusi Hijau menghilangkan kuasa perempuan atas pengetahuan mengolah sawah. Mereka kehilangan lahan satu persatu akibat mahalnya ongkos produksi selama menanam padi, sementara hasilnya tak sepadan dengan biaya yang mereka keluarkan. Sementara pupuk kimia dan bibit yang mereka tanam hanya menyisakan ketergantungan akut, selain kerusakan ekosistem.

Pertanian tak lagi bisa diandalkan, tenaga sudah diganti mesin-mesin dan lahan lahan petani banyak berpindah tangan. Para laki-laki kini berbondong-bondong cari nafkah ke kota. Meninggalkan orangtua, istri dan anak-anak mereka. Tinggalah para petani tua musiman beserta perempuan dan anak anak.

Sementara anak-anak yang tumbuh di lingkungan miskin, tak punya proyeksi masa depan. Pendidikan mereka tempuh jatuh bangun sambil membantu orangtua. Tamat SMP saja sudah bagus, lumayan untuk melamar jadi buruh di pabrik-pabrik.

Tapi keberadaan pabrik-pabrik bukan semata mata membuka lowongan pekerjaan dan membantu para perempuan usia produktif. Mereka datang untuk mengambil untung dari diskriminasi perempuan dengan mengupah perempuan lebih murah dan mengendalikan perempuan.

Demikianlah buku itu memotret kemiskinan perempuan melalui teks dan foto. Lies menyingkap kekuatan para perempuan. Mereka jadi tukang bangunan, kuli angkut batu, pandai besi, buruh perkebunan, dimana-dimana mereka mampu bertahan, menolak tumbang. [*]

*Foto by Geo Times: http://geotimes.co.id/majalah/buku/9053-pemiskinan-perempuan-terjadi-sejak-mereka-lahir.html

*Oleh: Mulyani Hasan | Sumber: geotimes.co.id, 6 September 2014.

*Rehal buku: Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan/ Penulis: Lies Marcoes-Natsir/ Fotografer: Armin Hari/ Penyunting: Roem Topatimasang/  Penerbit: INSISTPress, Rumah KITAB, & AIPJ-AusAID,  2014.