Dekolonisasi Metodologi: Reclaim Your Knowledge!*
“Kami punya sejarah tentang orang-orang yang meletakkan Maori di bawah mikroskop, persis seperti seorang ilmuwan mencermati serangga. Mereka yang mengamati merasa punya kekuasaan untuk mendefinisikan” (Merata Mita dalam Dekolonisasi Metodologi, Linda Tuhiwai Smith, 2005)
Pada dasarnya gelombang kemerdekaan yang mengubah wajah Asia-Afrika diikuti sejumlah langkah perjuangan dibidang politik, ekonomi, dan budaya. Dalam rentang waktu 1940 sampai 1960-an yang namanya urusan kedaulatan dan ke-berdikari-an adalah problem hidup mati bagi keberlangsungan negara-bangsa baru. Singkat kata persoalan dekolonisasi mengagendakan kedaulatan total mulai dari sumber daya alam sampai ilmu pengetahuan.
Linda Tuhiwai Smith dalam bukunya Dekolonisasi Metodologi menyebutkan bahwa kebutuhan mendekolonisasi adalah counter dari proses kolonialisme Eropa yang menancapkan misi pencerahan, superioritas ras, berikut pula keunggulan ilmu pengetahuan. Hal ini berdampak pula pada perkembangan ilmu pengetahuan yang merupakan bagian dari unsur kebudayaan sebuah peradaban selain mata pencaharian, kesenian, bahasa, sistem kepercayaan, dan organisasi kemasyarakatan. Jika ditelisik lebih jauh pembedaan antar tingkat kebudayaan atau peradaban bermula dari ditariknya garis imajiner antara “Barat” dan “Timur”, tapal batas imajiner itu merupakan formasi spesifik yang dipakai Barat untuk melihat, menamai dan mengetahui komunitas-komunitas pribumi (hal.79). Disamping itu, era pencerahan yang mengguncang Eropa mendorong para pelaut disana untuk melakukan penjelajahan demi diketemukannya tanah baru atau New World/Terra Nullius.
Gagasan untuk “mencerahkan” bangsa pribumi ini persis dengan pemikiran dasar filsuf Prancis, Michel Foucault bahwa pengetahuan digunakan sebagai sarana pendisiplinan serta membedakan mana yang ilmiah dan takhayul, bahkan menyokong kekuatan yang sedang berkuasa. Hal itu saling bersinggungan pula semasa kolonialisme Eropa di wilayah Selatan, Frantz Fanon seorang psikiater dari Martinique melihat bahwa kedatangan pihak Eropa selalu dibumbui dengan dominasi mentalitas yang disusun atas komponen penguasaan akan tubuh serta struktur sosial-politik dan ekonomi. Sementara itu, disatu sisi tercipta pula sistem pendidikan kolonial untuk mencetak para elit pribumi dan hirarki tradisional yang bertujuan untuk menunjang kepatuhan dan ketertiban rejim pengetahuan kolonial. Bagi kaum kolonialis, langkah ini ditempuh untuk memantapkan dominasinya di lapangan ekonomi, politik, dan budaya. Sehingga saat kolonialisme, beberapa pembedaan diciptakan untuk melihat mana yang masuk kategori beradab dan tidak beradab.
Dengan demikian, dekolonisasi ialah upaya pembangkitan kembali produksi pengetahuan dalam ruang kebudayaan sekaligus sebagai usaha melepas stigmatisasi Indigenous Peoples yang digolongkan sejajar dengan flora dan fauna, tipologi hirarkis evolusi manusia dan berbagai sistem perekamannya diisi oleh penemuan baru, peta wilayah yang diperebutkan penguasa Eropa. Artinya, Indigenous Peoples disusun dalam urutan berdasarkan keyakinan bahwa mereka mendekati manusia (nearly human), hampir manusia (almost human) atau belum manusia (sub-human) (hal.78). Sebagai contoh, pertunjukkan Human Zoo yang diadakan di Eropa sekitar abad 17-18 ialah bagian dari legitimasi kultural bahwa bangsa “kulit berwarna” setara dengan hewan.
Persoalan inilah yang ditangkap oleh Linda Tuhiwai Smith dalam merumuskan dekolonisasi ilmu pengetahuan. Penulis buku yang berlatar belakang suku Maori memaparkan bahwa dampak fatal Barat terhadap masyarakat pribumi pada umumnya diteorikan sebagai sebuah fase kemajuan dari: 1) penemuan dan kontak awal (discovery), 2) penyusutan populasi (okupansi wilayah), 3) akulturasi, 4) asimilasi, 5) perekaan ulang sebagai sebuah hibrida budaya etnis. Perspektif pribumi diusahakan untuk mencapai gerak maju bertahap yang bisa diartikan 1) kontak dan invasi, 2) genocida dan penghancuran, 3) survival, 4) pemulihan bangsa pribumi (hal.130).
Linda Tuhiwai Smith mencoba merumuskan hal baru yaitu bangsa Maori meneliti atau Kaupapa Maori. Agenda ini adalah negasi dari konsep penelitian bangsa Barat, bagi Smith gagasan penelitian pribumi harus berpijak pada tujuan Reclaiming Knowledge. Pengetahuan yang memihak dan memberikan suara kepada kaum pribumi untuk memaknai masa lalunya (sejarah) untuk kemudian self-determination pada masa mendatang, artinya pengetahuan Maori bisa dibingkai dan dimaknai secara menyeluruh. Dalam buku ini, penulis secara hati-hati menafsirkan istilah antara pos-kolonial dan dekolonisasi, menurutnya keadaan pos-kolonial yaitu situasi yang menganggap bahwa penjajahan sudah berakhir, struktur yang diciptakan sudah buyar, padahal sisa-sisa dan warisannya masih bermutasi dalam bentuk lain, oleh karena itu dekolonisasi dianggap sebagai obat penawar dan membereskan masalah pasca kolonialisme bagi bangsa-bangsa yang baru merdeka.
Dalam pandangan Maori dinyatakan bahwa kerangka gerakan pribumi dikonseptualisasi dalam kerangka konsep kultural yang sesuai dengan Kaupapa Maori antara lain sebagai berikut Tiwo Rangatiratanga (kedaulatan), Whanau, Hapu, Iwi (keluarga segaris, kelompok sub suku dan suku), Te Reo (bahasa Maori), dan Tikanga Maori (adat budaya Maori). Untuk kemudian, dimanifestasikan dalam dua puluh lima macam program pribumi yang bersendikan pada 1) Gugatan, 2) Kesaksian, 3) Meriwayatkan cerita, 4) Merayakan kelangsungan hidup, 5) Mengenang, 6) Pribumisasi, 7) Intervensi, 8) Revitalisasi, 9) Koneksi, 10) Menelaah, 11) Penulisan, 12) Representasi, 13) Gender, 14) Pembentukan visi, 15) Pengerangkaan ulang, 16) Restorasi, 17) Pengembalian aset, 18) Demokratisasi, 19) Penyusunan jaringan, 20) Penamaan, 21) Perlindungan, 22) Penciptaan, 23) Negosiasi, 24) Penemuan, 25) Berbagi (halaman 225-260).
Secara keseluruhan buku ini banyak memberikan informasi bagaimana pengalaman Linda Tuhiwai Smith dalam memulihkan kondisi Maori setelah kolonialisme Eropa. Bangsa Maori yang merupakan penduduk asli Selandia Baru mendapat banyak perlakuan diskriminatif dalam aspek budaya, ekonomi, dan politik. Pengalaman ini memberikan pelajaran berharga bagi pemulihan identitas budaya dan ilmu pengetahuan di bangsa-bangsa yang sedang melakukan dekolonisasi khususnya Asia dan Afrika. Disamping itu latar belakang penulis yang berbasis ilmu kependidikan membuat buku ini menitikberatkan aspek pendidikan dan pengajaran sebagai agenda penting dalam dekolonisasi serta penekanan bahwa mendobrak kemapanan ilmu pengetahuan Barat serupa dengan merebut kedaulatan pengetahuan. Keberhasilan sang penulis yang menjelajah ranah penelitian berbasis kaum pribumi berbuah pada Declaration on the Rights of Indigenous Peoples tahun 2007. [1][1] Salah satu peristiwa penting yang meliputi Declaration on the Rights of Indigenous Peoples yaitu kontroversi Columbus Day setiap 12 Oktober di Amerika Serikat, bagi sejumlah komunitas Indian Amerika, sosok Christoper Columbus tidak jauh beda dengan perampok, pembunuh massal yang mengatasnamakan pencerahan Eropa. Sejak 5 tahun terakhir, para komunitas Indian Amerika mengadakan event tandingan yaitu Indigenous Resistance Day. http://www.npr.org/blogs/codeswitch/2014/10/12/354274630/seattle-swaps-columbus-day-for-indigenous-peoples-day
*Sumber: sahabatmkaa.com – 17/10/2014.
*Rehal buku: Dekolonisasi Metodologi/ Linda Tuhiwai Smith/ Nur Cholis (penerjemah)/ INSISTPress, 2005.