Media Baru, Gerakan Sosial Baru

Media Baru, Gerakan Sosial Baru*

Apakabar, suatu milis yang menyampaikan informasi-informasi yang tak akan dimuat pada surat kabar dan televisi masa orde baru, paling tidak menjadi tonggak sejarah ketika gerakan sosial mengambil wajah barunya di Indonesia. Waktu itu (orde baru), Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dan pembredelan sangat membatasi ruang gerak pers Indonesia. Puncaknya, pembreidelen tiga media, yaitu Detik, Editor dan Tempopada 1994, mengalami gelombang perlawanan yang cukup hebat. Tak berhenti di situ, Tempo bergerak di bawah tanah. Untunglah, SIUPP tak menjangkau internet. Sehingga walau sudah dibreidel, Tempo tetap menerbitkan liputan perdananya pada 6 Maret 1996 melalui internet. Tempo Interaktif namanya. Setahun setelah berdiri, tercatat sekitar 1.500 orang mengunjungi situs ini perhari. Atau rata-rata sekitar 40-50 ribu per bulan. Angka yang cukup tinggi, mengingat jumlah pengguna internet Indonesia yang masih rendah waktu itu.

Hampir 15 tahun kemudian, gerakan sosial dunia maya tersebut berhasil menginjak ranah dunia nyata, ketika heboh-hebohnya kasus Cicak vs Buaya dan Prita Mulyasari pada 2009, yang sebenarnya berawal dari gerakan masif di Facebook. Oposisi Maya, buku terbitan InsistPress pada tahun 2010 menangkap fenomena ini, yang kemudian menjadi perdebatan yang cukup serius di kalangan aktivis maupun para pemerhati dan peneliti media dengan apa yang disebut gerakan sosial baru (new social movement).

Buku setebal 143 halaman ini (tidak termasuk pengantar dan daftar isi), berisi delapan tulisan plus satu wawancara yang datang dari penulis dengan beragam latar belakang, seperti aktivis, pemerhati media, wartawan dan feminis yang mencoba mencari jawaban atas sederet pertanyaan mengenai gerakan sosial baru. Tulisan pertama oleh Dodi Yanuar berjudul Gotong Royong Untuk Mendapatkan Keadilan merupakan sebuah catatan kronologi mengenai kasus Bibit-Chandra dan Prita Mulyasari yang membantu mendalami kasus tersebut sebelum melangkah lebih jauh pada tulisan-tulisan sesudahnya.

Nezar Patria, penulis kedua dengan tulisannya berjudul Tiga Layar Kerumunan Virtual, menjelaskan bahwa sebenarnya gerakan sosial baru di Facebook dalam kasus yang ini, sebenarnya dipengaruhi oleh “kolaborasi tiga layar” yang berhasil memberikan efek solidaritas sosial yang luar biasa. Tiga layar tersebut adalah internet, telepon selular dan televisi. Gerakan mendukung Prita berawal dari para blogger yang kemudian seruannya menyebar hingga ke Facebook dan Twitter. Seruan solidaritas beredar lewat pesan singkat, dan televisi membantu gerakan tersebut dengan pemberitaan yang masif.

Tulisan ketiga berjudul Jika Hatimu Bergetar Melihat Penindasan, Join the group oleh Mulyani Hasan. Mulyani membahas bagaimana perkembangan jejaring sosial dan pengikutnya di Indonesia dan apa saja yang dapat dilakukan pengguna Indonesia. Mulyani melihat bahwa petualangan dunia maya hanya akrab dengan mereka yang memiliki perangkat teknologi, karenanya Mulyani menyimpulkan Prita terbantu karena ia memiliki akses terhadap teknologi informasi sehingga media bisa menangkapnya dan memberitakannya dengan gencar. Hal ini tidak terjadi misalnya dengan para petani. Karenanya, Mulyani berharap bahwa para pegiat dunia maya terlibat secara aktif untuk membantu mereka.

Tulisan keempat ditulis oleh Linda Cristanty dengan judul Dari Melawan Rezim Hingga Menggalang Koinmerupakan pengalaman personal seorang wartawan dan sastrawan, serta aktivis yang pernah melawan orde baru. Linda menceritakan pengalamannya dalam perkembangan gerakan sosial baru semenjak orde baru hingga sekarang.

Saleh Abdullah dalam Koin, Kota dan Kekuasaan menjelaskan bahwa koin dalam kasus Prita adalah simbol remeh yang mempu medemoralisasi kekuatan besar, sebuah kekuatan institusi kesehatan yang didukung oleh piranti dan nilai-nilai kuat. Koin tersebut menjadi simbol tentang kebanyakan orang di negeri ini yang sering disepelekan dan dilecehkan.

Lebih menarik lagi, Nurhady Sirimorok dalam tulisannya yang berjudul Eksodus Oposisi ke Facebook mencoba menerangkan kenapa hanya terdapat satu dua kasus saja yang mencuat dan dianggap berhasil, sementara kebalikannya, kasus nenek Minah tidak demikian. Dari situ Nurhady secara tidak langsung menganggap media mempunyai peran penting dalam keberhasilan suatu gerakan sosial dengan Agenda Setting. Dalam bahasa Nurhady, suatu kasus mencuat dan tenggelam melalui liputan media.

Selain pengaruh media massa, Nurhady menjelaskan bahwa pengguna facebook yang sebagian besar adalah penduduk urban, menjadi penyebab kenapa kasus nenek Minah tidak begitu populer ketimbang kasus Bibit-Chandra dan Prita. Mereka yang akrab dengan wacana-wacana urban, akan cenderung menggalang aksi di seputar wacana tersebut.

Tulisan ketujuh berjudul Resonansi Suara Warga di Dunia Maya oleh Nilam Indahsari, mencoba membahas korelasi positif antara perkembangan facebook dengan jurnalisme warga (citizen journalism). Di situ Nilam berpendapat bahwa warga dan jejaring sosial telah menyerahkan kembali kekuatan personal warga sebagai sumber energi utama pembangunan.

Lies Marcoes-Natsir dalam tulisan kedelapan berjudul Jika Prita adalah Prito, menjelaskan bahwa sosok Prita dalam liputan menjadi pencitraan yang terdramatisasi terhadap sosok perempuan yang tertindas. Karenanya Lies berpendapat bahwa gerak sosial menggunakan media maya harus terjaga terhadap sosok tertindas, entah itu perempuan dan laki-laki, karena media pada dasarnya menjadikan berita yang layak saji sesuai dengan selera pasar.

Buku ini memang tidak dimaksudkan untuk menjadi kajian teoritik yang mendalam terhadap gerakan sosial baru di Indonesia. Sebaliknya ia ditulis oleh para praktisi yang bergelut langsung dengan bidangnya. Dengan bahasa yang tidak njelimet dan penuh jargon, buku Oposisi Maya dapat menjadi pemancing awal dan pengantar bagi kajian-kajian sejenis, terutama di bidang kajian media baru dan gerakan sosial di Indonesia.

*Oleh Bima Satria Putra. Sumber: LPM LENTERA FISKOM UKSW – 6 Februari 2015.

*Rehal buku: Oposisi Maya •Penulis: Dodi Yuniar, Nezar Patria, et. al. •Penyunting: Puthut EA •Penerbit: INSISTPress •Edisi: I, Februari 2010.