Fiksi politik vs Fiksi budaya (Dongeng menguasai “Indonesia masa depan”): Gergaji Akar Majemuk*
Susunan sebuah buku, seperti buku yang ditulis Fandy Hutari ini, kadang cukup menjelaskan bagaimana buku ini harus dibaca. Bagaimana sesuatu yang sebelumnya berserakan, tidak tahu harus ditempatkan di mana, kemudian mendapatkan ruang dan susunannya agar kita tahu, masuk dari mana dan keluar ke mana.
Pintu masuk yang dibuat Fandy dalam buku ini adalah kehidupan sandiwara pada era pendudukan Jepang. Ini adalah sebuah pilihan, yang sejak awal, pembaca dibawa ke sebuah teritori imajinasi di mana fiksi dan politik berjalan bersamaan untuk mewujudkan “Asia Raya” yang diimpikan Jepang pada masanya. Sebuah masa yang hiruk-pikuk untuk membuat sejarah baru sebagai monumen raksasa perwujudan dari“bangsa-bangsa besar”. Monumen yang merupakan bagian dari sisi autis modernisme ini (untuk membuktikan kebesaran manusia atas alam), di antaranya dijalankan melalui perang, di samping perwujudan fisik yang berlomba membuat bangunan-bangunan (yang bisa menyundul semesta), patung-patung raksasa maupun teknologi ruang angkasa.
“Asia Raya” adalah sebuah fiksi yang diimpikan Jepang pada masanya. Mesin perang digunakan untuk mewujudkan impian ini.
Namun, di balik mesin perang yang masif dan mengguncangkan dunia Barat ini, Jepang menggunakan sandiwara untuk mengelola banyak elemen yang jauh lebih kompleks dibandingkan dengan medan perang yang dijalankan, yaitu kebudayaan.
Tidak beberapa lama setelah menaklukkan Hindia Belanda, Jepang segera mendirikan Sekolah Tonil di Jakarta, mendirikan Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Shidosho), membentuk Djawa Engeki Kyokai (Perserikatan Oesaha Sandiwara Djawa). Ini sebuah platform kebudayaan yang belum pernah ada sebelumnya, setelah Hindia Belanda membentuk Nederlandsch Indische Kunst-kring dan Balai Pustaka.
Jepang menggunakan sandiwara sebagai platform untuk mengolah, membuat pertemuan baru antara “politik sebagai fiksi” dan “fiksi sebagai politik”. Melalui platform ini unsur-unsur budaya lokal digali kembali dan ditempatkan ke dalam garis politik yang mau diwujudkan Jepang. Berbagai dongeng lokal maupun dongeng baru ditulis dan dipentaskan, di mana politik memang membutuhkan dongeng untuk mendapatkan isi dan pelakunya. Bagaimana sebuah mesin perang dan telah menjadi salah satu penyebab utama meletusnya Perang Dunia II yang digerakkan militer Jepang, alih-alih membuat sayembara penulisan naskah sandiwara, merupakan sebuah kerja politik kebudayaan yang menghitung langkah-langkah yang harus dari hulu ke hilir.
Ini merupakan sebuah pintu masuk yang jitu, yang dipilih Fandy dalam menyusun buku ini.“Sandiwara, politik, dan dongeng” digunakan untuk membaca ulang akar majemuk yang kerumitannya tidak bisa segera terbaca oleh kita, ketika mulai melihat Indonesia sebagai sebuah fenomena yang tidak tunggal. Indonesia sebagai fenomena yang majemuk ini dilihat melalui sebuah sayatan pertama dari era awal modernisasi yang dialami Indonesia. Modernisasi yang dijalankan jauh dari pusat maupun sumbernya, yang sedang dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda, menjadi runyam, karena tiba-tiba terpotong oleh masuknya Jepang dalam waktu yang sangat pendek, tapi sangat signifikan untuk mengubah dunia, munculnya bangsa maupun negara-negara baru, termasuk Indonesia setelah Sekutu menaklukkan Jepang.
Apakah akar majemuk itu? Pada tanaman keras, seperti pohon jati, dikenal sistem “per-akaran” tunjang yang majemuk. Apa arti per-akaran majemuk ini: “Akar tunjang majemuk mampu untuk menahan lapisan tanah, sekaligus menangkap air, ini menyediakan harapan untuk membangun hutan jati sebagai kawasan tangkapan air untuk mengurangi ancaman erosi dan longsor pada musim hujan dan kekeringan di musim kemarau.”Akar majemuk seperti ini pula yang berusaha diungkap Fandy dalam buku ini, diurai melalui medan industri budaya yang melibatkan sandiwara, bioskop, film, arsitektur, pakaian, manusia pelaku, hingga produksi hukum yang membuat babak-belur akar majemuk sub-sub budaya yang hidup di Indonesia. Terutama produk hukum yang dibuat setelah Indonesia memasuki politik “otonomi daerah” yang menciptakan diskriminasi terhadap kaum perempuan. Menggerogoti berbagai produk tradisi yang jauh lebih tua, namun harus menghadapi produk-produk hukum masa kini yang autis terhadap kemajemukan sejarah maupun kebudayaan Indonesia.
Buku ini seperti mengajak kita untuk “merenovasi” visi sejarah maupun visi kebudayaan manusia Indonesia masa kini dalam melihat masa lalu kita yang kemajemukannya kian jauh tergerus oleh lintasan berbagai sejarah (kolonialisme, modernisme, nasionalisme, fundamentalisme, dan globalisasi), dan rapuh untuk terkubur kian jauh dalam kegelapan wilayah masa lalu, cahayanya kian kita curi untuk menguasai “indonesia masa depan”.
Proyek untuk menguasai Indonesia masa depan adalah “mesin fiksi” yang bergerak di setiap masa kini. Proyek ini bisa bekerja masif “menggergaji akar majemuk Indonesia”dari generasi ke generasi hingga sampai ke satu titik: lahirnya generasi yang memang autis terhadap sejarah asal-usulnya. Dalam arti seperti ini, buku Fandy Hutari ini penting untuk dibaca. Buku yang ditulis dengan gaya ringan, namun penuh kode untuk merenovasi pandangan-pandangan kita dalam melihat bagaimana kebudayaan tumbuh bersama sebuah visi politik yang membentuknya.***
*Afrizal Malna, Penyair dan Pegiat Seni, dalam pengantar “Hiburan Masa Lalu dan Tradisi Lokal: Kumpulan Esai Seni, Budaya, dan Sejarah Indonesia/ Fandy Hutari/ INSISTPress, 2017.”