Panggilan Tanah Air – Noer Fauzi Rachman

Panggilan Tanah Air – Noer Fauzi Rachman*

Mari kita coba menggunakan ide-ide dalam buku ini untuk membaca secara sederhana konflik agraria di kasus NYIA Kulon Progo:

Pertama, kita bisa menggunakan gagasan reorganisasi ruang yang memenuhi dorongan pokok untuk membentuk dan menggerakkan mesin kapitalis. Reorganisasi ruang meningkatkan kapasitas sistem kapitalis membuat rakyat mengonsumsi barang-barang yang baru, yang dimungkinkan melalui cara-cara produksi baru, transportasi baru, dan manajemen organisasi industrial yang baru.

Ekspansi sistem produksi kapitalis memerlukan reorganisasi ruang (spatial reorganization) yang khusus agar sistem produksi yang bercorak kapitalistik bisa meluas secara geografis. Hal ini mencakup: a) ruang imajinasi dan penggambaran, termasuk perancangan teknokratik yang diistilahkan sebagai master plan, grand design, dan sebagainya, b) ruang material, tempat kita hidup, dan c) praktik-praktik keruangan dari berbagai pihak dalam membuat ruang, memanfaatkan ruang, memodifikasi ruang, dan melenyapkan ruang dalam rangka berbagai upaya memenuhi keperluan, termasuk mereka yang berada dalam posisi sebagai bagian negara, atau korporasi, atau rakyat.

Reorganisasi ruang dilakukan terus menerus oleh kekuatna yang bermaksud melipatgandakan keuntungan perusahaan-perusahaan kapitalis, utamanya diperoleh dari privatisasi tanah dan sumber daya alam, pemisahan antara penghasil dan pemilik barang yang dihasilkan dan eksploitasi tenaga kerja untuk menghasilkan barang dagangan yang benilai tambah.

Umumnya, cara sistem-sistem produksi kapitalis ini memperluas wilayah kerjanya melalui operasi-operasi kekerasan, terutama merampas tanah kepunyaan rakyat dan membatasi atau bahkan membuat rakyat tak bisa lagi memanfaatkan tanah dan sumber daya alamnya, mengubah secara drastis dan dramatis tata guna tanah yang ada, dan menciptakan kelompok-kelompok pekerja yang dengan sukarela maupun terpaksa siap-sedia didisiplinkan untuk menjadi penggerak sistem produksi kapitalis itu.

Lisensi-lisensi dari pejabat publik menjadi alas hukum menyingkirkan dan meminggirkan rakyat agraris dari ruang hidupnya. Saat ini, yang menjadi andalan pemerintah adalah pembangunan berbagai mega proyek infrastruktur, seperti pembangunan jalan, pelabuhan kompleks industri pengolahan, dan bandara tentunya. Apakah (calon) bandara baru di Kulon Progo benar-benar dimaksudkan menjadi kemegahan yang mentereng sendirian di wilayah pinggiran? Jelas tidak. Sudah banyak antrian hotel, tempat hiburan, proyek pembangunan jalan dan lain-lain yang segera menyusul untuk menyambut meriah bandara itu. Kulon Progo siap dirias habis-habisan menjadi kota padat kapital. Infrastruktur-infrastruktur ini memiliki fungsi khusus melayani komoditas untuk bersirkulasi, khususnya dengan transportasi dan turisme. Negara memfasilitasi pemenuhan kepentingan akumulasi kekayaaan segelintir orang. Negara menjadi instrumen perluasan sistem kapitalisme.

Joseph Schumpeter pernah menyebut istilah creative destruction. Maksudnya, sebagai sistem produksi yang khusus, kapitalisme ini memberi tempat hidup dan insentif bagi semua komponen yang efisien, dan menghukum mati atau membiarkan mati hal-hal yang tidak sanggup menyesuaikan diri dengannya. Selanjutnya, di atas apa-apa yang telah dihancur-leburkan itulah dibangun sesuatu yang baru, yang dianggap lebih menjamin penciptaan keuntungan dan keberlangsungan akumulasi modal. Hal ini mencakup perubahan hubungan kepemilikan dan tata guna mengenai tanah dan sumber daya alam, tata guna tanah, hutan, panai, dan sebagainya. Membangun sistem produksi kapitalistik dimulai dengan menghancurkan terlebih dahulu sistem produksi nonkapitalis yang telah terelbih dahulu ada di wilayah yang disasar itu.

Creative destruction kian mencolok saat berbagai praktik dan kebijakan pemerintah didasari oleh paham neoliberalisme. Dalam hal ini, neoliberlaisme merupakan suatu paham yang menempatkan kebebasan individu untuk berusaha sebagai norma tertinggi dan paling baik dilindungi dan dicapai dengan tata kelembagaan ekonomi yang mengandalkan jaminan atau hak kepemilikan pribadi, pasar bebas, dan perdagangan bebas. Paham neoliberalisme tidak anti pada intervensi pemerintah, melainkan justru mendayagunakannya. Indonesia sebagai “sebuah bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa lainnya” tak bisa menjaga diri dari godaan-godaan neoliberalisme ini.

Lantas, bagaimana dengan pertanyaan besar Sukarno ini: “Apakah kita mau Indonessia merdeka yang kaum kapitalisnya merajalela, ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh ibu pertiwi yang cukup memberi sandang pangan kepadanya?”

Penolakan Kulon Progo adalah bagian dari semangat arus balik memperjuangkan Tanah Air. Penggunaan istilah arus balik merujuk pada novel Pramoedya Ananta Toer yang diinspirasi juga oleh konsep counter-movement dari Karl Polanyi (1944). Nama terakhir ini menulis,”selama berabad-abad dinamika masyarakat modern diatur oleh suatu gerakan ganda: pasar yang terus ekspansi meluaskan diri, tetapi gerakan ini bertemu dengan suatu gerakan tandingan menghadang ekspansi ini agar jalan ke arah yang berbeda” Arus balik adalah ekspresi dari suatu keadaan kritis dan semangat mengubah nasib. Apa yang diupayakan adalah melindungi masyarakat dari daya rusak pasar kapitalis.

Namun, tentu tidak mudah. Fernand Braudel, sejarawan Prancis dan pemimpin dari aliran Annales dalam ilmu sejarah, mengatakan: “manakala kapitalisme diusir keluar dari pintu, ia akan masuk kembali lewat jendela.”

*Oleh: Soni Triantoro. Sumber: menganga.wordpress.com – 20 Februari 2018.

*Rehal buku: Panggilan Tanah Air: Tinjauan Kritis atas Porak-Porandanya Indonesia/ Noer Fauzi Rachman/ INSISTPress, 2017.