Kepingan Pengetahuan dari Buku Mengorganisir Rakyat

Kepingan Pengetahuan dari Buku Mengorganisir Rakyat*

Mengorganisir rakyat bukanlah kerja cari makan”, begitulah kalimat pembuka dalam buku ini.

Ya, memang begitulah faktanya. Pekerjaan mengorganisir rakyat bukanlah kerja untuk cari makan atau dalam bahasa kerennya “row material oriented”. Kerja mengorganisir rakyat adalah bekerja untuk mengakkan hak dan keadilan. Hal ini perlu dipahami oleh semua aktivis, baik yang sedang atau yang akan terjun dalam dunia pergerakan rakyat. Sebab dalam beberapa kasus, ada sebagian orang yang memanfaatkan kesengsaraan rakyat untuk kepentingan pribadi. Hal itu sangat tidak disarankan dalam buku ini. Bahkan sangat ditentang. Sebelum membicarakan lebih jauh tentang isi buku ini, saya mengingatkan kepada para pembaca tentang dua hal: pertama, saya buknlah seorang pengorganisir rakyat dan belum memiliki pengalaman mengorganisir rakyat, saya hanya beberapa kali terlibat dalam aksi penolakan pembangunan pabrik semen bersama warga Kendeng di depan kantor Gubernur Jawa Tengah, selebihnya saya hanya membaca dari buku dan berita. Kedua, saya belum pernah membedah buku. Membedah buku membutuhkan sebuah kajian yang mendalam, sebab membedah buku tidak hanya melakukan resensi tetapi lebih dari itu harus mengkaji dengan bekal ilmu pengetahuan yang memadai. Dua hal itu patut diperhatikan oleh pembaca agar pembaca tidak kecewa dengan ulasan yang akan saya berikan. Walau demikian, saya tetap berusaha menuliskan sebaik mungkin hal yang saya dapatkan dari buku ini kemudian membagikannya kepada orang lain dengan harapan agar orang lain dapat memiliki gambaran tentang buku yang hendak kita diskusikan ini.

Sebelum membahas isi buku ini, terlebih dahulu kita kenali siapa penulisnya. Buku Mengorganisir Rakyat ditulis oleh dua orang yakni Jo Hann Tan (Malaysia) dan Roem Topatimasang (Indonesia). Keduanya merupakan orang yang mendirikan South East Asia Popular Communication Progam (SEAPCP), sebuah oganisasi jaringan kerja gerakan-gerakan rakyat akar rumput di kawasan Asia Tenggara. Mereka berdua telah berkelana selama 20 tahun menyambagi Jakarta, Maluku, Serawak, Kuala Lumpur, Ho Chi Min City, dan Pnom Phen. Selama 20 tahun itu, kedua penulis ini ikut terlibat dalam pengorganisiran rakyat di tempat yang disinggahinya. Buku ini merupakan hasil pengalaman kedua penulis selama 20 tahun itu. Membaca buku ini, anda tidak akan menemukan sebuah rumusan ilmiah tentang bagaimana mengorganisir rakyat. Anda juga tidak akan menemukan teori-teori sosial seperti yang anda temui di bangku kuliah anda yang membosankan itu. Buku ini menyajikan pengalaman dan pembacaan penulis tentang berbagai gerakan rakyat di tingkat akar rumput yang terjadi di Kawasan Asia Tenggara. Tujuan dari buku ini bukanlah memberikan teori mengorganisir rakyat tetapi memberikan sebuah contoh bagaimana mengorganisir rakyat.

Kepada siapa kita berpihak? Apa alasan kita memihak? Apa tujuan kita mengorganisir rakyat?. Pertanyaan-pertanyaan semacam itu harus kita jawab sebelum kita menceburkan diri dalam dunia pengorganisasian rakyat. Seorang pengorganisir rakyat harus berpihak kepada yang tertindas, kepada warga negara yang dirampas haknya oleh penguasa, atau kepada siapapun yang diperlakukan tidak adil. Perlu dipahami bahwa seorang pengorganisir bukanlah titisan Tuhan yang bertugas menyelamatkan rakyat dari kesengsaraan. Ia hanya merupakan seorang yang terpanggil hatinya untuk menyelamatkan hak hidup orang lain, berjiwa demokratis, dan menjunjung tinggi nilai keadilan. Tujuan dari mengorganisir rakyat bukanlah menjadikan rakyat itu sebagai objek melainkan sebagai subjek, artinya tujuan dari pengorganisiran rakyat adalah menjadikan rakyat itu sadar dan mengorganisir dirinya sendiri. Pada akhirnya rakyat sendirilah yang harus mengorganisir dirinya sendiri.

Mengorganisir rakyat tidak bisa dilakukan secara kaku seperti yang dilakukan dosen anda dalam kegiatan belajar mengajar di kelas. Mengorganisir rakyat membutuhkan pendekatan khusus dan tentu berbeda antara daerah satu dengan daerah lain. Sebagai contoh, dalam gerakannya, AIDS-Progam menggunakan Teater Boneka untuk mengkampanyekan bahaya HIV-AIDS kepada remaja Vietnam. Mengorganisir rakyat juga harus mempertimbangkan kondisi poliitik agar gerakan tidak mudah dihancurkan. Dalam hal ini kita bisa belajar dari Serikat Petani Sumatra Utara (SPSU) memanfaatkan momentum reformasi 1998 untuk memperbesar gerakannya dan merekrut simpatisan dari berbagai daerah. Hal lain yang juga penting dalam pengorganisiran rakyat adalah pembiayaan. Mengorganisir rakyat tidak bisa dilakukan tanpa adanya dana operasional, juga tidak bisa dilakukan dengan meminta donator terus menerus. Mengorganisir rakyat juga harus dibarengi dengan pembentukan badan-badan atau sayap-sayap ekonomi yang berfungsi sebagai sumber pembiayaan gerakan. Badan-badan atau sayap-sayap ekonomi itu bisa berupa koperasi, inventaris organisasi yang disewakan, atau warung. Mengapa hal-hal semacam itu perlu anda ketahui? Sebab mengorganisir rakyat adalah kegiatan yang berkelanjutan, tidak bisa hanya dilakukan sekali waktu atau ketika anda suka. Maka dari itu, pembentukan badan-badan atau sayap-sayap ekonomi juga penting untuk dipikirkan.

Kunci dari pengorganisasian rakyat adalah membangkitkan sikap politis rakyat. Sikap politis yang dimaksud bukanlah keinginan untuk berkuasa atau menggapai kedudukan yang tinggi. Sebab makna kata “politis” tidak bisa didefinisikan sesempit itu. Politis yang dimaksud adalah kesadaran tentang masalah di lingkungannya, kemudian dengan bekal kesadaran itu bergerak secara bersama-sama menyelesaikan masalah yang ada. Buku ini memberikan contoh pengorganisasian rakyat di berbagai negara di kawasan Asia Tenggara. Di Malaysia ada PERMAS (Persatuan Masyarakat Selangor & Wilayah Persekutuan), sebuah organisasi rakyat yang memperjuangkan hak masyarakat penghuni kawasan kumuh di kota Kuala Lumpur. Di Sumatera ada Serikat Petani Sumatera Utara (SPSU), sebuah organisasi petani yang mengorganisir petani di pedesaan Sumatera. Di Vietnam ada AIDS-Progam, sebuah organisasi rakyat yang selama bertahun-tahun mengkampanyekan bahaya HIV-AIDS bagi kesehatan, dan masih banyak lagi contoh yang dapat anda temukan di buku ini. Organisasi-organisasi tersebut adalah organisasi yang dikelola oleh rakyat dan bekerja untuk kepentingan rakyat. Membaca pengalaman organisasi-organisasi tersebut anda akan sadar bahwa kunci untuk menggerakkan rakyat bukanlah dengan menjejalkan teori-teori sosial atau mengenalkan rakyat dengan Karl Marx, Max Weber, atau Aguste Comte. Kunci dalam mengorganisir rakyat adalah: lakukan saja! Iya, lakukan saja.

Seorang aktivis sering keliru dalam memaknai sebuah gerakan, terutama gerakan rakyat. Seringkali sseorang terpelajar merasa sebagai orang paling pintar di tengah-tengah masyarakat. Mereka, kumpulan manusia terpelajar itu menganggap rakyat sebagai orang-orang bodoh yang harus diberi bekal ilmu pengetahuan. Sikap congkak tersebut pada akhirnya akan memberikan sekat antara seorang pengorganisir dengan yang diorganisir. Hal itu tentu sangat merugikan gerakan. Maka paradigma itu harus diubah: bukan kita yang mengajari rakyat tetapi kita belajar dari rakyat. Seorang pengorganisir mungkin sudah paham teori-teori social, namun jangan lupa bahwa rakyatlah pihak yang berhadapan langsung dengan konflik, mereka jauh lebih paham keadaan. Pada akhirnya teori-teori yang dipelajari di bangku kuliah yang membosankan itu menjadi tidak berguna ketika dihadapkan dengan orang yang terbiasa menghadapi realita. Mulailah belajar dari rakyat dan jangan sekali-sekali menggurui mereka!

Membaca buku ini pikiran saya langsung teringat dengan sosok Joko Prianto, pemuda dari Rembang yang selama bertahun-tahun mengorganisir rakyat di lingkungannya melawan keserakahan pabrik semen. Memahami buku ini imajinasi saya juga langsung  tertuju pada sosok Salim Kancil, seorang yang terpaksa meregang nyawa karena mempertahankan desanya dari praktik penambangan pasir illegal. Sayangnya, sosok-sosok pergerakan yang ada sekarang ini tidak tercantum dalam buku ini. Maka, perlu kajian lebih lanjut agar substansi dari buku ini tidak mandek pada hal-hal itu saja. Kita perlu merefleksikan isi buku ini dan membenturkannya dengan realita yang ada.

Secara keseluruhan buku ini menarik untuk dibaca. Buku ini memberi informasi sekaligus contoh kejadian yang terkait dengan topik bahasan, hal itu merupakan cara yang unik dan menyenangkn pembaca. Walau ada beberapa typo, namun itu tidak merubah keasyikan saya dalam membaca. Akhir kata, marilah kita bersama-sama mengkaji isi buku ini. Jayalah ilmu pengetahuan!

*Lansir dari: kalamkopi.wordpress.com – 2 Juni 2018.

*Tulisan ini disampaikan dalam diskusi Kamis Romantis pada tanggal 30 Mei 2018 di Kedai Kang Putu, Semarang.

*Oleh: Saiful Anwar, Mahasiswa Ilmu Sejarah Unnes angkatan 2014 dan pegiat komunitas Kalamkopi Semarang. Sekarang sedang fokus mengkaji militerasi sejarah yang dilakukan Orde Baru dan dampaknya terhadap perkembangan historiografi Indonesia.

*Rehal buku: Mengorganisir Rakyat: Refleksi Pengalaman Pengorganisasian Rakyat di Asia Tenggara/ Jo Hann Tan dan Roem Topatimasang/ INSISTPress, 2011.