Achmad Choirudin
Editor Eksekutif INSISTPress
“Pertanian petani tetaplah menjadi bagian dari kapitalisme, tetapi sebagai bagian yang mengganggu karena menimbulkan retakan dan gesekan, juga menjadi sarang perlawanan yang mengkreasikan alternatif sebagai kritik permanen terhadap pola-pola dominan. Pertanian petani bisa menempati ruang yang tidak dapat ditempati oleh pertanian kapitalis. Pertanian petani layaknya “anaerobik” (Paz 2006) yang bisa bernapas tanpa oksigen laba yang menjadi syarat mutlak pertanian kapitalis. Menjadi bagian dari kapitalisme membuat usaha tani gelisah. Melalui beragam keseimbangan, berbagai kontradiksi utama memasuki usaha tani petani. Konsekuensinya, keluarga petani juga mengalami pergulatan, sebagaimana dialami masyarakat tani secara keseluruhan.”
Memusatkan perhatian pada pertanian kecil rumah tangga, buku ini kiranya memiliki relevansi yang tinggi dengan pertanian di Indonesia beserta kajian seputarnya.
Bagaimanapun juga, pertanian tetap menjadi sektor penting dalam perekonomian Indonesia, dengan serapan tenaga kerja yang tinggi (29% dari total penduduk bekerja pada 2018)—meskipun mengalami tren penurunan. Data Hasil Survei Pertanian Antarsensus 2018 menunjukkan bahwa jumlah rumah tangga usaha pertanian (RTUP) pengguna lahan sebesar 27,3 juta—mayoritasnya (16,3 juta) tergolong rumah tangga petani gurem (menggunakan lahan kurang dari 0,5 hektare).
Di buku ini, Jan Douwe (dibaca “yan da”) van der Ploeg—profesor sosiologi pededasaan di Belanda dan Tiongkok—menekankan bahwa, meski terdesak oleh berbagai himpitan, pertanian kecil ala petani tetap bertahan, bahkan telah banyak mengalami ragam pembaruan produksi, sehingga menggiring pada proses pembentukan atau kembangkitan kembali kaum tani.
Dalam mengelaborasi gagasannya itu, Ploeg mengemukakan kembali pemikiran sosio-ekonomi pertanian (sosial agronomi) dari pembelajar pertanian, aktivis koperasi petani dan partai buruh tani cemerlang Uni Soviet, Alexander V. Chayanov.
Di sini kita disuguhi analisis mikro, yakni bagaimana petani dan keluarganya mengerjakan unit produksi pertaniannya, sehingga tetap berkelanjutan. Yang utama, unit produksi petani menerapkan beberapa keseimbangan (balance). Dua di antaranya ialah keseimbangan kerja-konsumsi dan keseimbangan jerih payah-faedah.
Di dalam keseimbangan pertama, kerja mengacu pada proses produksi pangan, sementara konsumsi merujuk pada tindakan memakan hasil pangan yang diproduksi. Petani senantiasa mencari keseimbangan antara jumlah tenaga kerja untuk menghasilkan jumlah panenan tertentu dan kebutuhan konsumsi rumah tangganya. Ketika kebutuhan konsumsi meningkat, sedangkan lahan langka, terjadilah intensifikasi dan perluasan kerja.
Petani juga perlu menyeimbangkan kerja ekstra (jerih payah) dan keuntungan ekstra (faedah). Kerja ekstra dibutuhkan untuk meningkatkan hasil dalam bentuk apa saja. Jerih payah sering “dikonotasikan dengan kesengsaraan, kerja sepanjang hari, memeras keringan di bawah terik matahari (sembari memimpikan segelas tuak dingin), bekerja mulai subuh dan di bawah kondisi dingin dan basah kuyup.” Padahal, “kerja pertanian bisa saja dialami sebagai kegiatan yang menyenangkan dan bermakna.” Misalnya, ketika hasil yang ingin didapatkan tidak melulu peningkatan produksi jangka pendek, tetapi juga pertanian yang indah dalam jangka panjang; inilah faedah.
Di sini, cara kerja pertanian ala petani dinilai sering kali berbeda sama sekali dari cara pertanian kapitalis dikelola, tidak terstruktur sebagaimana perusahaan kapitalis, dan tidak berfondasi pada hubungan kapital-tenaga kerja. Tenaga kerja dalam pertanian kecil berbasis rumah tangga bukanlah tenaga kerja upahan; dan modal di dalamnya bukan pula kapital sebagaimana dipahami dalam pengertian Marxis—artinya, modal petani tidak punya keharusan untuk menghasilkan nilai lebih yang seterusnya akan diinvestasikan untuk mengahasilkan lebih banyak lagi nilai lebih.
Untuk menyokong argumen itu, van der Ploeg mengutip Rosa Luxemburg. “Kekhasan ekonomi petani … bersandar pada fakta yang jelas bahwa mereka bukan bagian dari kelas pengusaha kapitalis ataupun proletariat upahan, bahwa mereka tidak mewakili produksi kapitalistis, melainkan pola produksi komoditas sedernana.”
Meskipun begitu, van der Ploeg tidak menyangkal bahwa petani hidup dalam tatanan ekonomi yang didominasi oleh relasi kapitalistis. Namun, usaha tani petani merupakan bagian yang tersubordinasi.
Dalam konteks inilah van der Ploeg mengembangkan gagasan Chayanov dengan mengemukakan berbagai keseimbangan lain. Salah satunya ialah keseimbangan antara manusia dan alam-hidup. Keseimbangan ini didasari dengan postulat bahwa manusia dan alam-hidup, meskipun dua entitas yang berbeda, bersatu padu dalam praksis pertanian. Petani harus memperbaiki alam untuk ber(e)produksi. Produksi-bersama (coproduction).
Namun, hubungan resiprokal antara manusia dan alam-hidup telah mengalami banuyak keterputusan (diskoneksi) akibat modernisasi dan Revolusi Hijau. Pupuk kimia buatan telah menggantikan unsur hayati tanah, pupuk kandang, dan bahkan pengetahuan petani. Pakan konsentrat pabrikan telah menggantikan padang rumput, padang penggembalaan, dan jerami. Perkawinan ternak alamiah pun menghilang, digantikan oleh inseminasi rekaan; transfer embrio pun mendominasi. Energi matahari digantikan oleh energi fosil. Semua ini menandakan penurunan peran alam.
Di tengah gejala itu, van der Ploeg mengemukakan prakarsa-prakarsa gerakan tandingan. Pertanian organik, pertanian dengan input dari luar yang rendah, pertanian ekonomis, serta berbagai gerakan agroekologis lainnya—semuanya bertujuan untuk merombak usaha tani agar kembali menjadi produksi-bersama dengan mengandalkan alam-hidup.
Bakti van der Ploeg pada dunia kepetanian ini kiranya menghembuskan angin segar bagi kepetanian di Indonesia. Di tengah ramainya kajian agraria yang memusatkan perhatian pada pencaplokan lahan petani, buku ini mengemukakan sisi lain dari kehidupan petani—yakni jantung produksi petani—yang tak kalah penting untuk ditelaah demi keberlanjutan pertanian kaum tani itu sendiri, demi penyediaan pangan yang sehat bagi umat manusia, demi kemajuan ilmu pertanian yang tidak menjajah kaum tani.