Oleh Ayu Nuzul, Aktivis FNKSDA
Tiwul adalah makanan olahan tradisional dari singkong. Tiwul pernah menjadi salah satu makanan pokok di beberapa wilayah Indonesia. Ketika berkunjung ke dataran tinggi Ponorogo, tepatnya di Desa Ngebel, aku dan beberapa teman menyempatkan ke Pasar Dolopo untuk mencari nasi tiwul yang katanya masih banyak dijual di pasar. Tiwul tidak lagi dikenal generasi hari ini yang biasa disebut “generasi micin dan teh jus”. Namanya sempat nyaring terdengar saat penyanyi dangdut memopulerkan lagu berjudul “Iwak Peyek” dengan lirik yang menyebut “sego tiwul”.
Politik pangan telah menggeser kedaulatan pangan rakyat dari sistem subsisten di Indonesia. Pemerintah mengganti makanan pokok rakyat dari Sabang sampai Merauke dengan beras yang sekaligus menjadi parameter kesejahteraan rakyat. Rakyat yang tidak makan nasi dianggap kekurangan gizi, begitu pula yang tidak mampu membeli beras dimasukkan kategori miskin.
Hal tersebut membuat makanan sejenis tiwul lambat laun hilang sekaligus dengan bahan pokoknya, seperti singkong, dan umbi-umbian lain. Imbasnya dapat dilihat hari ini, petani beralih menanam padi untuk dimakan dan dijual. Namun, akhir-akhir ini nasi malah disorot sebagai salah satu penyebab utama penyakit diabetes, karena kandungan glukosanya yang tinggi. Itulah mengapa orang zaman dahulu bisa hidup lebih sehat dengan usia yang lebih panjang.
Aku mengurungkan niat membeli nasi tiwul setelah belanja sayur dan bumbu di pasar. Aku pikir kawan-kawan tidak akan suka tiwul, karena rasanya jelas akan aneh di lidah yang sehari-hari terbiasa makanan instan. Saat mesin motor siap melaju kembali ke tempat menginap kami di rumah kepala dusun, kawan yang mengendarainya bertanya, “Sudah beli nasi tiwul?” Aku menjawab, “Enggak, kawan-kawan gak akan suka.” Ia rupanya mematikan mesin motor, dan melangkah menuju penjual nasi tiwul. Sekejap ia kembali membawanya dalam satu kantong plastik. Kami pun beranjak kembali.
Sampai sesi sarapan, nasi putih tetap tersedia berdampingan dengan nasi tiwul. Tak satu pun kawan yang kenal dengan nasi tiwul saat disajikan di piring. “Apa ini?” Pertanyaan sama yang muncul dari kawan-kawan. Ada yang mengambil satu sendok untuk dicicipi, akhirnya tidak tertarik untuk tambah. Ada yang mengambil banyak, karena dikira bagian dari lauk, tetapi setelah mengetahui bahwa itu bukan lauk, dikembalikan ke piring. Sudah kukira, “generasi micin dan teh jus” jelas tidak akan suka!
Pergeseran pola konsumsi masyarakat yang tidak bisa dipisahkan dari politik pangan telah menyebabkan makanan tradisional menjadi asing. Retorika ketahanan pangan selalu difokuskan pada produksi beras, bahkan sejak pemerintahan Sukarno mencanangkan kebijakan intensifikasi, dan pembukaan lahan yang dikenal dengan ‘padi sentra’ pada 1958. Selanjutnya, muncul program Komando Operasi Gerakan Makmur (KOGM) pada 1959, dan swasembada pangan pada 1961. Program tersebut menjadi jalan “Revolusi Hijau” pada pemerintahan Soeharto yang dikenal luas sebagai program Bimbingan Masal (Bimas) yang dimulai pada 1969. Program ini mencakup pembangunan sarana irigasi, perbaikan teknik penanaman, pengendalian hama serta penyakit tanaman (padi), serta pinjaman lunak untuk pertanian.
Konon, program Bimas telah menciptakan swasembada pangan, dan pada 1984 impor beras jauh berkurang. Namun, kondisi tersebut hanya berlangsung sepuluh tahun, karena pada 1994 Indonesia mengimpor beras kembali. Hidup jutaan rakyat Indonesia telah bergantung pada tanaman padi. Propaganda pemerintah telah menempatkan pangan pokok semua penduduk adalah nasi yang berasal dari tanaman padi. Padahal negara ini memiliki keanekaragaman tanaman pokok bukan beras, seperti umbi-umbian, sagu, dan kacang-kacangan.
Satu aspek yang dilupakan dari intensifikasi industri dan budidaya monokultur adalah penggunaan pestisida tanpa terkendali. Hal ini menyebabkan resistensi alamiah pada hama sehingga memunculkan hama tungro pada beras, hingga menjalar ke ekosistem dengan serangan vibrio pada udang, juga flu burung pada unggas. Endemi vibrio bermula pada 1990, dan berlangsung selama empat tahun sehingga menyebabkan gagal panen hampir 100% terutama di Jawa.
Persoalan lain lagi yang timbul adalah ketakmerataan distribusi yang bersifat Jawasentris. Padahal Pulau Jawa menghadapi tingkat alih fungsi lahan pertanian tertinggi, dan produktivitas rendah. Untuk menghadapi masalah ini pemerintah membuka lahan pertanian baru di luar Jawa. Contohnya mega proyek konversi 1 juta hektare hutan rawa lahan gambut di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah menjadi sawah yang, bukannya mengatasi pasokan pangan, justru berujung bencana.
Tak juga belajar dari kesalahan, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono membuka sawah melalui proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) dengan menggusur ruang hidup dan mengganti makanan pokok masyarakat adat. Masyarakat menderita kelaparan karena tidak lagi bisa bertahan hidup semata dari alam tanpa pasokan makanan yang harus dibeli dengan uang. Maka, persoalan gizi buruk dan kelaparan bukan soal daya beli melainkan kemampuan masyarakat memenuhi gizinya secara mandiri dari alam melalui tanaman sendiri atau memang tersedia secara liar di alam bebas untuk digunakan secukupnya.
Nasib nasi tiwul maupun umbi-umbian yang tidak lagi menjadi makanan pokok telah menuntut penciptaan pola konsumsi yang berbeda. Bahan-bahan tadi harus diolah menggunakan mesin pabrik untuk menjadi camilan yang telah kehilangan rasa bahan aslinya. Misal saja, singkong goreng harus diolah dengan pencampuran bahan lain seperti coklat dan keju. Demikian juga keripik singkong harus dicampur perasa sapi panggang, rumput laut, atau balado, yang akhirnya menyatu dengan rasa di lidah anak-anak sedari kecil sehinga terbiasa mengonsumsi makanan siap saji. Wajar saja rasa hambar nasi tiwul terasa aneh, sampai-sampai kawanku harus memaksakan diri untuk memakannya.
Sistem pangan dunia telah memunculkan banyak persoalan, mulai dari aspek kesehatan, kekurangan gizi, hingga kelaparan terselubung (hidden hunger) dengan kekurangan unsur-unsur gizi pokok seperti vitamin dan mineral dalam menu makanan sehari-hari. Ironisnya, negara berkembang dengan sistem pertaniannya tidak lagi mampu menghasilkan pangan yang terjangkau bagi warganya, karena masyarakat juga terlalu miskin untuk dapat membeli bahan pangan yang sudah dipatok harga.
Indonesia sebagai negara berkembang yang tidak bisa mencapai ketahanan pangan akan turut masuk ke pasar pangan dunia. Keadaan Indonesia diperparah dengan kawasan timur yang juga kehilangan sagunya secara masif. Ironisnya, 22 juta rakyat Indonesia kelaparan saat jutaan ton beras Bulog “dibuang”. Artinya, persoalan pangan tidak muncul begitu saja, tapi sengaja dipolitisasi.