Noer Fauzi Rachman, Scholar Activist dalam Bidang Politik Agraria; Pengajar Psikologi Komunitas, Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran
Krisis sosial-ekologi keberlanjutan aneka ragam pengurusan kolektif atas sumberdaya bersama di banyak kampung disebabkan oleh ekspansi kapitalisme sebagai suatu sistem produksi yang dominan saat ini.
Sekitar tiga bulan lalu tokoh utama pemimpin Dayak Iban dari Sungai Utik, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, menerima penghargaan Equator Prize dari PBB (Kompas 28 September 19). Dua bulan sebelumnya mereka menerima penghargaan Kalpataru dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (Kompas 11 Juli 2019). Mereka secara kolektif berhasil mengurus 7.660 hektara wilayah adat, terbebas dari ancaman perambahan dan ekspansi konsesi pertambangan, kehutanan, dan perkebunan, dan dengan pengetahuan, kecerdasan, kearifan lokalnya berhasil melanjutkan layanan ekologisnya untuk kehidupan komunitasnya.
Penghargaan ini melahirkan pertanyaan saya: Siapakah yang mendokumentasikan, mengodifikasikan, dan meneorikan pengurusan kolektif orang-orang kampung atas sumberdaya bersama di seantero Nusantara?
Sumberdaya bersama yang dimaksud di sini dapat mencakup segala sumberdaya yang ada dalam danau, hutan, sungai, laut, atmosfer, yang kesemuanya bersifat alamiah, atau yang ada dalam alam-alam yang dibuat manusia, seperti sistem irigasi, tanah adat, situ buatan, tanah penggembalaan, permukiman, lainnya. Pengurusan kolektif ini menjamin akses orang-orang kampung atas sumberdaya bersama tertentu itu dan terbentuk secara sosial ekologis semenjak dahulu, dan pemanfaatnya memiliki cerita yang dapat menjadi pembenar atas kedudukan sebagai penyandang hak akses bersamanya itu.
Akses adalah kemampuan untuk memperoleh manfaat dari sesuatu dan eksklusi adalah lawan sebaliknya dari akses, yakni kemampuan membatasi pihak-pihak lain untuk memperoleh manfaat dari sesuatu itu (Ribot dan Peluso 2003; Hall, Hirsch, dan Li 2011).
Krisis Pengurusan Kolektif
Orang-orang kampung yang meneruskan dan mengembangkan pengurusan kolektif atas sumberdaya bersama menyadari bahwa pengetahuan kecerdasan, dan kearifan lokal mereka telah didiskriminasi. Ironisnya pun, alih-alih meneruskan, kebanyakan pemuda calon pemimpin generasi penerus merasa rendah diri, dan meninggalkan pengetahuan kecerdasan dan kearifan lokal itu. Sebagian kecil saja dari mereka yang bisa menjangkau pendidikan di perguruan tinggi, sebagian kecilnya yang berhasil justru meninggalkan kampung halaman, berprofesi di kota-kota.
Pengurusan kolektif atas sumberdaya bersama kini dalam situasi terancam kepentingan dan kekuatan korporasi dan elite politik penyokongnya. Misalnya akibat dimasukannya lahan pertanian perladangan, hutan adat, padang rumput, rawa gambut, danau, pantai, dan lainnya ke dalam konsesi-konsesi pertambangan, kehutanan, dan perkebunan, atau proyek-proyek infrastruktur pemerintah. Konsesi-konsesi itu bermula dari lisensi pemerintah (pusat dan daerah) untuk perusahaan-perusahaan swasta.
Konsesi itu bagian hulu dari sirkuit komoditas global, mulai dari penguasaan tanah dan sumberdaya alam, sistem produksi kapitalistik, sirkulasi rantai komoditas secara global, dan pada akhirnya itu membentuk konsentrasi kekayaan perusahaan-perusahaan raksasa, yang diperantarai oleh pembelian komoditas global yang meluas karena kemampuan teknologi memodifikasi hasrat dan daya beli konsumen.
Ketika pemegang lisensi mengusir warga yang memiliki akses sebelumya atas sumberdaya bersama, terjadilah eksklusi atau pencaplokan lahan/sumberdaya (land/resource grabbing) oleh pemegang lisensi. Namun, ketika warga mempertahankan aksesnya, menolak penghilangan akses sumberdaya bersama itu, melancarkan tindakan bertahan dan melawan tindakan eksklusi itu, serta mendelegitimasi klaim lawannya maka terbentuklah konflik agraria struktural dan krisis sosial ekologi yang memorakporandakan kampung (Rachman 2017).
Krisis keberlanjutan aneka ragam pengurusan kolektif atas sumberdaya bersama ini disebabkan oleh ekspansi kapitalisme sebagai suatu sistem produksi yang dominan saat ini. Sebagai sistem produksi yang khusus, kapitalisme ini memberikan tempat hidup dan insentif bagi semua yang efisien, dan menghukum mati atau membiarkan mati hal-hal yang tidak sanggup menyesuaikan diri dengannya. Selanjutnya, di atas apa-apa yang telah dihancurleburkan itulah dibangun sesuatu yang baru, yang dapat lebih menjamin keberlangsungan akumulasi modal melalui maksimalisasi keuntungan.
Schumpeter (1944, 1976) dalam Capitalism, Socialism and Democracy menyebut hal ini sebagai ”proses penghancuran yang kreatif.” Istilah ini dipakai oleh David Harvey (2007) dalam Neoliberalism as Creative Destruction untuk menunjukkan bagaimana gagasan tentang keutamaan kompetisi untuk maksimalisasi keuntungan adalah bagian dari paham neoliberalisme sebagai suatu proyek kelas yang berkuasa untuk menciptakan kondisi yang cocok untuk akumulasi modal, termasuk dengan privatisasi sumberdaya bersama ini.
Kekuatan-kekuatan dalam negara bisa diperalat karena memiliki kuasa dan kewenangan yang tak tergantikan dalam membuat hukum perundang-undangan hingga menggunakan secara absah untuk mengerahkan kekuatan-kekuatan represif negara.
Sesungguhnya, dipandang secara realistis dan kritis, negara berwajah ganda: bisa diandalkan untuk mendukung investasi korporasi mendapatkan hak dan akses ekslusif; atau mengerahkan kuasanya untuk mengakui, melindungi, dan menguatkan hak, akses, dan pengurusan kolektif atas sumberdaya bersama yang disandang oleh orang-orang kampung secara kolektif. Sering kali, keduanya bersifat zero sum game, pilih yang satu, korbankan lainnya.
Perlu Penyelamatan
Jadi, ada kepentingan strategis untuk menyelamatkan pengurusan kolektif atas sumberdaya bersama ini. Situasi ini mengantar kita untuk memikirkan apa yang dirintis Elinor Ostrom, perempuan pertama peraih Nobel Ekonomi 2009, mengenai kelembagaan pengurusan common resource atau the commons (sumberdaya bersama). Sumbangannya yang terpenting dikenal sebagai Hukum Ostrom (Ostrom’s Law) yang menyebutkan bahwa pengurusan sumberdaya yang berhasil kerja dalam praktik, dapat berhasil pula dalam teori (“A resource arrangement that works in practice can work in theory”).
Sumberdaya bersama ini dapat dimiliki oleh suatu komunitas sebagai kepemilikan bersama (common property), atau dimiliki pemerintah menjadi milik publik (negara), atau dimiliki perusahaan sebagai kepemilikan swasta (private), atau tidak ada kepemilikan siapa pun (open access). Ketika sumberdaya bersama tidak dimiliki siapa pun, atau status kepemilikan atas sumberdaya bersama ini secara de facto tidak berfungsi; sumberdaya bersama ini merupakan sumberdaya akses terbuka (open access resource).
Tidak ada hak pemilikan atas sumberdaya, sumberdaya bersama akan bebas dan terbuka dimanfaatkan siapa pun, tidak ada regulasi yang mengatur, akibatnya hak-hak pemilikan tidak jelas. Sumberdaya bersama ini sering berhadapan dengan masalah penggunaan kepentingan pribadi yang berisiko semua pihak dirugikan. Sistem pengurusan bersama tidak cocok bagi pihak pemanfaat yang memiliki motif pencarian keuntungan, harus saling berlomba memanfaatkan sumber daya itu, yang berakibat semakin terbatasnya ketersediaan sumber daya, bahkan menghancurkannya.
Akhir dari semua itu adalah lahirnya ‘the tragedy of the commons’ (Hardin 1968), karena maksimalisasi keuntungan oleh warga elitenya. Timbul masalah penggunaan berlebih dan degradasi sumberdaya bersama itu, misalnya perusakan sumberdaya perikanan, panen kayu yang berlebihan, dan degradasi sumberdaya air. Lebih jauh, mereka setuju pada perlunya pemegang kewenangan eksternal untuk menegakkan peraturan dan regulasi atas para pihak pengguna lokal, karena mereka tidak bisa mengatur diri mereka sendiri (Ostrom 1999).
Kampung sebagai suatu kesatuan sosial ekologis yang menyejarah orang Indonesia perlu diselamatkan. Siapakah yang terpanggil untuk mengumpulkan, kodifikasi, dan teoresasi pengetahuan, kecerdasan, dan kearifan lokal dalam pengurusan kolektif atas sumberdaya alam bersama (common resource, the commons), memahami situasi krisis sosial-ekologis yang melanda mereka, dan atas dasar itu, disusun cara-cara baru penyelamatan pengurusan kolektif atas sumberdaya bersama itu.
*Artikel ini sebelumnya terbit di kolom Opini Kompas 10 Januari 2020; dimuat ulang di sini atas izin penulis.
Pustaka
Ribot, J. dan N. Peluso (2003), “A Theory of Access.” Rural Sociology 68 (2). https://doi.org/10.1111/j.1549-0831.2003.tb00133.x.
Hall, D., P. Hirsch, dan T. Li (2011), Powers of Exclusion: Land Dilemmas in Southeast Asia. Singapura: NUS Press.
Rachman, N.F. (2017), Panggilan Tanah Air. Yogyakarta: INSISTPress.
Ostrom, E. (1999), “Coping with the Tragedies of the Commons.” Annual Review of Political Science (2). https://doi.org/10.1146/annurev.polisci.2.1.493.