Kenapa Esklusi?

Oleh Ciptaningrat Larastiti, peneliti agraria

Mengapa Hall, Hirsch, dan Li memilih menggunakan “eksklusi” untuk menjelaskan perubahan hubungan manusia dan tanah tinimbang konsep yang sudah ada seperti akumulasi primitif, enclosure, accumulation by dispossession?

Konseptualisasi “pemisahan produsen langsung dari sarana produksinya” menyimpan asumsi mengenai penutupan akses yang semata-mata dilakukan pemerintah atau perusahaan besar untuk akumulasi keuntungan. Namun, fenomena di buku ini melampaui cerita itu. Penutupan akses di Asia Tenggara sering digerakkan untuk penetapan kawasan konservasi. Ada pula penutupan akses melalui legitimasi berbasis kelompok-kelompok suku dan masyarakat adat.

Asumsi lain dari konsep-konsep di atas, yang menurut buku ini fatal, adalah: “penutupan akses dan akumulasi primitif akan ditentang penduduk miskin … selama demam komoditas kopi di pegunungan tengah Vietnam menunjukkan bahwa petani kecil sangat ingin terlibat dalam akumulasi primitif dari bawah.” Penutupan akses bisa terjadi di kalangan orang-orang dekat dan berlangsung sehari-hari.

Buku ini sengaja menggunakan eksklusi agar “perubahan hubungan manusia dan tanah” tidak selalu berkesan negatif, di mana masyarakat kalah saat tanahnya dirampas. Nuansa eksklusi justru diharapkan bisa berkesan memberi daya bagi mereka yang marjinal agar berjuang mengamankan ruang hidupnya. Eksklusi menciptakan perlindungan, di satu sisi juga ketidakamanan.

“Bila saya petani ingin menanam tomat di kebun, jika saya tidak bisa mencegah akses orang lain maka saya tidak akan mendapatkan insentif apa pun terhadap lahan tersebut. Saya harus ada kekuatan mengeksklusi orang lain untuk memanfaatkan lahan. Aspek ini belum tentu negatif, bahwa eksklusi itu salah. Ada aspek positif bahwa kekuatan eksklusi yang membuat saya bisa menggunakan lahan tersebut. Ini hal biasa dan diperlukan.”

Sifat lumrah pada eksklusi ini dijelaskan dalam buku Kuasa Eksklusi dengan istilah wajah ganda eksklusi (exclusion double edge). Artinya, setiap pemanfaatan lahan produksi mau tidak mau akan menghalang-halangi akses orang lain untuk menerima manfaat dari lahan tersebut. Wajah ganda eksklusi ini lah yang secara teoretis juga berarti kebalikan dari akses. Bila akses dimaknai sebagai kemampuan seseorang untuk mendapatkan keuntungan, maka eksklusi disinggung sebagai kekuatan penghambat dari akses seseorang terhadap sumberdaya.

Buatku, buku ini menawarkan kejernihan berpikir untuk memahami fenomena hubungan manusia-tanah yang tidak hitam-putih. Ketimpangan penguasaan tanah tidak semata disebabkan oleh pengambilan paksa atas nama konsesi skala besar. Melainkan juga diperuncing paksaan-paksaan pasar (market imperative), seperti disebut Ellen Wood, di mana mayoritas produsen skala kecil juga menginginkan keamanan properti untuk bisa dijaminkan ke bank sebagai modal penanaman komoditas ekspor yang dijanjikan menguntungkan.