Orang-Orang Proyek dan Negara Proyek

Achmad Choirudin

 

Bertokoh utama Kabul, insinyur teknik sipil dan mantan aktivis mahasiswa, novel Orang-Orang Proyek mengetengahkan pergulatan batin Kabul menghadapi bagaimana proyek yang dikawalnya dijadikan lahan bancaan sana-sini.

Senada, buku Menaja Jalan mengemukakan bagaimana proyek jalan tol adalah arena perebutan kue renten para elite politisi dan pengusaha yang itu-itu saja. Dan keduanya sama-sama mengungkapkan bagaimana pertimbangan politis mengalahkan pertimbangan teknis dalam pembangunan konstruksi.

Orang-Orang Proyek dibuka dengan dialog antara Kabul dan Tarya mengenai ambyarnya persiapan pancang jembatan akibat banjir. “Tapi, Mas Kabul, banjir adalah urusan alam” kata Tarya (hlm. 9). Kabul menjawab bahwa sesungguhnya proyek ini direkomendasikan agar dimulai saat kemarau. “Namun rekomendasi itu diabaikan …. Penguasa yang punya proyek dan para pemimpin politik lokal menghendaki jembatan itu selesai sebelum pemilu 1992,” jawab Kabul (hlm. 10).

Meski Orang-Orang Proyek berlatar Orde Baru, Menaja Jalan pun, dengan latar pasca-Reformasi, masih mengungkapkan hal serupa.

Pada 2004, Megawati menghendaki konstruksi Tol Cipularang agar dipercepat setahun lebih awal dari jadwal. Agar siap dilewati para tamu perayaan 50 tahun KAA Non-Blok di Bandung pada 2005. Akibatnya, jalan tol ini beberapa kali mengalami amblesan (hlm. 162–163).

Kasus mirip terjadi untuk tol Semarang-Solo. Secara politis, jalan tol ini adalah buah dari ambisi Gubernur Mardiyanto. “Apalagi, menurutnya, Jawa Timur telah melangkah lebih maju … dengan pembangunan Pelabuhan Tanjung Perak …. Bertekad tidak membiarkan hal itu terulang untuk kasus jalan tol, Mardiyanto tidak akan mebiarkan aral menghadang” (hlm. 332).

Padahal, serangkaian kajian teknis menilai pembangunan tol jalur ini tidak ekonomis, kurang layak bisnis. Rekomendasi menganjurkan untuk menyasar jalur pantura yang lebih padat lalu lintasnya.

Secara teknis, Amdal tol Semarang-Solo ini tidak disertai uji geohidrologi yang memadai. Konstruksinya dikebut, sehingga, bahkan sebelum tol ini dibuka (pada 2011), terjadi amblesan dan retak-retak.

Di akhir cerita Orang-Orang Proyek, setahun setelah meninggalkan proyek jembatan, Kabul melewatinya. Di persimpangan sebelum jembatan, ia mendapati tulisan “jembatan rusak”. Dulu sempat tampak gagah, kini jembatan itu mangkrak dan kesepian (hlm. 217).

Davidson tidak antiinfrastruktur. Namun menurutnya, jika megaproyek Jalan Tol Trans Jawa tidak membawa pertumbuhan ekonomi sebagaimana digadang-gadang oleh negara beserta penyokongnya, berhektare-hektare lahan pertanian yang dihancurkannya bakal sia-sia belaka.

“Penduduk setempat menganggap proyek itu dambaan lama yang mulai terwujud. Atau … tontonan saja” tentang bagaimana proyek jembatan Sungai Cibawor membawa keramaian awalnya (hlm. 16).