Menjadi Diri Sendiri*

Oleh Roem Topatimasang

Masalah terbesar yang dihadapi remaja kita saat ini adalah bagaimana bertahan dari tekanan sosial yang memaksa mereka ‘menjadi orang lain’.

Sebagai remaja, apa yang kamu kerjakan kalau sedang nganggur selama beberapa hari, misalnya, ketika benar-benar tak ada kesibukan kegiatan atau tugas sekolah?

Saya sendiri—yang bukan remaja lagi—pernah dan masih sering mengalami masa seperti itu. Salah satunya, sekali waktu, saya terpaksa mampir-inap (overnight stop) di Kota Manado dalam rangka perjalanan pulang ke Yogyakarta setelah tiga minggu melakukan perjalanan di pedalaman Pulau Halmahera di Maluku Utara. Semua pesawat dari Manado ke arah Makassar dan Jakarta sudah penuh selama tiga hari ke depan. Apa boleh buat, saya pun mencari penginapan murah untuk menghabiskan waktu tiga hari menunggu itu.

Karena saya sudah beberapa kali mengunjungi Manado dan sekitarnya, jadi saya pun lebih memilih menghabiskan waktu di kamar penginapan untuk menulis, mengedit foto-foto dan gambar-gambar di laptop tua saya, membaca buku-buku dan koran, serta menonton siaran berita-berita televisi. Tapi, lama-lama, jenuh juga. Jadi, saya pun mulai iseng menghitung jumlah dan jenis iklan yang disiarkan sepanjang hari—mulai dari pagi sampai tengah malam—pada beberapa stasiun televisi nasional.

Hasilnya?

Ini dia: lebih dari 80% dari iklan-iklan itu adalah tentang barang-barang konsumsi segala rupa. Hebatnya, dari semua iklan barang konsumsi itu, lebih dari 60%-nya adalah barang-barang yang berkaitan dengan ‘daya-tarik penampilan’, terutama barang-barang kecantikan untuk perempuan, mulai dari sepatu, baju, kutang, celana dalam, kapas pembalut, sampai bedak, pupur, gincu, minyak wangi, odol, sabun mandi, dan terutama sekali pencuci rambut segala merek. Saya sampai sempat termangu-mangu sejenak dan bercanda dalam hati sendiri: “Hmm … ini rupanya masalah nasional kita: ketombe!”

Lebih menarik lagi, juga lebih dari 80% dari semua iklan ‘gaya-hidup’ itu dibintangi oleh perempuan-perempuan cantik atau lelaki-lelaki tampan, sebagian besarnya masih berusia muda atau bahkan remaja seusiamu, yang hampir semuanya berwajah ‘indo’: tinggi, langsing, bangir, rambut lurus (banyak yang dicat merah atau pirang), berkulit terang (putih, keputih-putihan, atau kuning), dan berbahasa ‘Inggronesia’ (pakai istilah-istilah bahasa Inggris yang tidak perlu, karena sebenarnya ada kata baku bahasa Indonesianya!)

***

Hasil ‘survei iseng’ itu sebenarnya sudah saya perkirakan sebelumnya, jadi tidak terlalu mengejutkan. Apa yang membuat saya terkesima adalah bahwa ‘mentalitas bangsa bekas anak jajahan’ ternyata masih sedemikian dalam dan kuat tertanam dalam alam bawah sadar bangsa kita, meski sudah lebih dari 60 tahun merdeka secara politik.

Saya merasa sama seperti Sokari Ekine, aktivis dan penulis perempuan asal Nigeria, yang mengaku kecele karena mengira persoalan ‘mentalitas peniru Barat’ itu sudah lama selesai. Dalam tapakmaya (web-blog) pribadinya, 22 Juli 2009, dia menulis: “Saya pikir praktik pemutihan kulit itu sudah berakhir di tahun 1980-an, tetapi ternyata belum ….” Dia mengutip hasil penelitian oleh Amina Mire tentang latar belakang sejarah dan perkembangan industri pemutih kulit. Penelitian itu membeberkan sederet data yang membuktikan bahwa industri pemutih kulit saat ini justru sedang ‘bangkit kembali’ dengan kekuatan yang lebih besar, tetapi tetap tidak berubah dari pandangan dasarnya tentang perbedaan warna kulit (rasisme).

Amina berkesimpulan bahwa iklan-iklan industri pemutih kulit modern saat ini sebenarnya tidak beranjak jauh dari iklan-iklan zat pemutih kulit lebih dari seratus tahun sebelumnya di bagian selatan Amerika Serikat, tempat dan masa dimana pembeda-bedaan (diskriminasi) atas dasar perbedaan warna kulit masih sangat keras diberlakukan. Dia mengutip satu contoh iklan-baris zat pemutih kulit disana pada tahun 1889 yang berbunyi begini: ‘Seorang kulit putih tetap mungkin berubah kulitnya menjadi coklat terbakar atau seperti peranakan orang hitam, karena itu, kalau terlalu sering berada di luar rumah sebaiknya secara teratur menggunakan Satin Skin Vanishing Greaseless Cream untuk menjaga agar kulit tetap normal putih’!

Nah, apa bedanya dengan iklan zat-zat pemutih kulit dan berbagai barang kecantikan lainnya di televisi nasional kita saat ini? Saya agak kurang sependapat dengan Amina dalam satu hal ini. Contoh iklan abad ke-19 yang dikutipnya itu hanya sederet kata-kata, karena keterbatasan media visual waktu itu belum memungkinkan manipulasi gambar-gambar sedemikian canggih seperti sekarang. Kecanggihan manipulasi visual iklan-iklan saat ini, menurut saya, justru lebih ‘serem’, meskipun memang bahasa dan cara pengungkapannya disajikan secara lebih ‘tidak langsung’ dan ‘tidak terasa’ (subtle).

Ambil contoh gambar iklan ini yang juga disorot oleh Sokari, yakni iklan zat pemutih kulit cap Bi-White produksi Vichy, anak perusahaan raksasa terbesar dunia industri kosmetika, L’Oreal. Perempuan Asia yang menjadi model iklan ini dianggap jelek kulit aslinya yang berwarna lebih gelap, sehingga setelah memakai Bi-White akan berubah menjadi ‘lebih putih’ dan, karena itu, ‘lebih cantik’!

Saya berbagi rasa sama dengan Sokari bahwa ini jelas-jelas penghinaan dengan gambaran langsung yang mencolok mata, bahwa ‘kulit berwarna gelap itu lebih kotor, jorok, jelek rupa’, dan bahwa ‘kulit putih itu lah yang lebih bersih, indah, cantik’! Sama berangnya saya dengan dia terhadap pernyataan para pakar perusahaan raksasa dunia kosmetika lainnya, Lancome, yang menyatakan telah menguji-cobakan zat pemutih kulit produknya kepada 19 orang perempuan Asia yang terbukti “… berhasil meghilangkan 70% kelebihan melanin pada kulit wajah mereka, bahkan bintik-bintik hitam yang paling bandel sekalipun dapat dibuat menjadi kurang tampak lagi.”

Memangnya perempuan Asia itu binatang percobaan apa? Atau, jangan-jangan memang iya, ya?!

Sebentar lagi kita akan memperingati genap 64 tahun merdeka dari penjajahan bangsa asing. Tetapi, kita sebenarnya belum sepenuhnya mampu memerdekakan diri sendiri dari ‘mentalitas anak jajahan’.

Kalau kamu rajin mempelajari sejarah, di masa-masa awal pergerakan nasional dulu (tahun 1920-an) dan masa-masa awal kemerdekaan (1950-an), para ‘Bapak Pendiri Bangsa’ ini sering menyesalkan mentalitas ‘inlander’ (sebutan ejekan dalam Bahasa Belanda untuk pribumi Indonesia) itu. Di tahun 1960 dan 1970-an, perkara ini pun masih sangat ramai dipersoalkan, antara lain, dipicu oleh dua buku terkenal saat itu dari Frantz Fanon, seorang pakar kedokteran jiwa sekaligus penulis teori politik asal Martinique, pulau jajahan Prancis di tepian barat Samudera Atlantik. Dua buku Fanon itu memang berjudul ‘blak-blakan’: Peau noir, masques blancs (‘Kulit Hitam, Topeng Putih’—terbit pertama kali tahun 1952); dan Les Damnés de la terre (‘Gembelnya Planet Bumi—terbit pertama kali tahun 1961—buku yang kedua ini kalau tidak salah pernah diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia). Kalau nanti kamu menjadi mahasiswa dan kebetulan minat belajar politik internasional, dua buku ini adalah bacaan wajib karena dianggap salah satu peletak dasar ‘kajian-kajian pasca-jajah’ (post-colonial studies).

Intisari isi kedua buku sohor itu adalah bahwa bangsa-bangsa bekas jajahan (seperti Indonesia yang pernah dijajah oleh bangsa-bangsa Barat: Belanda, Inggris, Portugis, dan Spanyol), sangat sulit melepaskan diri dari ‘bayang-bayang’ mantan penjajahnya. Rakyat negara-negara bekas jajahan selalu merasa ‘rendah diri berlebihan’ terhadap bangsa bekas penjajahnya (tuan-tuan dan puan-puan Belanda dulu menyebutnya sebagai ‘minderwarhardeig complex’—asal kata ‘minder’ yang sudah jadi kosa kata Indonesia pula). Kata Fanon, rakyat negara-negara bekas jajahan, ‘secara diam-diam’, sebenarnya sangat memuja dan mengagumi semua yang ‘berbau bekas penjajahnya’ dan, karena itu, suka sekali ‘meniru-niru’ hampir semua yang dimiliki, dilakukan, dan ditampilkan oleh orang-orang dari negara-negara mantan penjajahnya itu.

Kalau kamu lumayan sulit memahami uraian di atas, mungkin akan lebih mudah dengan memberi contoh. Mumpung belum lama berselang dia wafat, si ‘Raja Pop’ Michael Jackson itulah salah satu contoh yang gamblang. Ulahnya mengoperasi plastik seluruh wajah dan kulitnya menjadi putih, hidung mancung, rambut lurus, tiada lain adalah karena dia ingin menjadi ‘bule’, melupakan masa lalu dan asal-muasalnya sebagai anak berkulit-hitam. Ini adalah satu bentuk ‘kelainan jiwa’ parah yang, oleh para pakar kejiwaan, disebut sebagai ‘kebencian pada jati- diri sendiri’ (self-hateness).

Dan, lebih parah lagi, siaran-siaran televisi nasional kita malah dengan bangga menyiarkan berita ada anak bangsa ini yang meniru-niru sedemikian mirip segala polah dan cara berpakaian si Raja Pop ‘Sang Peniru Rendah Diri’ itu. Sama bangganya mereka ketika mengelu- elukan seorang lelaki tua yang meniru-niru gaya berpakaian dedengkot musik reggae asal Jamaika, Bob Marley, tetapi (nyuwun sewu!) sebenarnya tak terlalu jelas apa maknanya bagi penemuan jati-diri bangsa ini. Bob Marley jelas bersuara lantang: “… Stand up for your rights” (“Pertahankan hak-hakmu”)!; sementara orang tua itu hanya bercericau: “Ta’ gendong kemana-mana …”! Suaranya semper lagi!

Barangkali, bangsa ini memang adalah ‘bangsa peniru terburuk’ yang pernah ada di muka bumi, karena lebih banyak menjadi ‘peniru barang tiruan’. Tidak seperti bangsa Jepang yang juga suka meniru, tapi ‘meniru yang asli’ lalu ‘mengembangkannya sendiri menjadi sesuatu yang lain, berbeda, baru sama sekali’, bahkan menjadi sesuatu yang lebih berguna dan lebih sesuai dengan keperluan setempat. Jadi, bukan ‘asal meniru’ atau ‘meniru kulit luarnya’ saja.

Sesekali menjadi peniru sebenarnya tak terlalu salah. Masalahnya, banyak orang muda dan remaja seusiamu di negeri ini yang suka sekali meniru-niru tanpa pengetahuan yang cukup dan pemahaman yang memadai tentang apa yang mereka tiru. Sampai sekarang pun, masih banyak yang meniru-niru gaya berbusana punk dengan segala macam perhiasan (assesories)-nya yang serba meriah itu. Tapi, berapa banyak para peniru itu yang tahu betul dan serius mempelajari asal muasal, latar belakang sejarah, dan apa saja sebenarnya yang dilakukan oleh para punkers ‘asli’ di Barat sana? Saya masih sangat ragu, apakah para punkers ‘tiruan’ di negeri ini tahu persis bahwa para punkers di negeri asalnya adalah para aktivis gerakan sosial melawan kemapanan dan kemunafikan (cultural hypocrisy) budaya masyarakat mereka sendiri?

Pada pertengahan tahun 1980-an, saya masih sempat mengunjungi salah satu ‘markas besar’ para punkers Eropa itu di Frankreid, di pusat bandar raya Amsterdam, Belanda. Saya sempat berbincang serius beberapa kali dengan para pentolannya, sehingga pelan-pelan saya mulai faham apa sebenarnya yang menggerakkan mereka di balik semua tampakan fisik mereka yang serba seronok itu. Mereka tahu persis apa sebenarnya yang dilakukan oleh pemerintah dan perusahaan-perusahaan raksasa Eropa di berbagai negara lain di banyak bagian dunia, terutama di negara-negara sedang berkembang di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, dan apa akibatnya terhadap rakyat pribumi di negara-negara tersebut.

Tidak hanya sekedar tahu, mereka juga bertindak. Beberapa kali mereka mendatangi gedung parlemen menyampaikan protes, atau muncul di media massa menyiarkan pernyataan- pernyataan politik dan kesetiakawanan kepada nasib buruk yang menimpa rakyat negara-negara berkembang akibat ulah pemerintah dan perusahaan-perusahaan dari negara-negara maju, negara-negara asal mereka sendiri. Saya masih sempat menyaksikan langsung beberapa tindakan massal para punkers itu: menduduki gedung-gedung pemerintah kotapraja, bahkan membakar pompa-pompa bensin milik Shell—perusahaan raksasa minyak Belanda yang mereka anggap biang kerok kerusakan besar-besaran eksosistem dan kesengsaraan rakyat di Nigeria, Afrika.

Nah, sepanjang masa gerakan sosial menentang kezaliman rezim Orde Baru-nya Soeharto dulu, berapa banyak para punkers ‘tiruan’ di negeri ini yang terlibat? Kecuali sebagian kecil saja kelompok musik cadas yang memang berkeprihatinan (concerned) pada masalah-masalah sosial dan lingkungan hidup lewat lagu-lagu mereka—seperti The Rollies dari Bandung (kelompoknya si suara parau almarhum Bangun Sugito) dan God Blessnya Ahmad Albar dan kawan-kawan, atau yang lebih mutakhir seperti Slank—sebagian besar mereka malah lebih suka berjingkrak-jingkrak di panggung hiburan dan layar kaca televisi menyanyikan lagu-lagu cinta cengeng yang—menurut budayawan Remy Silado, pemimpin redaksi majalah musik Aktuil—lirik-liriknya ‘bebal’ merengek minta dikasihani.

Harus diakui, punk and rock—atau berbagai bentuk ‘budaya khalayak’ (pop culture) lainnya—sebagai gerakan kebudayaan, gerakan sosial, aksi kemanusiaan, atau bahkan gerakan politik, selalu dimulai oleh para punkers dan rockers di Barat (dari Bob Dylan, Pete Seegers atau The Beatles sampai Bob Geldof atau Peter Gabriel), beberapa di Amerika Latin (dari Victor Jara atau Mercedes Sosa sampai Carlos Parela), dan juga beberapa di Afrika (dari Fela Kuti atau Miriam Makeba sampai Cheika Remitti atau Cheb Khaled). Para punkers dan rockers kita (maaf!) hanyalah para peniru mereka, bahkan lebih banyak bernyanyi untuk diri sendiri (narcissism), tanpa pernah terlibat langsung dalam gerakan sosial atau kemanusiaan yang sesungguhnya.

Sama halnya dengan kamu yang sekarang mengenakan jilbab. Apa kamu pernah mencoba cari tahu darimana asal muasal dan bagaimana sejarahnya sampai selembar kain penutup kepala itu jadi mewabah seperti sekarang? Atau, sebenarnya kamu cuma mengikuti arus mode yang sedang trendy: karena semakin banyak para pesohor (celebrities) cantik yang muncul di media massa, terutama televisi, yang mengenakan jilbab?

***

Media massa, terutama televisi, sekali lagi, adalah godaan terbesar bagi kamu sebagai remaja saat ini. Mungkin hampir semua yang kamu pakai dan juga kamu impikan sehari-hari saat ini adalah sebenarnya hasil ‘didikan’ televisi.

Kalianlah, para remaja—selain ibu-ibu rumah tangga dan anak-anak—yang menjadi sasaran paling empuk dari semua siaran iklan dan acara hiburan picisan di televisi. Stasiun-stasiun televisi itu, dan perusahaan-perusahaan jasa periklanan yang memanfaatkannya, selalu melakukan survei dan penelitian yang menyimpulkan bahwa kalianlah salah satu kelompok masyarakat yang ‘paling mudah dikibuli dan diiming-iming’ dengan berbagai ‘impian gaya-hidup’ untuk menjadi ‘merasa seperti para bintang pujaan’-mu yang cantik, tampan, kaya, dan tersohor! Karena kamu memang tidak akan pernah bisa menjadi seperti mereka dalam artian yang sesungguhnya, maka cukup kalian tiru saja cara berbusana, gaya, penampilan, cara ngomong, dan bahasa mereka! Maka, jadilah ‘seolah-olah seperti mereka’!

Sementara televisi mengajari menjadi peniru para bintang pesohor pujaaanmu, sementara itu pula orang tua dan keluarga di rumah serta para guru di sekolah mengajarimu untuk ‘menjadi orang’ seperti mereka yang selama ini sudah mencapai hidup mapan. Barangkali kalian masih ingat ketika kanak-kanak dulu, bagaimana kalian diajarkan untuk menjawab pertanyaan klise: “Kalau besar nanti, mau jadi apa?” Para orang tua, semua saudara dan keluarga, para kerabat, juga guru-guru, akan senang sekali mendengar kalian menjawab klise pula: “Jadi dokter!” (atau insinyur, konsultan, pegawai bank, pengusaha, pilot, jenderal, kepala kantor, wartawan, dosen, peneliti, penulis, kyai, ulama, pendeta, pastor, dan seterusnya). Pokoknya, menjadi pekerja-pekerja ‘kerah putih’ (white collar)—maksudnya, kerja-kerja yang tidak perlu mengeluarkan keringat dan berdaki yang mengotori leher (kerah) bajumu, sehingga kerah itu tetap putih bersih. Hampir pasti kalian akan mendapat tatapan mata tajam, raut wajah cemberut, gelengan kepala, bahkan ‘teguran perbaikan’ (koreksi) seketika itu juga jika kalian menjawab: “Jadi petani”! (atau nelayan, montir bengkel, buruh, dan semacamnya). Pokoknya, jenis-jenis ‘pekerjaan berkeringat dan bertangan kotor’, kerja-kerja ‘kerah biru’ atau ‘kerah hitam’ (blue and black collar).

Ya, puluhan tahun kita dicekoki dengan pikiran itu, bahwa menjadi petani, nelayan, atau buruh, adalah sesuatu yang perlu dihindari atau disesali. Hampir semua orang dewasa di sekitar kita selama ini mengajarkan itu. Seorang dosen, bahakn Dekan Fakultas Sastra di Universitas Hasanuddin (UNHAS) di Makassar pernah menulis di koran lokal disana dengan kalimat pembukaan seperti ini: “Alangkah menyesalnya orangtua jika anaknya nanti hanya menjadi seorang petani”!

Bagian akhir kalimat “… hanya menjadi seorang petani” itu sengaja saya cetak tebal di sini untuk memperlihatkan betapa pandangan merendahkan petani memang masih tetap berurat-berakar kuat dalam alam pikiran kebanyakan kita, termasuk dan terutama di kalangan orang-orang yang sudah mengecap pendidikan tinggi dan hidup di kota-kota besar. Orang tua, saudara-saudara, kerabat, guru-guru, dan teman-temanmu juga mungkin semuanya berpikiran demikian.

***

Pandangan ini bukan semata-mata karena faktanya sampai sekarang pekerjaan bertani di negeri ini memang masih merupakan salah satu mata-pencaharian paling susah, paling menguras tenaga, tetapi paling kecil penghasilannya, dan paling ‘tidak bergaya’. Pandangan ini juga sebenarnya adalah warisan pemikiran zaman penjajahan.

Pada akhir abad ke-19, pemerintah penjajahan Belanda mulai melaksanakan apa yang mereka sebut sebagai ‘politik balas-budi’ (etische poliitiek), antara lain, dengan membangun sekolah-sekolah desa agar anak-anak penduduk pribumi mulai memperoleh pendidikan formal. Tamatan sekolah-sekolah pribumi itulah yang kemudian diangkat menjadi pegawai rendahan pemerintah, seperti menjadi juru-tulis (klerk). Mereka tidak lagi berlumpur-lumpur di sawah seperti orang tuanya, tetapi duduk di meja kantor desa, dengan pakaian dinas bersih dan rapi, berdekatan dengan ‘Tuan Bule’-nya, melakukan pencatatan-pencatatan. Tiap bulan mereka terima gaji yang kadang kala lebih besar dari penghasilan orang tuanya yang masih tetap petani.

Sementara itu, anak-anak kepala kampung, tokoh masyarakat, atau bangsawan lokal, malah diberi kesempatan sekolah lebih tinggi, bahkan bisa sampai menjadi insinyur, dokter, atau sarjana hukum (mister in de rechten). Lalu, mereka menjadi ‘pegawai-pegawai tinggi’ (ambtenaar) yang berpakaian persis seperti bule-bule Belanda itu, bahkan juga sehari-hari berbicara Bahasa Belanda.

Sejak itulah semua orangtua pribumi selalu berkeinginan agar anak-anak mereka bisa bersekolah setinggi mungkin agar dapat menjadi ‘seperti Tuan-Tuan Bule Belanda’ itu: berpakaian rapih setiap hari, kerja hanya duduk menulis-nulis di meja kantor, tidak perlu lagi menguras tenaga, berkeringat dan berlumpur-lumpur di sawah, setiap bulan dapat gaji, dan kalau sudah tua dapat uang pensiun. Jika nasib baik, malah bisa dapat istri noni-noni Belanda. Ketika sudah merdeka dari penjajahan Belanda pun, menjadi petani di desa tetap kalah pamor dibanding menjadi pegawai kantoran, apalagi kalau berkantor dan tinggal di kota-kota. Sampai sekarangpun, menjadai pegawai negeri adalah idaman banyak orang tua terhadap anak-anaknya.

Maka, pantas sajalah kalau kalian sekarang diajari—baik di rumah maupun di sekolah—agar jangan sekali-kali berpikir untuk menjadi petani. Semua wejangan orang tua di rumah dan pelajaran oleh guru di sekolah menghapuskan kata ‘petani’ atau ‘nelayan’ itu dari ‘daftar cita-cita’-mu. Coba saja lihat lagi, apa ada mata-pelajaran ‘Bagaimana Menjadi Petani’ di sekolahmu? Guru-guru dan buku-buku pelajaran sekolahmu memang ada juga yang menjelaskan sedikit tentang apa itu petani dan pertanian, bagaimana keadaan pekerjaan dan kehidupan mereka di pedesaan, dan sebagainya. Tetapi, itu sekadar sebagai pengetahuan saja, dan lebih baik kalian jangan berpikir sama sekali untuk menjalani hidup dan kerja yang digambarkan sedemikian rupa ‘susah, miskin, bodoh, udik, terkebelakang’ itu. Dilengkapi oleh tontonanmu setiap hari di televisi yang terus-menerus menawarkan hidup yang ‘lebih senang, lebih kaya, lebih pintar, lebih maju’ seperti para bintang pesohor pujaanmu, maka sempurnalah kalian menjadi ‘remaja Indonesia modern’ yang membenci asal muasal sendiri sebagai anak bangsa petani dan orang kampung.

***

Baik, mari kita uji yang ringan-ringan saja. Sebagai remaja Indonesia, apa kamu tahu dari mana asal muasal nama ‘ikan mujair’? Atau, apa kamu pernah dengar nama ‘singkong mukibat’? (Sebelum melanjutkan membaca, coba dulu jawab pertanyaan sederhana itu. Apa jawabmu?)

Barangkali kamu tentu tidak terlalu asing dengan ikan mujair, salah satu jenis ikan air tawar yang paling banyak dipangan di seluruh Indonesia (bahkan, mungkin kamu salah seorang penggemar berat masakan ikan itu). Nah, ikan itu sebenarnya bukan lagi spesi murni, tapi hasil silangan antara ikan sepat asal Mozambique di Afrika (nama ilmiahnya: Tilapia mossambica) dengan ikan sepat pribumi pulau-pulau nusantara (nah … kamu tahu ikan sepat?). Penyilang pertama dan penemu spesi baru itu, pada tahun 1970-an, adalah seorang petani ulet dan tekun di Tanah Priangan, Jawa Barat. Namanya: Pak Mujair!

Lain hal dengan singkong mukibat yang mungkin kamu baru pernah mendengarnya sekalipun. Hampir pasti, sebagian besar kamu mungkin belum pernah melihatnya sama sekali. Nah, inilah singkong ukuran raksasa, umbinya bisa sampai sebesar paha manusia dewasa atau batang kelapa tua sekalipun. Satu pohon singkong ini hasilnya bisa dua-puluhan kali lipat dari singkong biasa. Spesi baru ini pun hasil silangan antara berbagai jenis singkong pribumi, pada tahun 1970-an juga, hasil kerja keras bertahun-tahun dari seorang petani tua di dataran tinggi Batu, Malang, Jawa Timur. Namanya: ya, Pak Mukibat!

Harap tahu saja, baik Pak Mujair maupun Pak Mukibat, dua-duanya hanya sekolah tidak sampai SMA. Jadi, mereka tak pernah mengenal peralatan laboratorium percobaan dan penelitian. Temuan mereka dihasilkan murni dari naluri petani tulen.

Itu hanyalah dua contoh. Masih ada banyak contoh lain dari berbagai penjuru negeri ini, termasuk berbagai jenis dan bentuk teknologi pertanian dan pengolahan pangan yang (sebenarnya!) bertaraf tinggi. Bayangkan, orang asli Kepulauan Kei di Maluku Tenggara, mampu ‘menyulap’ singkong karet (Manihot duleis) yang beracun itu menjadi tepung makanan utama mereka yang bernama embal. Sama seperti penduduk desa Giyombong di pelosok Purworejo, Jawa Tengah, yang mampu mengolah telo pait sejenis menjadi leye, pangan pokok mereka sejak dahulu kala. Tanpa perhitungan yang teliti dan pengetahuan dasar biokimia yang memadai, sudah lama semua orang Kei dan orang Giyombong mati keracunan. Nyatanya, mereka tetap hidup sehat sampai sekarang.

Orang-orang tua kita di pedesaan sejak ratusan tahun lalu sudah sangat menguasai teknologi distilasi untuk membuat, antara lain, arak dan cuka. Juga, teknologi fermentasi untuk membuat, antara lain tempe, terasi, ragi atau tapai. Kalau kamu belajar biologi dengan baik, kamu akan tahu bahwa proses fermentasi sebenarnya adalah salah satu ‘puncak kesempurnaan ilmu hayati’ (the state of the art of biology) yang memerlukan perhitungan yang teramat sangat cermat dan tepat (meticulous) dan kebersihan luar biasa. Setitik noktah saja mengotori campuran bahannya, atau takarannya tidak pas, terlalu banyak atau terlalu sedikit, maka proses fermentasi itu akan gagal—hasilnya adalah tempe tengik, terasi pahit, atau tapai asam!

Contoh lain lagi, coba kamu perhatikan dua gambar di samping kanan ini. Kamu mungkin sudah terlalu sering menyaksikan dan mengagumi keindahan hamparan sawah-bertingkat (terraced ricefields) di dataran tinggi di daerah-daerah seperti Jawa Barat, Bali, Sumatera Barat, dan Sulawesi Selatan. Tapi, mungkin kamu jarang memikirkan bagaimana nenek moyang para petani kita dulu membangunnya tanpa menimbulkan kerusakan ekosistem sekitarnya. Terbukti, setelah ratusan tahun, bukit-bukit dan gunung-gunung disana tak pernah longsor, hutan sekitar tetap asri, dan sumber airnya tetap melimpah. Apa kamu pikir itu tak memerlukan pengetahuan tentang kekuatan tanah, perhitungan geometri dan geofisika, teknik konstruksi, sekaligus kearifan lingkungan serta cita-rasa artistik yang piawai?

Kalaupun ada bencana longsor dan banjir yang terjadi disana akhir-akhir ini, lebih karena ada perusakan hutan besar-besaran bukan oleh petani asal setempat, tetapi oleh perusahaan-perusahaan perkebunan besar, industri pertambangan, kawasan pariwisata modern, atau pusat-pusat pemukiman baru yang tak mengindahkan kelestarian lingkungan hidup dan keselarasan lingkungan sosial sekitarnya.

Jadi, jangan terlalu cepat percaya pada semua celotehan orang-orang kantoran dan berpendidikan di kota-kota yang biasanya suka menyepelekan pengetahuan dan kemampuan petani yang hidup di pedesaan. Apakah pelajaran di sekolah mu juga masih cenderung berpandangan seperti itu, bahwa orang-orang udik, para petani berlumpur itu, adalah orang-orang kampungan yang bodoh dan terkebelakang? Lebih penting lagi, apakah kamu sendiri juga sependapat dengan semua omong- kosong itu?

Salah satu omong-kosong terbesar yang masih terus diajarkan kepada kalian sampai saat ini adalah bahwa ilmu pengetahuan hanya bisa diperoleh jika kamu tekun belajar di sekolah; jika kamu patuh mengikuti semua aturan sekolah; jika kamu lulus ujian sekolah dengan nilai indeks prestasi (IP) tinggi; dan seterusnya ….

Padahal, modal utama untuk memperoleh pengetahuan adalah ‘keingin-tahuan’ (eagerness, curiosity) melalui serangkaian ‘percobaan dan kesalahan’ (trial and errors) yang dilakukan berkali-kali, terus-menerus, sehingga akhirnya kita dapat menarik kesimpulan tentang apa, bagaimana, dan mengapa?

Itulah yang dilakukan oleh para penemu hebat sepanjang sejarah peradaban manusia. Teori ‘gaya-tarik’ (gravitasi) bumi yang menjadi salah satu kaidah paling dasar dalam fisika modern, ditemukan karena adanya keingintahuan yang besar pada diri seorang Isaac Newton. Dia menemukan teori itu gara-gara penasaran ingin tahu mengapa buah yang jatuh dari pohon selalu jatuh ke bawah, sehingga selalu menimpa kepalanya ketika ia lewat di bawah pohon itu. Mengapa tak jatuh ke atas saja?

Salah seorang penemu terbesar sepanjang sejarah, Thomas Alva Edison, yang menemukan lebih dari 1.000 temuan sepanjang hidupnya, juga melakoni hal yang sama. Orang ini malah sudah ‘nyentrik’ sejak usia kanak-kanak dan remajanya: suka bolos dan malas ke sekolah, sering dimarahi bapaknya karena tidak mau mengerjakan ‘PR’ sekolahnya, malah beberapa kali ibunya menemukan dia sedang ‘duduk mengerami telor ayam’ di kandang belakang rumah. Rasa ingin-tahunya yang besar mendorongnya melakukan percobaan dan kesalahan itu berkali-kali: kalau seekor induk ayam bisa meneteskan telor dan melahirkan seekor anak ayam, hanya dengan duduk mengerami telor itu, apakah saya juga bisa melakukan hal yang sama? Mengapa tidak?

Keingin-tahuan hanya akan tumbuh subur jika ada kebebasan yang cukup untuk melakukan berbagai kemungkinan yang paling niskala (tak berwujud atau tergambarkan secara kasat-mata) dan paling musykil (yang dianggap paling tidak mungkin atau mustahil) sekalipun, melakukan penjelajahan dan pencarian sampai ke luar batas-batas yang bisa dibayangkan oleh pikiran kita sendiri, jika perlu berbuat kesalahan dan melanggar aturan baku.

Nah, semua itulah yang justru tidak banyak diajarkan di sekolah-sekolah kita selama ini. Sebaliknya, terlalu banyak aturan sekolah yang mengekang rasa keingin-tahuan, membunuh parakarsa dan keberanian untuk mencoba hal-hal baru dan menjelajahi hal-hal yang tak lazim, mematikan prakarsa untuk bertindak dan mengalami sendiri sesuatu secara langsung, serta mengharamkan berbagai kemungkinan untuk berbuat kesalahan yang wajar dan lumrah.

Padahal, itulah semua yang justru dilakukan oleh Newton, Edison, juga Pak Mujair dan Pak Mukibat. Temuan-temuan hebat mereka tidak diperoleh di sekolah, dan bukan terutama karena sekolah!

***

Dengan kata lain, menemukan ilmu pengetahuan itu bisa dilakukan oleh siapa pun, kapan pun, dan di mana pun. Kamu pun bisa!

Syarat dasar dan utamanya sama seperti yang dimiliki Newton, Edison, Pak Mujair dan Pak Mukibat: kamu punya keingin-tahuan yang besar, jangan terlalu cepat percaya pada semua teori yang sudah pernah ada, ragukan apa saja yang pernah menjadi keyakinanmu selama ini, pertanyakan kembali apa yang selama ini sudah dianggap sudah seharusnya demikian (questioning and requestioning, inquiring –ini yang nyaris tak diajarkan kepadamu selama ini di rumah dan di sekolah), ambil prakarsa untuk mulai melakukan percobaan dan penjelajahan, dan jangan takut berbuat salah atau melanggar aturan baku!

Semua itu hanya dapat kamu lakukan jika kamu memiliki cukup keberanian untuk membebaskan dirimu dari berbagai ‘tekanan sosial’ (pembatasan-pembatasan yang diajarkan kepadamu selama ini) yang justru membuatmu merasa kerdil (mediocre), tak layak atau tak mampu melakukan sesuatu yang luar biasa, tak pernah percaya diri. Jika itu pilihanmu, maka tetaplah bergabung di barisan para peniru, bukan barisan para penemu dan pencipta.

Sebenarnya, itulah masalah terbesar yang dihadapi oleh para remaja seusiamu saat ini, di negeri yang warganya semakin kehilangan jati-dirinya ini, yang semakin didikte oleh mimpi-mimpi semu yang dijejalkan oleh dunia industri, hiburan murah, dan iklan televisi.

Sebenarnya itu pulalah masalah terbesar bangsa ini sekarang. Namun tak perlu bermimpi terlalu muluk untuk mengubah seluruh bangsa ini, tapi mulai saja dari dirimu sendiri. Socrates, salah seorang ‘Bapak Ilmu Pengetahuan dan Filsafat’ itu, orang yang merintis tradisi lyceum dan academia di Athena hampir 2.500 tahun yang lalu—akar dari lembaga kelilmuan dan pendidikan (termasuk sekolah) yang kita kenal sekarang—selalu menganjurkan kepada murid-muridnya untuk selalu mulai dari diri mereka sendiri dahulu sebelum ‘mengenal dunia’ ini. Socrates bilang: ‘Gnoti se auton’ (kenali atau jadilah dirimu sendiri)! Jangan ‘menjadi orang lain’, bahkan jangan menjadi sekadar ‘seperti orang lain’.

Nah, keputusan untuk menjadi diri sendiri tersebut sepenuhnya berada di tanganmu, tak ditentukan oleh orangtua, guru-guru, kerabat, teman, apalagi oleh para pesohor dan iklan televisi.

*Risalah Lepas ini ditulis pada 2013.