Penghidupan Berkelanjutan dan 20 Tahun TAP MPR IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam

oleh: Yando R. Zakaria

Perpektif penghidupan yang berkelanjutan (Scoones 1998; Chambers and Cornway 2012) telah menjadi kian penting dalam berbagai diskusi mengenai pembangunan perdesaan sejak beberapa dekade terakhir. Setelah perebutan pengaruh antarpemikiran terkait upaya penanggulangan kemiskinan antara ekonom dan ilmuwan sosial dari berbagai disiplin/pendekatan yang beragam, konsep penghidupan berkelanjutann ini seperti menjadi titik temu dari berbagai disiplin ilmu terkait.

Meski minat pada persoalan penghidupan berkelanjutan di perdesaan itu telah muncul sejak akhir tahun 1980-an, defenisinya baru dirumuskan Chambers dan Conway yang muncul dalam kertas Kerja Institute of Development Studies (IDS) berdasarkan kerangka kerja tim peneliti sebelumnya (Scoones 1998).

Disebutkan, “sebuah penghidupan terdiri atas kapabilitas, aset (termasuk sumber-sumber material dan sosial), dan kegiatan mencari nafkah. Sebuah penghidupan dapat disebut berkelanjutan apabila dapat mengatasi dan pulih dari tekanan dan guncangan, mempertahanan atau menguatkan kapabilitas dan aset, tanpa menyusutkan basis sumberdaya alam.”

Merujuk pada Chambers dan Conway (2012): “defenisi ini meletakkan penghidupan di jantung sistem-sistem yang dinamis, yang senantiasa berhadaan dengan tekanan-tekanan ekternal yang berubah—baik yang sifatnya tekanan jangka panjang maupun guncangan tiba-tiba. … (K)eberlanjutan juga harus menjawab problem antargenerasi, dengan menempatkan aspek penyeimbang antara penggunaan sekarang dan masa mendatang. … (K)eterhubungan secara secara global, yang menekankan bagaimana penghidupan dan gaya hidup di satu belahan dunia dapat memengaruhi pilihan-pilihan di belahan lain, baik masa kini maupun masa datang, melalui efek global perubahan iklim sebagai salah satu faktor lingkungan yang memengaruhi peluang penghidupan (juga perlu diperhatikan, pen.) (Scoones 2021: 93–94).

Pada tahap berikutnya berkembang pula apa yang kemudian disebut sebagai pendekatan penghidupan yang berkelanjutan (sustainable livelihood approach [SLA]) yang diusung oleh berbagai organisasi pembangunan semacam Departement for International Develoment (Inggris), lembaga-lembaga di bawah UN, seperti FAO dan UNDP, tak terkecuali lembaga swadaya masyarakat tingkat dunia seperti OXFAM dan CARE. “… (S)eluruhnya berkomitmen terhadap pendekatan pembangunan ‘dari bawah’, berpusat pada rakyat, dan bersifat terpadu.”

Namun, “gerbong pengusung ini sudah terlalu melambung dan hampir tidak ada ruang lagi untuk perdebatan kritis” (Scoones 2021: 55), dan karenanya “pendekatan ini perlu diletakkan dalam satu pemahaman yang lebih baik mengenai ekonomi-politik perubahan agraria … (dengan, pen.) mengajukan empat dimensi baru bagi politik penghidupan: politik kepentingan, politik individual, politik pengetahuan, dan politik ekologi … (dengan) berbagai cara baru ini akan mengonseptualisasi isu-isu perdesaan dan agraria yang bisa membawa implikasi mendasar bagi pemikiran dan tindakan (ke depan, pen.)” (Scoones 2021: xxiv–xxv).

Selanjutnya Scoones (2021: 127 – 129) mengemukakan, agar tersedia landasan yang kuat bagi kajian penghidupan yang berhubungan dengan ekonomi-politik perubahan agraria ke depan, terdapat 6 (enam) pertanyaan kunci yang perlu dijawab. Pertanyaan-pertanyaan dimaksud, empat yang disebut terdahulu adalah pertanyaan yang diajukan Bernstein dan mitra kerjanya (Bernstein et al. 1992: 24–25; Bernstein 2010a);  dan dua pertanyaan lainnya dikembangkan sendiri oleh Scoones berdasarkan berbagai sumber lain (www.iss.nl/ldpi), adalah sebagai berikut:

  1. Siapa memiliki apa? (atau siapa mempunyai akses terhadap apa?) Pertanyaan ini berkaitan dengan properti serta kepemilikan aset dan sumber-sumber penghidupan.
  2. Siapa melakukan apa? Ini berhubungan dengan pemilahan kerja secara sosial, perbedaan antara siapa yang mempekerjakan, siapa yang diperkerjakan, serta pemilahan berdasarkan g
  3. Siapa mendapat apa? Ini berkaitan dengan pendapatan dan aset, pola akumulasi dari waktu ke waktu, serta berkaitan dengan proses diferensiasi sosial dan ekonomi.
  4. Apa yang mereka lakukan dengan apa yang mereka dapatkan? Ini berhubungan dengan berbagai macam strategi penghidupan dan konsekwensinya sebagaimana tercermin dalam pola konsumsi, reproduksi sosial, tabungan, dan investasi.
  5. Bagaimana kelas-kelas dan kelompk sosial di masyarakat dan negara saling berinterasi? Pertanyaan ini berfokus pada relasi sosial, pranata, dan bentuk-bentuk dominasi dalam masyarakat, serta relasi antara warga negara dan negara saat bentuk-bentuk dominasi itu memangaruhi penghidupan.
  6. Bagaimana perubahan-perubahan dalam poltik dipengaruhi oleh dinamika ekologi dan sebaliknya? Ini berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaan ekologi-politik, dan bagaimana kondisi-kondisi lingkungan memengaruhi penghidupan. Kondisi-kondisi ini pada gilirannya juga dipengaruhi oleh aktivitas-aktivitas penghidupan yang ditandai pola-pola terkait akses sumberdaya dan kepemilikan.

Melalui enam ‘pertanyaan yang tepat’ di atas, cakupan pendekatan penghidupan yang berkelanjutan telah diperluas, dan itu menandai pula “pentingnya memasukkan kembali politik ke dalam analisis penghidupan,” dan itu berarti, merujuk ke Chantal Mouffe (2005), di mana demokrasi telah disederhanakan/dimoderasi melalui pendekatan-pendekatan partisipatif dan deleberatif, (harus) dikembalikan kepada hakikatnya, di mana “politik-antagonisk-konflik, adu argumen, debat, ketaksepakatan, serta perseteruan—harus selalu menjadi bagian utama transformasi demokratis”  (Scoones 2021: 171).

Buku Penghidupan Berkelanjutan dan Pembangunan Pedesaan (Scoones 2021) ditutup dengan sebuah sub-bab pendek dengan tajuk “Politik Baru tetang Pengidupan”. Sejatinya sub-bab ini adalah kesimpulan dari berbagai pandangan kritis Scoones tentang kerangka kerja penghidupan berkelanjutan itu sendiri.

Dalam bagian ini Sconnes menulis: “Pendekatan penghidupan yang diperluas sebagaimana dianjurkan dalam buku ini mengharuskan perhatian lebih terhadap lokal dan yang pertikular, sepenuhnya memahami kompleksitas manusia di tempatnya masing-masing. Akan tetapi, pendekatan ini harus dilengkapi dengan pemahaman mengenai dinamika struktural dan relasional lebih luas yang membentuk lokalitas dan penghidupan. Tantangannya adalah bergerak lintas-skala, dari mikro ke makro, dan mungkin terutama lintas-kerangka analitis: antara yang rinci dan empiris (dengan banya faktor penentu dan yang lebih konseptual dan berbasis teori (yang konkret).”

Dalam bagian berikutnya Scoones juga menulis: “Sebuah posisi normatif yang berpihak kepada kaum terpinggirkan, dimiskinkan, dan kurang beruntung, serta yang menegaskan cita-cita untuk meningkatkan kesejahteraan bagi semua, juga memungkinkan kita menempatkan secara lebih tetap posisi pendekatan penghidupan dalam proyek politik yang lebi luas. … Hak atas penghidupan berkelanjutan adalah sesuatu yang pantas diperjuangkan … Perjuangan atas hak, yang memang selayaknya dipimpin oleh rakyat dan gerakan rakyat, membutuhkan perspektif analitis yang meneguhkan, memperdalam, dan kadang mempertanyakan (apa yang telah diperbuat, pen.).”

Sekoyong-konyong saya teringat hiruk-pikuk gerakan sosial di Indonesia, khususnya yang berada di jalur ‘pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam’ yang saling bahu-membahu dalam menghasilkan kebijakan baru dalam ranah dimaksud, sebagaimana yang kemudian dituangkan ke dalam Ketetapan Majelis Perwakilan Rakyat Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Tahun ini kebijakan ini memasuki usianya yang keduapuluh tahun. Apa yang telah dicapai dalam kurun waktu 20 tahun lalu itu?

Gagasan dasar dan norma-norma kebijakan sebagaimana dituangkan ke dalam kebijakan dimaksud, berikut agenda-agenda kerja jaringan organisasi masyarakat sipil sesudahnya,  memang tidak dengan sengaja disusun berdasarkan kerangka kerja penghidupan berkelanjutan.

Meskipun demikian, hemat saya, agar dapat memahami bagaimana organisasi masyarakat sipil di Indonesia telah berperan serta dalam mewujudkan sistem penghidupan yang berkelanjutan, khususnya dalam perspektif kritis yang dikembangkan Scoones (2021) di atas, ada baiknya program kerja berbagai organisasi dan/atau jaringan kerja masyarakat sipil, khususnya yang berada di ranah ‘pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam’, berefleksi dalam perpektif pendekatan sistem penghidupan yang berkelanjutan—yang diperluas—ini.

Hal ini penting dilakukan mengingat perpektif pendekatan sistem penghidupan yang berkelanjutan—yang diperluas—sebagaimana telah dijelaskan secara singkat di atas, telah menjadi semacam kesepakatan para pihak dalam memerangi kemiskinan dan/atau menciptakan kehidupan yang lebih adil dan berkesejahteraan itu.

Dari kegiatan refleksi tersebut, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, diharapkan dapat diperoleh temuan-temuan, yang pada gilirannya dapat disusun suatu agenda kerja bersama yang baru, yang diharapkan dapat memperkuat peran organisasi masyarakat sipil di Indonesia yang lebih optimal dalam menciptakan sistem penghidupan perdesaan yang berkelanjutan di masa depan.

Toh, seperti ditulis Scoones (2021: 182), “… buku ini sudah membantu memberi kerangka intelektual untuk perjuangan seperti itu.”

Saya setuju dengan pandangan Scoones di atas. Selamat berekfleksi!