Oleh: Muhamad Deni Setiawan
Sebagai mahasiswa Prodi Sastra Indonesia, perdebatan mengenai dunia penerbitan mayor dan indie selalu menarik bagi saya. Terutama apabila pembahasannya diuraikan menggunakan sudut pandang yang luas. Maksudnya adalah ketika menganalisis sebuah fenomena/permasalahan tidak disimpulkan dengan melihatnya secara sepintas serta menggunakan contoh-contoh sebagai pendukung argumen dengan jumlah yang mumpuni. Sikap semacam ini menjadi penting sebab dengan begitu argumen yang disampaikan menjadi lebih kokoh dan terhindar dari stereotip yang kurang tepat.
Salah satu perdebatan tersebut diawali lewat esai Muarif yang berjudul “Politik Literasi, Buku Sastra, Penulis Muda” (2017). Ia menuliskan bahwa banyaknya buku terbitan penerbit indie tak sebanding dengan kualitas naskah yang diterbitkan. Hal ini berbeda dengan buku-buku penerbit mayor yang menurut Muarif lebih berkualitas sebab melalui seleksi naskah yang ketat. Kemudian, Sunlie Thomas Alexander—selaku orang yang memberikan kritik terhadap esai tersebut—mengakui bahwa apa yang ditulis oleh Muarif memang tidak sepenuhnya keliru. Namun, ia menganggap bahwa Muarif terlalu menyederhanakan persoalan dan terkesan melakukan generalisasi terhadap sikap penerbit indie dan kualitas buku-buku yang diterbitkannya.
Pertama, karena tidak semua penerbit indie mempraktikkan apa yang dituduhkan oleh Muarif, yaitu semata-mata berorientasi bisnis tanpa mempertimbangkan kualitas karya. Kedua, penerbit mayor—sebagai bagian dari industri kapitalisme—justru sering kali mempertimbangkan sebuah naskah dari laku tidaknya buku tersebut di pasaran, bukan dari kualitasnya. Ketiga, tak sedikit karya sastra yang berkualitas lahir dari penerbit indie. Menurut Sunlie, karya sastra yang berkualitas setidaknya mampu mengajak pembaca memandang dunia dari perspektif yang paling bizarre (ganjil). Ia membuktikannya dengan mencontohkan novel Cantik Itu Luka (2002) karya Eka Kurniawan. Pada awalnya novel tersebut dirilis oleh penerbit indie, yaitu Penerbit Jendela yang bekerja sama dengan Akademi Kebudayaan Yogyakarta (AKY) sebelum akhirnya diambil alih oleh Gramedia Pustaka Utama selaku penerbit mayor.
Berangkat dari perdebatan itu, saya makin menyadari pentingnya analisis berbasis contoh yang mumpuni supaya apa yang ditulis memiliki argumen yang kokoh dan komprehensif. Selain itu, ketika membahas sebuah permasalahan, memang kadang kala diperlukan pembacaan luas/lintas disiplin ilmu. Salah satu topik yang memerlukan bahasan yang luas serta komprehensif adalah mengenai agraria. Pembahasan tersebut dapat dijumpai lewat buku Penghidupan Berkelanjutan & Pembangunan Pedesaan (2020) karya Ian Scoones. Buku tersebut merupakan bagian dari seri kajian petani dan perubahan agraria terbitan INSISTPress.
Scoones menganalisis perkara penghidupan berkelanjutan yang begitu rumit dengan gagasan dari Chambers dan Conway, yaitu: sebuah penghidupan terdiri atas kapabilitas, aset (termasuk sumber-sumber sosial dan material), dan kegiatan mencari nafkah (halaman 9). Hal yang penting di sini adalah bahwa pada dasarnya penghidupan di pedesaan bukan hanya tentang pertanian, melainkan lebih dari itu, yaitu kesempatan kerja dan kegiatan di luar pertanian.
Kesempatan dan kegiatan itu, antara lain terdiri dari remitansi (kiriman uang dari perantauan), perubahan pola migrasi, dan hubungan antara desa dengan daerah perkotaan. Kemudian munculnya pola deagrarianisasi dan munculnya kelas-kelas pekerja lepas. Selain itu, dapat hadir pula kegiatan ekonomi baru di wilayah pedesaan, seperti tambang mineral dan investasi perkebunan skala besar yang menyebabkan perubahan-perubahan besar dalam peluang penghidupan (halaman 18).
Proses silang-menyilang yang rumit antara penghidupan pedesaan dengan proses politik, lingkungan, dan ekonomi ini perlu dianalisis dengan gagasan dari berbagai disiplin ilmu. Baik ilmu alam maupun sosial yang masing-masing memiliki fokus dan penekanan sendiri.
Salah satu cara yang dapat digunakan untuk memahami kerumitan tersebut adalah melalui ilustrasi dalam karya sastra. Sebab sastra sebagai mimesis (tiruan kehidupan) sering kali memberikan kisah-kisah yang dapat digunakan sebagai referensi/pegangan untuk mengetahui betapa luasnya dimensi kehidupan pedesaan itu. Saya akan mencontohkan kisah dalam novel Orang-Orang Proyek (2002) karya Ahmad Tohari.
Dalam novel tersebut, kisah yang diangkat adalah tentang permasalahan proyek pembangunan jembatan di Desa Cibawor. Problem sosial yang saya tangkap dari novel tersebut, antara lain, tentang bagaimana anak-anak di bawah umur harus bekerja sebagai kuli proyek, kehidupan seseorang yang kehilangan pekerjaan akibat pembangunan jembatan, kemiskinan pedesaan, pencurian, serta rumitnya birokrasi. Singkatnya, permasalahan yang dihadapi adalah permasalahan struktural yang menyebabkan penghidupan sebuah desa menjadi bermasalah.
Saya kira di sinilah poin penting yang membuat buku Ian Scoones menjadi menarik. Ia menuliskan pendekatan penghidupan pedesaan yang diperluas dengan mengharuskan adanya perhatian yang lebih terhadap yang partikular dan yang lokal. Tantangannya ialah bergerak lintas skala, dari mikro ke makro, mungkin juga lintas kerangka analitis.
Misalnya, apabila masyarakat—terutama para akademisi—ingin menyelesaikan permasalahan pedesaan seperti dalam novel di atas, maka terlebih dahulu diperlukan pemahaman terhadap permasalahan-permasalahan lokal yang dihadapi. Tergambar di dalam novel bahwa permasalahan yang dihadapi adalah hak-hak masyarakat yang dicederai lewat permasalahan struktural. Apabila permasalahan lokal sudah disadari, maka proses selanjutnya adalah bergerak ke skala makro (wilayah yang lebih luas).
Pentingnya kesadaran terhadap permasalahan lokal ini dapat pula dilihat realitasnya lewat sebuah film dokumenter berjudul Negeri di Bawah Kabut (2011) karya Negeri Films. Latar dari film tersebut berada di Desa Genikan, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Singkatnya, film ini menceritakan kehidupan masyarakat desa yang mayoritas bertani. Masalah yang mereka hadapi begitu beragam, seperti kemiskinan, perubahan iklim yang menyebabkan gagal panen, mahalnya biaya pendidikan, hingga harga jual hasil pertanian yang murah.
Para petani berusaha mengatasi beberapa permasalahan di atas. Ancaman gagal panen coba diatasi dengan menyemprotkan pestisida setiap hari, tetapi karena pestisida membutuhkan biaya yang cukup mahal, akhirnya mereka tidak lagi menggunakannya. Kemudian, untuk mengatasi perubahan iklim yang menyebabkan kondisi kekurangan air, petani yang bernama Surdadi dan Muryati harus bekerja ekstra untuk menyiram tanaman di malam hari sebab pada saat itu air yang tersedia lebih banyak dibandingkan ketika siang hari.
Selain itu, para lelaki di desa itu juga sempat memikirkan pengusahaan penghidupan lain untuk mendapatkan penghasilan yang lebih stabil dengan menjalankan budidaya jamur tiram. Namun, nahas mereka kekurangan modal untuk memulainya. Film tersebut juga mengisahkan perjuangan seorang bapak untuk menyekolahkan anaknya dengan mencari pinjaman ke para tetangganya. Sayangnya dia tidak berhasil memperoleh nominal yang dibutuhkan.
Berdasarkan pembahasan di atas, ada sebuah pertanyaan yang ingin saya ajukan: kira-kira langkah-langkah apa yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kehidupan di Desa Cibawor dan Desa Genikan tersebut? Ian Scoones mengemukakan bahwa dengan memandang penghidupan berkelanjutan secara dinamis, maka solusi yang bisa ditawarkan adalah politik baru penghidupan eempatnya adalah penjelasan detailnya dapat ditemukan lewat pembacaan terhadap bukunya.
***
Muhamad Deni Setiawan adalah mahasiswa angkatan 2018 Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, UNS. Pada Agustus 2021 melaksanakan kuliah magang mahasiswa di INSISTPress.