Judul: Menari di Atas Kuburan Massal: Rekonstruksi Budaya Indonesia Pascagenosida (Terjemahan dari The Dance that Makes You Vanish: Cultural Reconstruction in Post-Genocide Indonesia)
Penulis: Rachmi Diyah Larasati
Penerjemah: Zuhdi Sang dan Bosman Batubara
Penerbit: INSIST Press
Cetakan: Pertama, Mei 2022
Tebal: xx + 249 halaman
ISBN: 978-623-6179-12-3
—
Buku ini dituliskan sebagai sebuah catatan sejarah etnografi dan politik kebudayaan melalui perspektif seni (tari).
—
SEJARAWAN Fadly Rahman pernah melontarkan pernyataan menggelitik: apa yang membuat masa lalu sering kali menjadi berjarak dari kekinian dan keakanan? Juga, apa yang menjadikan masa lalu dikesankan menjadi sekadar mitos yang menjauhi realitas? Tidak lain dan tidak bukan, ini dihasilkan oleh pembacaan dan pemaknaan masa lalu.
Sudah banyak kajian mengenai kurun waktu 1965 yang meninjau aspek politik, konstelasi kekuasaan global, pertarungan ideologi, hingga kejahatan kemanusiaan. Tapi, buku ini dituliskan sebagai sebuah catatan sejarah etnografi dan politik kebudayaan melalui perspektif seni (tari). Dari aspek-aspek estetis tentangnya, ia membidik suatu fokus yang mencoba mengungkap konstelasi makna yang berkelindan, juga memetakan skema politik negara dalam melangsungkan politik wujud bentuk dan tubuh tari. Tidak hanya secara kultural, tapi juga melalui sistem sosial, ekonomi, militer, hingga politik diplomasi.
Sebelum 1965, kita tahu praktik seni budaya memperoleh ruang lapang sebagai bagian dari representasi tradisi dan identitas kultural bangsa. Namun, ketika Orde Baru berkuasa, negara berupaya lebih jauh untuk mengklaim kepemilikan atas berbagai praktik seni sebagai sebuah komoditas dalam konstruk budaya Indonesia.
Melalui perspektif sejarah dan estetika tari, politik kebudayaan, diskursus feminisme dan studi budaya transnasional, lewat pemikiran Walter Benjamin, Michael Taussig, Edward Said, Foucault, hingga Gayatri Chakravorty Spivak, penulis menjelaskan logika kekerasan kultural yang dilakukan sebagai respons negara terhadap ”ancaman stabilitas yang ditimbulkan”.
Penulis menempatkan pengalaman ekspresi tubuh, estetika simbolik, dan politik seni di masa Orde Baru dan sesudahnya sebagai arena metodologis untuk memikirkan ulang etika kultural dan logika historis yang bertabrakan dengan narasi dan produksi materialisasi sejarah. Semisal pembelajaran ”informal” yang didapat dari dan dilakukannya bersama tubuh-tubuh penari dari sebuah desa yang ”merah”. Darinya, tumbuh kesadaran bahwa tubuh tarinya dibangun sebagai bagian dari konsep nilai estetis dan dogma negara.
Dalam konteks ini, negara mendefinisikan ulang seni agar sesuai dengan kebutuhan ideologis domestik dan rasa pasar budaya global. Tubuh tari dikonfigurasi ulang secara aktif oleh negara dalam proses ”pertukaran kebudayaan” dan pariwisata negara yang membentuk politik identitas. Kategorisasi tari berada dalam pendekatan global yang baru untuk mematerialkan kebudayaan.
Bahkan, dalam bentuk tertentu, tarian keraton Jawa diistimewakan sebagai bahasa yang dilegitimasi sebagai alat pembentukan nilai baru, bahkan menjadi fondasi logika budaya dan pendukung ideologis bagi dominasi elite penguasa Indonesia.
Tarian keraton maupun tradisional menjadi simbol harmoni yang menjadi bahasa diplomatik untuk mempromosikan Indonesia ke negara-negara yang potensial untuk membangun hubungan. Entah politik, pertahanan, maupun perdagangan.
Dengannya, tubuh diartikan melalui lingkungan sosial, ekonomi, dan undang-undang, selain menjadi elemen ekspresif kehidupan kreatif sebagai pribadi, pelestari tradisi, moralitas, dan identitas nasional sekaligus. Tubuh, baik sebagai logika maupun simbolisme, menjadi ladang subur untuk pembentukan identitas dogmatik, tetapi juga menyimpan luka-luka sejarah dan sosial.
Narasi
Meskipun demikian, penulis menjadikan dirinya tidak sebagai korban tragedi 1965 yang tak berdaya. Ia mentransformasikan kenangan luka sosial itu dalam produk-produk kreatif yang mendewasakan dan menguatkan.
Sebagaimana Indonesia dan Kamboja, kedua negara sama-sama mengalami sejarah kekerasan melalui pembunuhan massal dan penghilangan warganya.
Namun, narasi yang ditampilkan kedua negara berbeda. Pemerintah Kamboja berkolaborasi dengan aliansi internasional mereproduksi narasi bahwa mereka adalah korban kekerasan komunisme, tapi mampu bertahan.
Hal ini menjadikannya penting dalam membangun narasi diplomasi maupun pertukaran kebudayaan dalam hubungan internasional. Berkebalikan dengan Indonesia di mana negara terkesan terus menutup rapat dan menjadikan isu tersebut sebagai suatu hal yang tabu dan terlarang.
Dengannya, kita memahami bahwa tari tidak semata merupakan wujud dan bentuk gerak. Tapi juga representasi sistem sosial, lembaga sosial, cermin sosial, moral sosial, eksperimen sosial, dan dokumentasi sosial, yang terbangun melalui tanda-tanda ikonik, estetika indeksikal, maupun logika simbolisnya. Tari adalah ruang pembacaan yang lebih kritikal tentang tubuh, identitas, tradisi, modernitas, dan sejarah Indonesia itu sendiri.
Nietzsche mengatakan kita perlu sikap historis (geschichtlicht) dengan mengingat masa lalu agar bisa bertahan hidup dan merancang masa depan dengan lebih baik. Namun bukan lagi pada tataran praksis mengurai konflik dengan mencari dasar atau rangkaian sebab-akibatnya, tapi pada bagaimana menafsirkan, membayangkan, menciptakan, dan memperlakukannya sebagai episteme (pengetahuan) struktur narasi dan logika kontekstual.
Di satu sisi, barangkali karena berbicara tentang suatu hal yang kompleks, kadang terasa ada bagian yang terasa berat secara pemikiran karena mengawang dan masih konseptual, belum menyentuh suatu hal yang mendasar, riil, dan kontekstual di kondisi sekarang. Pada saat yang sama, hal ini juga bisa menjadi catatan bagi kerja penerjemahan dan editorial yang dilakukan terhadap naskah buku ini.
Bagaimanapun, buku ini menjadi sebuah medan pertarungan melawan amnesia terhadap peristiwa tragedi kemanusiaan yang tak mudah dilupakan, namun terus saja membekas bagi para korbannya. Ia patut didukung sebagai sebuah usaha menyajikan makna penting seni (tari) yang dapat menjadi wahana menuju rekonsiliasi. Sekaligus menciptakan kedamaian dari sejarah konflik sosial politik yang berpotensi menghancurkan kehidupan bersama bangsa –sesuatu yang rupanya masih menjadi problem bersama hingga kini. (*)
* PURNAWAN ANDRA, Pamong budaya ahli pertama pada Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Ditjen Kebudayaan Kemendikbudristek.
Sumber: Jawapos.com, 31 Juli 2022