Menari di Atas Kuburan Massal: Upaya Berbicara Balik dari Titik Nol (Amnesia) Sejarah
Ulasan buku Menari di Atas Kuburan Massal: Rekonstruksi Budaya Indonesia Pascagenosida karya Rachmi Diyah Larasati (INSISTPress, 2022)
Oleh: Cyntara, alumnus Kajian Budaya dan Media Sekolah Pascasarjana UGM; penari dan penulis lepas, tinggal di Bantul, Yogyakarta
“Saya bukan going to native, because I am the native.”
Malam itu, Rachmi Diyah Larasati berbicara tentang tubuh-tubuh penari yang dihilangkan saat genosida ‘65 di tanah airnya sendiri, belasan ribu kilometer jauhnya dari Amerika Serikat, “rumah” bagi karier intelektualnya.
Ia tengah duduk di sudut rumahnya, menghadap layar, mendiskusikan buku Menari di Atas Kuburan Massal karyanya, secara daring, dengan para generasi muda yang tergabung dalam kelompok studi kritis dari beberapa universitas di Jawa Timur. Versi bahasa Indonesia dari buku The Dance That Makes You Vanish: Cultural Reconstruction in Post-Genocide Indonesia tersebut baru diluncurkan sebulan sebelumnya di Universitas Gadjah Mada. Profesor Estetika dan Transnasionalisme di Department of Gender, Women & Sexuality Studies, University of Minnesota, Amerika Serikat itu akhirnya bisa merumahkan kritiknya dalam bahasa Indonesia, sembilan tahun setelah menuliskannya dalam bahasa Inggris pada 2013.
Selain hal-hal yang terkait teknis penerjemahan, penerbitan buku ini dalam bahasa Indonesia memiliki konsekuensi tersendiri, terutama terkait isu jarak dan posisionalitas (positionality). Tak mengherankan jika terdapat lima halaman khusus didedikasikan untuk menjelaskan posisionalitas penulis—bagian yang tidak ada di terbitan versi bahasa Inggris.
Going to Native/The Native: Posisionalitas dan Diaspora
Posisionalitas bisa dimaknai sebagai kesadaran untuk mengambil cara pandang tertentu dan terus-menerus berefleksi akan hubungannya dengan ‘yang diteliti’. Dalam buku ini, Diyah Larasati memosisikan dirinya bukan sebagai antropolog/ahli sejarah/pengamat yang mendudukkan genosida ‘65 sebagai suatu peristiwa dalam pusaran politik, melainkan sebagai seorang pelaku tari yang mengingat peristiwa tersebut dengan ketubuhan-tarinya.
Oleh sebab itu, dalam bukunya, ia tidak semata-mata menarasikan kekerasan atau menjelaskan (dan/atau menuding) siapa dan apa dalam peristiwa ‘65. Menari di Atas Kuburan Massal juga tidak membicarakan narasi besar tentang genosida ‘65, melainkan narasi-narasi kecil yang ada di sekitar penulis: tentang keluarganya, neneknya, bibinya, serta tetangga-tetangganya yang harus menjalani ‘wajib lapor’ ke kantor koramil selama periode 1965–1972 atau mereka yang hilang dan tak pernah pulang—sebagai peristiwa yang mungkin selama ini terlupakan dalam catatan sejarah (historiografi) arus utama.
Sebagai subjek diaspora Indonesia di dunia akademis Barat sekaligus objek pascakolonial bagian dari masyarakat “Dunia Ketiga”, Diyah Larasati menolak terjebak pada peta diskursus dalam kerangka “pengetahuan yang menjajah”. Ia bersuara bukan sebagai korban atau ‘informan yang mengalami’ (native informant), yang semata-mata dipandang sebagai objek dan data dalam kajian akademis Barat, melainkan sebagai individu yang mampu meneorikan laku budayanya sendiri dalam membaca kekerasan negara di tingkat lokal serta kaitannya dengan strategi budaya global.
Baginya, buku ini merupakan upaya berbicara balik yang didorong keputusan untuk mendefinisikan, memberi nama, dan berbicara tentang diri sendiri, terilhami dari tulisan cendekiawan feminis Audre Lorde berjudul “The Transformation of Silence into Language and Action” (1977). Maka, secara sadar, ia mengambil posisi sebagai native yang selalu berpikir kritis dalam memahami sengkarut peta struktur kekuasaan (power structure): kuasa lokal-kuasa global, kuasa negara bangsa-kuasa ranah pemikiran akademis. Ia juga terus-menerus mengevaluasi privilesenya sebagai seorang penari, duta kebudayaan, pegawai negeri, dan profesor yang pada akhirnya melahirkan suatu ‘jarak’. Maka, ‘jarak’ dalam penelitian ini baginya adalah jarak pemosisian pikiran kritisnya dengan privilese-privilese tersebut.
Kesadaran akan jarak dan posisionalitas tersebut juga membuat Diyah Larasati menolak untuk terjerembab dalam jebakan romantisasi narasi korban, yang menurutnya “terhubung secara paternalistis eksplorasi penderitaan tanpa beban pencarian keadilan” (hlm. xxi). Sebaliknya, ia menempatkan narasi-narasi korban ‘65 sebagai sebuah pusaran keilmuan dan ilham bagi regenerasi pemikiran-pemikiran baru.
Mengingat secara Berbeda: Dekolonisasi Diskursus Budaya Pasca-‘65
Menari di Atas Kuburan Massal menelaah dan mengkritisi strategi Orde Baru dalam merekonstruksi identitas nasional pasca-genosida ‘65. Lewat narasi sejarah personal, Diyah Larasati mengajak pembaca untuk memandang tarian bukan semata-mata sajian estetika dan teks budaya sebagai penanda identitas kebangsaan. Lebih dari itu, tarian dalam konteks sejarah Indonesia berkait-kelindan dengan peristiwa ‘65 dan periode kelam setelahnya.
Tarian-tarian yang ditampilkan di panggung nasional maupun internasional saat ini berasal dari sejarah panjang kekerasan yang didasarkan atas klaim “melindungi keutuhan bangsa” dari ancaman komunisme. Para perempuan seniman yang tergabung dalam Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) dan organisasi perempuan proto feminis Gerwani dipersekusi serta dibunuh karena dituduh subversif dan didakwa turut bertanggung jawab atas penyiksaan dan kematian enam jenderal Angkatan Darat pada 30 September 1965.
Padahal, tuduhan subversif yang menjadi legitimasi pembunuhan massal para penari tersebut berasal dari ketakutan pemerintahan Soeharto terhadap gerakan perempuan progresif. Keterlibatan aktif perempuan di ranah publik, penolakan terhadap status quo serta praktik sosial mapan seperti poligami, dan pembatasan akses perempuan pada pendidikan dianggap ancaman nyata terhadap pemerintahan Soeharto yang tengah tumbuh dan patriarki yang mapan.
Selama ini, kritik para perempuan progresif tersebut disampaikan melalui lagu, tarian, dan praktik-praktik kesenian berbasis kerakyatan lainnya. Maka, dalam pemahaman ini, pembantaian massal memutus hubungan antara tarian dan tubuh-tubuh yang menarikannya, yang berarti memisahkan pengetahuan dengan tubuh-tubuh yang memproduksi pengetahuan tersebut.
Setelah menghilangkan tubuh-tubuh penari tersebut, rezim Orde Baru merekonstruksi identitas kebudayaan nasional melalui tradisi tari yang didasarkan atas imaji masa lalu dengan penekanan pada spiritualitas dan religiusitas. Konstruksi identitas budaya nasional identik dengan seni “adiluhung” keraton (terutama Jawa dan Bali) yang biasanya berbasis epik Hindu serta fokus pada figur perempuan. Tarian Jawa dipilih karena Soeharto terobsesi pada struktur kekuasaan aristokratis sebagai representasi simbolis atas kekuasaan raja yang terpusat dan absolut. Sang diktator menjadikan pemerintahannya isomorfis dengan (mitos) kekuasaan raja (Jawa) sebagai strategi untuk menjaga kontrol negara-bangsa secara total. Sementara itu, bentuk kesenian dari kelas, etnis, lokasi, dan pengalaman yang berbeda dieksklusi atau di-Liyan-kan.
Menurut Diyah Larasati, proyek penyeragaman identitas atau “indonesianisasi” ini haruslah dilihat sebagai sistem operasi dalam kerangka eksotisme. Dengan memelihara fantasi kolonial Barat atas Indonesia, rezim Orde Baru sesungguhnya tengah melakukan komodifikasi budaya agar Indonesia dapat tampil sesuai apa yang diharapkan oleh para pemangku kebijakan politik, ekonomi, dan kebudayaan internasional.
Pelahiran Identitas Baru Melalui Tubuh-Tubuh Replika
Bagaimana rekonstruksi identitas budaya nasional yang berporos pada eksotisasi dapat berlangsung? Ada dua penjelasan penting akan hal tersebut dalam buku ini, yaitu melalui pembinaan serta mimesis dan replika.
Pembinaan merupakan kebijakan kebudayaan era Orde Baru yang bertujuan untuk melakukan standarisasi terhadap praktik kesenian, baik di tingkat lokal maupun nasional. Melalui proses pembinaan, busana, riasan, maupun gerak tari diarahkan menjadi lebih seragam dan terkontrol, sementara improvisasi dan penafsiran spontan dari penari juga dibatasi atau bahkan dihilangkan.
Proses tersebut menghambat bentuk serta praktik-praktik kesenian lokal untuk dapat berperan besar dalam proses pembentukan identitas nasional (yang beragam). Bahkan, terus-menerus terkungkung dalam sistem penilaian dan kontrol pemerintah sekaligus tercerabut dari konteks pelahiran pengetahuannya. Lewat agen resmi pemerintah, tubuh tari mengalami (re)interpretasi dan (re)presentasi sebagai pola kebijakan kebudayaan yang terpusat, dengan iming-iming akses atas mobilitas kultural.
Jika ada bentuk dan praktik kesenian lokal (umumnya lekat dengan identitas “proletar” kaum pedesaan) yang diangkat sebagai identitas nasional, seperti tari Gandrung dan Jejer, hal tersebut tidak lepas dari 1) jenuhnya pasar kebudayaan dengan kesenian istana Jawa dan 2) hasrat khalayak global akan bentuk dan praktik kesenian yang mengagumkan, unik, namun berada di ambang kepunahan akibat proses globalisasi dan modernisasi—sekaligus mengabaikan ancaman sebenarnya yang lebih besar: kekerasan negara.
Tarian-tarian yang telah dinilai “kasar” dengan tubuh-tubuhnya yang “kotor”, karena dianggap sebagai bentuk dan praktik seni “komunis” tersebut, ditampilkan kembali melalui tubuh-tubuh tari baru (replika) setelah megalami serangkaian proses depolitisasi dan pemaknaan ulang sesuai dengan agenda resmi negara. Lantas dibakukan dan dikomodifikasi sebagai objek kebudayaan yang diromantisisasi. Pengejawantahan baru atas bentuk dan praktik-praktik tari oleh tubuh-tubuh replika itu secara bersamaan menghapus jejak-jejak ketubuhan para pelaku sebelumnya—mimesis. Tubuh-tubuh baru yang “bersih” dari silsilah komunis tersebut kebanyakan ialah para penari muda yang telah diseleksi dan diinstitusionalisasi melalui tahapan pendidikan panjang dan tergabung dalam kelompok tari negara.
Mengutip Walter Benjamin, replikasi tersebut berfungsi untuk mencerabut “aura” dari bentuk karya seni yang tak terpisahkan dari konsep otentisitas sebagai “esensi dari semua hal yang sedari awal dapat berubah, mulai dari durasi substansinya hingga kesaksiannya atas sejarah di mana ia dialami” (hlm. 134). Tarian-tarian dalam konteks ini dicerabut dari konteks aslinya untuk kemudian diseragamkan dan dikomodifikasi agar siap dinyatakan sebagai repertoar kebudayaan resmi milik negara—kebudayaan nasional yang (cinta) damai dan penuh keindahan.
Rekonstruksi budaya ini menjadi sarana pemerintah Indonesia untuk mendominasi warganya serta mengakses pasar global. Rekonstruksi ini menyembunyikan kekejaman negara terhadap tubuh-tubuh penuh luka. Inilah titik tolak proyek amnesia bangsa Indonesia, lewat iming-iming partisipasi ekonomi global dan akses mobilitas yang lebih luas bagi bentuk dan praktik-praktik baru kerkebudayaan.
Mengupayakan Titik Balik Amnesia Sejarah
Di sisi lain, Diyah Larasati melihat potensi mobilitas sebagai strategi untuk perlawanan kultural. Para perempuan pelaku seni pertunjukan yang mendapat akses ke negara untuk melakukan mobilisasi di tingkat lokal maupun global dapat menciptakan ruang alternatif bagi suara-suara perempuan, sekaligus perlawanan terhadap narasi kebudayaan dan politik dominan.
Namun demikian, berefleksi dari pengalamannya dalam menegosiasikan peran publik–domestik sebagai agen budaya resmi negara–perempuan/istri, Diyah Larasati mencatat jika ruang-ruang mobilitas bagi perempuan dalam sistem patriarkis negara masih sangat terbatas.
Lalu pertanyaannya, apakah keterbatasan mobilitas masih terjadi saat ini? Bukankah situasi saat ini sudah berbeda dengan puluhan tahun lalu ketika mobilitas tersebut hanya dimungkinkan melalui jalur resmi negara?
Kini, semakin banyak ruang-ruang alternatif berkreasi, baik tingkat nasional maupun internasional, yang terbuka akan narasi tandingan dan mudah diakses oleh para perempuan penari. Meskipun kondisi tersebut masih harus dicermati dan dikritisi lebih jauh, terkait siapa dan apa agenda yang ada di baliknya. Apakah ruang-ruang tersebut dapat menjadi suatu kondisi ideal untuk pelahiran agensi perempuan, berbeda halnya jika hal tersebut terjadi di ruang-ruang resmi negara?
***
Dalam buku Menari di Atas Kuburan Massal, Diyah Larasati berangkat dari ingatan masa lalu, pengalaman somatis sebagai penari, dan posisinya sebagai diaspora untuk mempertanyakan asumsi-asumsi sejarah tentang genosida 1965 serta efek setelahnya. Argumennya terkait amnesia dan ingatan bertitik tolak dari peristiwa 30 September 1965 dan sehari setelahnya (sebagai jarak imajiner transformasi bangsa antara kehancuran dan kelahiran kembali ke titik nol) yang menjadi justifikasi atas pembantaian lebih dari 500 ribu orang setelahnya tanpa pernah dibuktikan bersalah di pengadilan (untuk detail Gerakan 30 September 1965 dan pembantaian massal ikutannya, simak buku Geoffrey Robinson [2018], Musim Menjagal: Sejarah Pembunuhan Massal di Indonesia 1965–1966).
Diyah Larasati bertumpu pada narasi sejarah personal sebagai argumentasi kritiknya terhadap kekerasan negara di tingkat lokal dalam kaitannya dengan agenda global. Jika apa yang ia tuliskan dalam buku ini terkesan sangat subjektif dan acak, itu merupakan pilihan sikap untuk menolak rasionalitas epistemologi Barat yang selalu menuntut persistensi dari detail kesejarahan. Tujuannya jelas: mendekolonisasi diskursus budaya dan metode ajaran seni dalam konteks negara dan individu.
***
Sambil menyimak diskusi malam itu dari sudut rumah yang berbeda, saya menggoreskan catatan penting dalam buku, bertuliskan: not going to native, i am the native! Ungkapan yang bagi saya menunjukkan kesadaran akan posisionalitas yang tidak hanya menjadi pilihan sikap akademis tapi juga terlihat dari laku keseharian yang saya dapati saat berinteraksi erat sebagai asisten Prof. Rachmi Diyah Larasati di Indonesia.