Kedudukan Perempuan di Mata Masyarakat Patriarki

Praktik sosial berbasis gender kerap menciptakan struktur sosial dalam dominasi patriarkal. Masyarakat patriarkal menempatkan perempuan pada posisi inferior, sedangkan laki-laki sebagai pihak yang superior diberi otoritas penuh untuk mengatur berbagai hal. Melalui bukunya yang berjudul Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Mansour Fakih menyebutkan bahwa pembedaan gender merupakan sesuatu yang dikonstruksi secara sosial dan kultural, oleh ajaran keagamaan atau negara.

Pada akhirnya stereotip gender yang beredar di masyarakat justru dianggap sebagai ketentuan biologis dari Tuhan, sehingga konsepsi tersebut dipahami sebagai kodrat laki-laki dan kodrat perempuan. Pelabelan justru menghadirkan relasi kekuasaan yang timpang, di mana terdapat pihak yang mendominasi (dalam hal ini laki-laki) dan yang dipinggirkan (perempuan). Laki-laki digambarkan sebagai makhluk yang rasional dan perkasa sehingga pantas mendominasi. Sedangkan perempuan merupakan sosok yang tidak rasional dan emosional. Akibatnya, muncul anggapan bahwa kaum perempuan lebih layak bekerja di sektor domestik, sedangkan laki-laki bekerja pada sektor publik.

Sumber: Twitter @tanyakanrl

Mansour Fakih juga menjelaskan pengaruh misinterpretasi ajaran agama yang melanggengkan subordinasi perempuan. Sejatinya hal tersebut tidak berasal dari prinsip maupun ajaran agama, melainkan dari tafsir agama milik masyarakat patriarkal. Contohnya, dalam Al-Qur’an Surah An-Nisa ayat 34, terdapat firman Allah SWT. yang menyebutkan peranan laki-laki dan perempuan dalam lingkup domestik. Namun, hal ini seharusnya tidak serta-merta menjadi justifikasi bahwa Tuhan lebih meninggikan derajat laki-laki dibanding perempuan. Seperti yang tergambar pada cuitan di atas, sang suami merasa posisinya sebagai kepala keluarga tidak dihormati apabila sang istri mendahuluinya dalam menyantap makanan. Adanya pemikiran bahwa lauk yang sudah dimakan istri sebagai “bekas orang lain” merupakan pemikiran yang menempatkan perempuan pada tingkatan yang lebih rendah dibandingkan laki-laki.

Pada fase berikutnya, perbedaan gender melahirkan peran gender (gender role), yang ternyata berujung pada manifestasi ketidakadilan gender. Sebagai contohnya, dalam urusan rumah tangga, perempuan dianggap lebih layak menangani pekerjaan rumah tangga karena memiliki sifat lemah lembut, rajin, dan pandai memelihara. Akibatnya perempuan harus menerima beban dan tanggung jawab penuh untuk menjaga kebersihan serta kerapian rumah tangga dengan beban kerja yang lebih banyak dan dalam jangka waktu yang panjang (double burden), mengingat bahwasanya pekerjaan sebagai ibu rumah tangga tidak mengenal jam kerja. Di lain sisi, laki-laki tidak diwajibkan secara kultural untuk ikut bertanggung jawab dalam pekerjaan domestik. Bahkan timbulnya anggapan di masyarakat bahwa “pekerjaan perempuan” yang dalam hal ini merupakan pekerjaan domestik, tidak lebih penting dibandingkan jenis “pekerjaan laki-laki” yang menghasilkan materi. Padahal seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa gender tidak bersifat kodrati, dengan kata lain tidak bersifat mutlak. Laki-laki dapat berperan menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, sebaliknya perempuan juga dapat bertindak menggantikan posisi laki-laki sebagai kepala keluarga.

Bahkan, bila pada akhirnya perempuan dapat memilih untuk bekerja pada sektor publik, persoalan kesenjangan upah antar gender menjadi isu yang harus dihadapi. Salah satu penyebabnya adalah stigma tingkat produktivitas perempuan yang lebih rendah dibanding laki-laki. Mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Martesa Husna Laili dan Arie Damayanti (2018) terkait kesenjangan upah antargender di Indonesia pada sektor manufaktur, di tahun 1996 produktivitas perempuan berada pada tingkat yang lebih rendah dibandingkan laki-laki. Kemudian pada tahun 2006, produktivitas perempuan dan laki-laki berada pada tingkatan yang setara. Namun, sepanjang tahun 1996-2006 terjadi peningkatan jumlah diskriminasi upah terhadap perempuan sebanyak 35%. Hal ini seperti membuktikan bahwa praktik diskriminasi pemberian upah yang dihadapi kaum perempuan tidak hanya didasari oleh perbedaan tingkat produktivitas antar gender.

Alhasil stereotip gender yang berujung pada ketidakadilan gender serta marginalisasi perempuan pada sektor domestik dan juga sektor publik dimanfaatkan oleh industri kapitalis untuk menggerakan roda finansial dengan berorientasi pada profit. Label yang disematkan pada perempuan sebagai makhluk kelas dua yang kurang produktif memberikan jalan bagi industri kapitalis untuk melanggengkan diskriminasi dalam pemberian upah terhadap perempuan. Artinya diperlukan kesadaran serta pemahaman akan dampak dari diskriminasi yang dihadapi oleh kaum perempuan. Buku Analisis Gender dan Transformasi Sosial yang ditulis oleh Mansour Fakih merupakan salah satu sarana untuk memperoleh edukasi terkait gender, kesenjangan, dan posisi perempuan di mata masyarakat sosial.