Nasib Petani Tanah Air di Bawah Bayang-Bayang Kolonialisme dan Kapitalisme
Oleh: Omen Bagaskara/Wahid, Abdurrahman*
(*Warga Belajar di Komunitas Wangsakerta Cirebon)
Apa yang terjadi ketika para petani diasingkan, dijauhkan, serta terutama disingkirkan dari alat produksi utamanya, yakni tanah beserta seluruh ekosistem yang menyertainya?
Tentu kita bisa bayangkan begini: situasi demikian jelas akan mengondisikan kesulitan-kesulitan yang dihadapi dan dialami petani untuk mengelola, mengolah, serta menikmati proses hingga hasil kesejahteraan pertanian pada ladang mereka, menghancurkan pola dan sistem pengetahuan tradisional yang dimiliki, juga memaksa petani menjadi buruh di atas lahannya sendiri. Petani merasa asing dan teralienasi di tanah airnya sendiri.
Bagaimana pengasingan hingga penyingkiran terhadap para petani dari alat produksi utamanya itu dilakukan? Lalu mengapa hal demikian terjadi pada saat isu swasembada pangan didengungkan oleh aparat negara terus diamplifikasikan secara lebih nyaring dari waktu ke waktu?
Dalam rangka menelusuri jawaban dari pertanyaan tersebut, kita perlu memulai dengan beranjak melihat, secara lebih aktual, peta masalah terkait konflik agraria di Indonesia. Per 2022 saja, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mendokumentasikan dalam laporannya, bahwa jumlah peristiwa konflik yang terjadi sebanyak 212 kasus, dengan luas lahan yang berada pada pusaran konflik agraria yang mencapai 1,04 juta hektare (ha) dengan melibatkan 346.402 kepala keluarga (KK) yang mengalami dampak di 459 daerah di seluruh Indonesia. Dari keseluruhan angka tersebut, konflik agraria yang dimaksud terjadi dalam pelbagai sektor, mulai dari pertanian, pesisir, pertambangan, fasilitas militer, hingga yang terbanyak angkanya menurut rilis laporan tersebut adalah sektor perkebunan.
Secara lebih periodik, konflik agraria yang terdokumentasikan pasca-Reformasi telah menunjukkan sebuah gambaran peta konflik yang melibatkan pertentangan klaim atas hak, akses, serta penguasaan terhadap tanah dan sumberdaya lahan produktif antara negara yang bekerjasama dengan perusahaan multinasional melawan masyarakat petani yang tersebar merata di provinsi, kota, kabupaten hingga desa-desa dan kampung-kampung di seluruh penjuru Indonesia. Pertentangan tersebut telah pula melibatkan berbagai aspek struktural dan kebijakan yang diorkestrasi oleh negara bersama para aktor-aktornya, baik secara internal lewat pejabat berwenang dan secara eksternal dari para perusahaan raksasa di bidang perkebunan, kehutanan, hingga pertanian yang melakukan ekspansi serta ekstraksi sumberdaya alam.
Persisnya, dalam sebuah situasi yang mana negara beserta alat kekuasannya berikut perusahan-perusahan multinasional itu terus melakukan penguasaan melalui akuisisi lahan, ekspansi, serta ekstraksi terhadap sumber-sumber produktif agraria secara timpang, maka kondisi itu telah memultiplikasikan kerentanan dan kesulitan yang dihadapi oleh rakyat petani. Akibatnya, dalam situasi terus berlangsung konflik agraria, rakyat petani telah mengalami dominasi, opresi, dan diskriminasi dalam hak penentuan nasib sendiri atas pengelolaan sumber-sumberdaya di lahan produktif mereka. Apakah sejatinya situasi demikian yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa Indonesia Raya, yaitu cita-cita agar rakyat petani tidak sejahtera di atas lahan mereka sendiri? Tentu saja, toh kita akan meyakini (dan memang secara de jure) bahwa tidak demikian cita-citanya.
Akan tetapi, di tengah derap langkah era kehidupan politik-ekonomi Indonesia pasca-Reformasi, rakyat petani masih senantiasa diperhadapkan dengan konflik-konflik agraria di seputar kehidupan mereka. Pertanyaan ini patut diulang kembali: Apakah itu cita-cita Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa yang merdeka? Dengan iktikad agar kita dapat memahami dengan lebih baik dan tentu holistik, penelusuran terhadap situasi petani pada masa-masa Indonesia sebelum Reformasi hingga jauh ke masa penjajahan kolonial niscaya dilakukan. Buku Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria yang datang dari seorang penulis bernama Noer Fauzi Rachman menyajikan sebuah realitas panoramik perihal petani yang berhadapan dengan penguasa dalam tiga era yang berbeda. Pertama, kolonialisme Indonesia. Kedua, Orde Lama, serta ketiga, Orde Baru. Historiografi tentang situasi hingga posisi petani dalam pembabakan tiga periode kekuasaan tersebut membantu kita memahami dengan lebih ekstensif bagaimana pola, aktor, serta instrumen pelembagaan-penguasaan terhadap sumber-sumber agraria para petani terjadi dan berlangsung.
Semua Bermulai Ketika Kolonialisme
Sejarah kolonialisme lekat dengan kelahiran kapitalisme dunia. Dalam bentuknya yang paling purba, kapitalismelah, yang pada akhirnya telah melahirkan, mengkreasikan, mendorong, dan mengonsolidasikan praktik besar-besaran dan meluaskan rezim kolonialisme di dunia; ketika suatu negara atau suatu kelompok golongan tertentu yang memiliki kekuatan lebih melakukan serangkaian tindakan secara agresif dan sistematis untuk memengaruhi, menguasai, menginvasi, serta mengekstraksi apa pun, baik manusia dan sumberdaya alamnya, pada suatu negara atau kelompok golongan tertentu di penjuru dunia yang memiliki kekuatan lebih lemah. Persisnya, itulah yang kali pertama dilakukan oleh VOC sebagai korporasi dagang internasional yang dibawa oleh kolonialisme monarki Belanda tatkala datang ke Nusantara. Dengan agenda yang salah satunya adalah mengeruk sebanyak mungkin sumberdaya produktif dan kekayaan alam di tanah air sebagai komoditas utama dalam perdagangan internasional.
Sebelum kolonialisme menancapkan praktiknya di tanah air, para petani kita lebih dulu berhadapan dengan rezim feodalisme. Noer Fauzi Rachman melalui pemaparan awal di buku ini mendeskripsikan gambaran faktual perihal cengkraman feodalisme yang dihadapi para petani, seperti yang terangkum pada halaman 15‒17. Petani dalam masa-masa feodalisme kerajaan mengalami berbagai pengkondisian secara struktural. Pertama, petani dijauhkan dari sumber utama produksinya yang dalam hal ini adalah tanah-tanah yang tidak bisa sepenuhnya dimiliki secara merdeka. Petani-petani yang menggarap lahan dilarang untuk memiliki hak kepemilikan atas lahan tersebut. Artinya, petani berlaku sebagai hamba dan oligarki kerajaan adalah tuannya. Kedua, petani dijadikan buruh di ladang mereka sendiri yang tidak dapat sepenuhnya dan juga secara total menikmati hasil keringat mereka sendiri. Hasil-hasil ladang disetorkan secara paksa sebagai upeti untuk raja sebagai penguasa, sementara kesejahteraan petani jauh panggang dari api.
Di hadapan elit-elit raja di era feodalisme itulah, para petani tanah air mengalami berbagai penderitaan akibat praktik pemerasan para elit itu melalui setor upeti secara paksa nan berkepanjangan. Kedatangan kolonial Belanda yang dimulai dengan VOC melengkapi seluruh kenyataan sulit yang dialami oleh para petani. Bahkan takhanya melengkapi, tetapi juga memultiplikasikan seluruh penderitaan petani bumiputera dengan pemberlakuan serangkaian aturan kaku dan kebijakan formal terhadap tanah serta pengusahaan hasil bumi dan ladang para petani. Secara lebih periodik, Noer Fauzi Rachman mendeskripsikan praktik penindasan para petani di bawah sistem kolonialisme melalui berbagai aturan formal yang meliputi: Pertama, pemberlakukan aturan pajak tanah dan sewa tanah. Kedua, kebijakan tanam paksa. Ketiga, Hukum Agraria Kolonial (Agrarische Wet). Keempat, kebijakan Politik Etis. Lantas, mengapa praktik penciptaan dan penerapan berikut seluruh konsekuensi di dalam produk aturan dari sistem kolonialisme itu semakin memultiplikasikan penderitaan petani di atas ladang mereka sendiri di tanah air?
Guna menjawab persoalan ini, kita perlu mengerti bagaimana logika dasar kapitalisme itu bekerja yang dipaparkan oleh penulis buku ini. Sebagai suatu sistem ekonomi yang dibawa-serta oleh kolonialisme, kapitalisme memiliki watak dan karakter spesifik yang meliputi, “Suatu cara berekonomi yang menandai kepemilikan pribadi alat produksi oleh pemilik modal, terdapatnya hubungan majikan-buruh yang digaji dengan uang, serta produksi yang ditujukan untuk keuntungan dan pelipatgandaan modal” (halaman 18). Penumpukan, penambahan, serta pelipatgandaan valuasi modal merupakan mekanisme tunggal dalam sistem kerja ekonomi kapitalisme. Praktisnya, inilah yang disebut dengan hukum akumulasi modal. Semakin besar suatu modal dikeluarkan, maka keuntungan yang direguk semakin berlipat-ganda dan menghasilkan surplus. Oleh karenanya, sistem ekonomi kapitalisme bukan hanya tidak kompatibel dengan pranata masyarakat Nusantara sebagai masyarakat petani, tetapi juga menimbulkan kerusakan tatanan masyarakat menjadi kian destruktif melalui praktik penindasan.
Bagaimana dampak kerusakan tersebut muncul? Penulis buku ini berargumen bahwa ketika semakin banyak modal yang dikerjakan dalam sirkuit kapitalisme di bawah bendera kolonialisme, maka hal itu menunjukkan telah terjadinya “… akumulasi primitif, dengan suatu proses awal yang ditandai dua ciri transformasi: (i) Kekayaan alam diubah menjadi modal dalam ekonomi produksi kapitalis; (ii) Kaum petani diubah menjadi buruh upahan” (halaman 5). Para petani dikondisikan menjadi buruh dan tenaga kasar di atas ladang garapan mereka sendiri dan pada saat yang sama, pemilik modal mendapatkan keuntungan berlipat dari hasil penjualan bumi dan ladang milik mereka ke pasar global. Dalam praktik yang demikian, lalu pemilik modal sedang melayani siapa dan untuk apa? Menyitir Philip McMichael (2013), dengan motif ‘memberi makan dunia’, sistem kapitalisme sedang memperhadapkan para konsumen di dunia dengan suatu paradoks di mana rantai-rantai pangan global mengalami disparitas antara ‘pangan dari suatu tempat’ (food from somewhere) dan ‘pangan dari antah-berantah’ (food from nowhere). Secara sederhana, kondisi ini menggambarkan kondisi keterasingan konsumen dari apa yang mereka konsumsi sendiri. Mereka dibuat tidak mengerti realitas petani dari tanah jajahan yang mengalami komodifikasi. Praktik-praktik penindasan awal yang bekerja di bawah sistem kapitalisme, dengan datangnya kolonialisme, terangkum dalam berbagai dinamika praktik dan seperangkat aturan yang mengikat paksa para petani di tanah air.
Hukum Agraria Kolonial Belanda di Tanah Air
Gubernur Jendral Raffles dari Inggris yang menguasai Hindia Belanda pada kurun waktu kebangkrutan VOC (tahun 1799) mengubah kebijakan perampasan tanah dan kerja paksa yang berlaku semasa Belanda dengan sistem sewa dan pajak tanah. Sistem ini terbagi dalam dua kategori besar: Pertama, pajak tanah sawah dengan sub-rincian masing-masing luasnya serta kedua, pajak tegalan tanah dengan sub-rincian hasil panen yang dihasilkan (halaman 27). Peralihan kekuasaan atas Nusantara yang kembali ke Kerajaan Belanda juga membuat berubahnya kebijakan pertanahan dengan hadirnya kebijakan tanam paksa (cultuurstelsel) pada kurun waktu 1830‒1870 yang diberlakukan oleh Gubernur Jendral Van Den Bosch (halaman 25‒29). Dalam praktik sistem tanam paksa, para petani jelas tidak menanam sesuai kehendak petani sendiri tetapi diwajibkan untuk menanam hasil bumi yang tidak seharusnya diproduksi pada tanah di kawasan beriklim tropis. Tujuannya untuk mempercepat laju perdagangan negara kolonial Belanda ke pasar dunia. Beberapa komoditas dagang itu di antaranya yang masyhur adalah kopi dan tebu, yang mana pada praktiknya, Belanda menerapkan pembukaan lahan dalam skala besar-besaran.
Ketika sistem tanam paksa itu berlangsung, telah sedemikian luar biasa rakyat petani mengalami penindasan secara langsung, terutama penindasan dalam wujud kekerasan secara fisik. Kekerasan dalam situasi tanam paksa ini menimbulkan gejolak perlawanan, baik secara terbuka maupun tertutup, oleh petani tanah air ataupun kalangan internal Belanda sendiri. Merespons gejolak perlawanan itu, pihak kolonialisme Belanda akhirnya membuat semacam ‘manipulasi’ melalui penerapan hukum positif dalam masalah-masalah yang menyangkut agraria. Melalui Agrarische Wet pada 1870, secara lebih formal, Belanda pertama kali menerapkan kebijakan hukum agraria di tanah air (halaman 33).
Konsiderans dalam Agrarische Wet mencakup di antaranya: (i) Hak Eigendom, yakni sebuah aturan tentang hak asing (penjajah) untuk mempunyai hak milik atas tanah di negeri jajahan (tanah air), terutama di wilayah perkotaan; (ii) Hak Erfpacht yang mengatur soal kepemilikan tanah untuk perusahaan asing di tanah air; (iii) Hak Konsesi yang memberikan merupakan pembagian lahan untuk para pemodal yang ingin mengusahakan modalnya di bidang pertanian di tanah air; (iv) Hak Sewa untuk kepentingan para pemodal yang ingin mengusahakan modalnya di bidang pertanian untuk jangka waktu yang pendek.
Hukum Agraria Kolonial Belanda atau Agrarische Wet yang diprakarsai oleh pemerintahan Belanda di bawah sistem kolonialismenya itu semakin memperkuat penindasan terhadap petani tanah air, terutama secara fundamental mengubah petani menjadi buruh di atas lahan mereka sendiri dengan kewajiban setoran hasil bumi mereka di bawah paksaan dan penyiksaan. Artinya, semakin menjauhkan petani dari tanah-tanah produktif dan subur yang semestinya mendatangkan kesejahteraan untuk mereka. Pun, secara formatif, penindasan dan penjajahan rakyat petani terjadi melalui sistem pembagian kelas warga negara oleh pemerintah kolonialis Belanda. Rakyat petani merupakan warga kelas tiga yang secara hierarkis berada di bawah warga kelas pertama, yakni golongan penjajah serta golongan warga negara kedua, yakni golongan ras asing serta feodal.
Manakala penjajahan atas rakyat petani terhadap tanah dan sumberdayanya berjalan dengan mekanisme pembagian kelas-kelas berdasarkan struktur penguasaan ekonomi dan politik, maka satu-satunya perjuangan itu diarahtujukan pada perlawanan atas kelas, yaitu perlawanan atas dominasi kapitalisme dan kolonialisme yang arogan. Perihal perlawanan yang dilakukan oleh petani di era sistem kolonial Belanda, buku ini sedikit memberi daftar sketsa berbagai perlawanan gerakan petani tanah air, mulai dari perlawanan petani Banten (1888), Peristiwa Cimareme (1919), Perlawanan Samin dan Pitung, hingga Pemberontakan Sarekat Islam, dan perlawanan-perlawanan lain yang tersebar di banyak tempat yang jumlahnya ribuan (halaman 48).
Ketika kolonialisme Belanda berakhir dan segera digantikan oleh pendudukan dan penjajahan Jepang di tanah air pada 1942‒1945, situasi penindasan yang dialami petani tanah air tidak jauh berbeda. Kebijakan hukum formal agraria yang menindas petani tetap berlangsung, bahkan dengan intensitas dan ekspansi lahan garapan persawahan dan perkebunan yang semakin luas. Kalaupun ada yang berbeda antara praktik kolonial Belanda dengan kolonial Jepang adalah soal motif dan peruntukannya. Jika tujuan Belanda adalah untuk mencapai keuntungan ekonomi dalam percaturan pasar global melalui komoditas sumberdaya alam tanah air dengan efisiensi biaya dan modal yang murah demi meraup valuasi kapital sebesar-besarnya, maka sementara itu Jepang sendiri menggunakannya untuk sumber-sumber pemenuhan pangan yang penting dalam menyuplai tenaga dalam perang Perang Dunia, termasuk di dalamnya menjadikan rakyat-rakyat petani sebagai pasukan perang Jepang.
Api Revolusi Kemerdekaan: Gerbang Awal Keadilan Agraria
Kolonialisme telah menciptakan dan mengendalikan aturan, sistem, serta tatanan kehidupan ekonomi-politik yang menyengsarakan kehidupan rakyat di tanah air. Petani hidup dalam situasi panjang yang serba sulit, ketika tanah beserta isinya dieksploitasi secara paksa di bawah tekanan, ancaman, dan bahkan pertaruhan nyawa demi ambisi besar kolonial dalam memonopoli hasil sumberdaya alam. Perlawanan terhadap bentuk penjajahan itu dilakukan dan akhirnya gelita api revolusi mengantarkan rakyat ke gerbang kemerdekaan. Sebuah revolusi kemerdekaan dari penjajahan, revolusi dalam daulat tanah air dan sumberdaya alam.
Secara proklamir-deklaratif, Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945. Di dalamnya, secara politik hukum, kesatuan Indonesia sebagai negara akhirnya dapat berhasil terbentuk, dan dengan demikian, ia telah memiliki kedaulatan penuh dalam menentukan nasibnya sendiri dalam pelbagai aspek dan bidang kehidupan. Manifestasi dari kedaulatan itu adalah terpancangnya landasan fundamental berbangsa-bernegara yakni konstitusi Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Melalui landasan konstitusi itu, arah dan cita-cita kehidupan rakyat ditentukan. Demikian pula cita-cita terhadap kemakmuran dan kesejahteraan rakyat petani ditujukan yang secara eksplisit terdapat dalam rumusan Pasal 33 Ayat 1 dan 3 UUD 1945. Kemerdekaan Indonesia adalah kemerdekaan tanah air beserta seluruh warga negaranya.
Periode awal kemerdekaan Indonesia dioptimalkan dan dimaksimalkan oleh para founding fathers guna merumuskan dasar-dasar kehidupan berbangsa-bernegara dalam rangka cita-cita bersama kesejahteran, kemakmuran serta keadilan. Termasuk diantaranya keadilan agraria. Bagaimana bentuk pengejawantahan keadilan itu dalam kehidupan bermasyarakat, Noer Fauzi Rachman membabarkan perihal narasi tersebut pada halaman 53‒64 buku ini. Di antaranya yang tercatat adalah usaha-usaha pemerintahan Soekarno-Hatta dalam rangka menyusun peralihan aturan kolonial ke undang-undang baru versi Indonesia merdeka dalam bidang agraria. Pembentukan kebijakan publik dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) yang baru di era kemerdekaan itu bertujuan menghapus seluruh ketentuan yang menindas dan menyengsarakan rakyat, yang mendukung aspek-aspek pada soal pendudukan tanah-tanah eks-perkebunan terlantar, nasionalisasi perusahaan asing beserta seluruh asetnya, penghapusan tanah-tanah partikelir, hingga dibenahinya masalah persewaan tanah.
Usaha-usaha lain yang dilakukan pemerintahan di masa Orde Lama dalam mempersiapkan pembaharuan tatanan hukum dan politik agraria pascakemerdekaan secara lebih menyeluruh dilakukan melalui pembentukan satuan tim dari akademisi dan pemerintahan yang ditugaskan menyiapkan landasan kebijakan dalam bidang agraria nasional. Puncaknya adalah kelahiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA). Tujuan dan prinsip dari UUPA meliputi: Pertama, meletakkan dasar-dasar hukum agraria nasional yang merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan, keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat petani dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur; Kedua, meletakkan dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum agraria; Ketiga, meletakkan dasar untuk memberi kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya (halaman 69‒70).
Pada sisi lain, UUPA juga memiliki prinsip-prinsip dasar perihal nasionalitas, hak penguasaan dari negara, tanah yang mengandung fungsi sosial, prinsip land reform, dan prinsip perencanaan agraria (halaman 71‒77). Dalam kaitannya dengan land reform, UUPA menggarisbawahi perihal landasan terhadap pelaksanaannya yang meliputi: Pertama, hak negara untuk menguasai seluruh kekayaan alam Indonesia, dengan kewenangan mengatur peruntukan, penggunaaan untuk kemakmuran rakyat; Kedua, dikeluarkannya tanda bukti kepemilikan tanah; Ketiga, penegasan dari pembatasan luas tanah hak milik, pemilik menggarap tanahnya sendiri, dan panitia land reform (halaman 100‒102).
UUPA tahun 1960 jadi payung hukum utama yang secara hierarkis merupakan turunan dari pengejawantahan kalimat, “Tanah, bumi dan ruang angka dikuasai oleh negara yang digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” sebagaimana yang dimandatkan oleh Pasal 33 UUD 1945. Di dalam konsiderans UUPA, sangatlah terang betapa ia memiliki sukma dan tujuan dalam mengoreksi, mengubah, serta meletakkan kembali penataan dan pengelolaan yang lebih adil serta merata terhadap bagaimana hubungan warga negara dengan tanahnya. Pada masa kolonial, hubungan antara manusia Indonesia dengan tanahnya telah sedemikian dikebiri dan dihancurkan. Tanah dijadikan alat yang melayani satu‐satunya kepentingan, yaitu kapital kolonialisme untuk mengeksploitasi sumberdaya alam Indonesia. UUPA mengubah situasi ini secara fundamental. Dengan demikian, ia juga memprioritaskan bagaimana kesejahteraan petani di atas tanah ladangnya sendiri.
Setelah diundangkan, UUPA mencapai beragam keberhasilan secara ekstensif bagi politik agraria tanah air. Pertama, UUPA jadi payung utama bagi pemberlakuan dan penerapan hukum agraria secara nasional yang menghapus seluruh ketentuan dan aturan terkait agraria di era kolonial. Kedua, menghidupkan kembali martabat masyarakat hukum adat yang telah sekian lamanya dihabisi oleh penjajahan di masa kolonial. Ketiga, proyeksi terhadap capaian keadilan tata milik dan tata kelola agraria di Indonesia. Keempat, meletakkan petani sebagai subjek utama dalam bidang agraria. Kelima, menghidupkan geliat berbagai elemen, komponen, dan komunitas masyarakat dalam menjadikan isu pertanahan sebagai prioritas gerakan sosial. Kendati begitu, Noer Fauzi Rachman selaku penulis buku berpandangan bahwa, “UUPA 1960 merupakan masterpiece dari sejarah pembuatan perundang-undangan di Indonesia, mengedepankan semboyan revisi UUPA merupakan bagian dari upaya penegakan hak-hak rakyat atas sumber-sumber agraria” (halaman 275).
Ketika UUPA 1960 tengah berjalan dan mulai perlahan menunjukkan capaian-capaian keberhasilan dalam pelaksanaan tatanan baru keadilan agraria di Indonesia, tahun-tahun berikutnya terjadi gejolak politik. Gejolak politik berdampak pada pergantian rezim penguasa di Indonesia, dari Orde Lama ke Orde Baru. Pemerintahan Soekarno kemudian digantikan dengan pemerintah Orde Baru di bawah kekuasaan Jenderal Soeharto. Sebuah transisi yang tidak hanya mengubah aktor penguasa, tetapi juga penerapan realitas politik agraria. Fase di mana Indonesia kembali pada realitas kelamnya dalam soal keadilan agraria dan nasib petani tanah air kembali di ujung tanduk kesengsaraan.
Orde Baru: Penghancuran Sendi Keadilan Agraria
Rezim Orde Baru merupakan buah dari tragedi kemanusiaan pada 1965 yang di dalamnya secara besar-besaran terjadi opresi, stigmatisasi, serta pembunuhan di luar hukum oleh penguasa terhadap simpatisan kelompok Partai Komunis Indonesia (PKI). Jutaan nyawa warga sipil diprediksi tewas, banyak orang dipenjara tanpa proses pengadilan, hingga pemberangusan apa-apa yang ditandai oleh penguasa sebagai ‘gerakan kiri beserta atributnya’. Tragedi kemanusiaan 1965 menjadi gambaran awal bagaimana selanjutnya realitas politik agraria di masa Orde Baru. Hal yang terjadi selanjutnya, pemerintahan Orde Baru menganulir mandat utama UUPA 1960 dalam penyelenggaraan keadilan agraria di Indonesia dengan mengebirinya melalui pemberlakuan kebijakan dan program yang menguntungkan kelompok pemodal besar.
Dalam praktiknya itu, buku ini merangkum beberapa bagian perihal pembangunan kapitalisme di sektor agraria yang terjadi di bawah kekuasaan Orde Baru, mencakup di antaranya: Program revolusi hijau (halaman 163‒167), program eksploitasi hutan (168‒169), Hak Pengusaha Hutan/HPH (170‒177), penghancuran terhadap hak Masyarakat Adat (177‒179), hutan tanaman industri (halaman 180‒185), program agro-industri (halaman 185‒187), Perusahaan Inti Rakyat-Perkebunan (187‒191). Masing-masing kebijakan program Orde Baru itu telah membawa dampak terhadap munculnya berbagai konflik agraria di tanah air, baik yang terjadi antara negara melawan rakyat petani, perusahaan melawan rakyat petani, atau gabungan negara dan perusahaan yang melawan rakyat petani. Dalam postur konflik agraria itu, pihak masyarakat kalah di hadapan para penguasa, sehingga menimbulkan penguasaan dan pencaplokan lahan-lahan rakyat yang digunakan untuk eksploitasi dan ekstraksi sumberdaya alam.
Paling tidak, terdapat dua hal yang menjadi sumber yang menciptakan pola ketimpangan agraria di Indonesia pada masa Orde Baru. Pertama, pemerintahan Orde Baru membuka keran-keran secara ekstensif, ekspansif, dan eksploitatif terhadap masuk serta ditanamkannya modal maupun investasi asing berskala global di Indonesia dalam bidang-bidang pertanian, perkebunan, dan kehutanan. Masuknya seluruh modal asing besar berskala global itulah yang berdampak pada penguasaan yang berlebih terhadap eksploitasi tanah dan sumberdaya alam. Kedua, administrasi pertanahan sebagai proyek global akibat dari konsekuensi logis ketika pemerintahan Orde Baru berhutang untuk kepentingan investasi kepada lembaga-lembaga keuangan internasional.
Catatan: Dapatkah Keadilan Agraria Dapat Kembali Dicapai?
Buku Petani dan Penguasa: Dinamika Politik Agraria di Indonesia karya Noer Fauzi Rachman ini membahas peta politik ekonomi agraria sejak era kolonialisme Belanda hingga Pemerintah Orde Baru. Sebagai sebuah peta, ia memadukan pendekatan etnografis dan studi hukum kritis dalam menyajikan realitas petani berhadapan dengan penguasa pada tiap-tiap zamannya. Buku ini adalah magnum opus dalam memahami secara lebih detail terhadap dinamika historiografi kehidupan petani dan agraria di Indonesia. Sebagai catatan, buku ini tidak membahas perkembangan politik agraria setelah era orde baru atau zaman Reformasi dan selanjutnya. Di era Reformasi hingga hari ini, terjadi banyak sekali peralihan kekuasaan dari satu rezim ke rezim lain yang keseluruhannya itu memiliki kaitan langsung dengan defisit keadilan agraria dan nasib petani tanah air.
Sebut saja, kebijakan Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) pada dua periode pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang mana menjadi blueprint kebijakan di era yang menciptakan situasi konflik agraria yang semakin tajam tidak berkesudahan. Prioritas pembangunan infrastruktur ini berdampak pada penghancuran ruang hidup masyarakat sipil, petani, dan Masyarakat Adat di Indonesia. Setelahnya, kita mengerti, pada sisa periode kekuasaan keduanya, Jokowi memberlakukan Perpu Cipta Kerja yang secara ruh dan tujuannya adalah “easy doing business” atau mempermudah pelaksanaan bisnis yang pada akhirnya akan berpeluang membawa Indonesia kembali ke zaman Orde Baru atau lebih parah dari itu, zaman kolonialisme. Wallahu A’lam.