Pengantar Penulis
Sebagai anak kota yang lahir dan tumbuh di kota, saya akrab dengan rutinitas perjalanan pulang kampung ke rumah kakek-nenek hampir setiap tahun. Bagi saya, suasana desa memberikan suatu kesenangan tersendiri. Hal itu tidak hanya terkait dengan atmosfer yang tentu saja berbeda dari tempat saya tinggal dan bekerja, melainkan pula menghubungkan saya dengan asal-usul diri saya. Serangkaian kunjungan ke desa pun menjelma jadi suatu keasyikan yang berkesan melalui pengalaman berinteraksi dengan masyarakat desa maupun lingkungan desa tempat kakek-nenek saya tinggal, di mana sawah, sungai, kebun, dan hutan bambu masih menjadi bagian tidak terpisahkan dari desa. Meski begitu, saya—sebagai orang kota—tidak hendak meromantisasi desa. Sebab, perjalanan-perjalanan ke desa juga memberikan saya semacam refleksi atas berbagai kesenjangan relasi kuasa antara kota dan desa, beserta orang-orangnya.
Kedua orang tua saya harus pergi jauh meninggalkan desanya ketika remaja hanya untuk bisa melanjutkan sekolah dan kelak mendapatkan pekerjaan yang layak. Mereka ingin melihat bahwa masih ada harapan (terutama secara ekonomi) dengan membangun sebuah keluarga di masa depan. Tidak ada layanan kesehatan yang memadai bagi generasi orang tua saya kala itu di desa mereka. Tidak ada jalan mulus beraspal, transportasi publik, listrik, dan segala infrastruktur maupun layanan publik dasar lain yang menjadi hak masyarakat desa selayaknya warga negara lain (yang tinggal di kota). Dengan ketakadilan sistematis dan kultural yang dihadapi oleh kelompok petani semasa Orde Baru, kedua orang tua saya dihadapkan pada pilihan sulit dengan beragam tantangan dan risiko jika mereka tetap memutuskan menjadi petani seperti kedua orang tua mereka.
Meninggalkan desa seolah menjadi satu-satunya peluang untuk bisa keluar dari berbagai persoalan yang membelenggu di desa. Hal ini kini lekat dengan ironi yang kita sebut dengan kemiskinan di atas tanah yang subur, air bersih yang melimpah, dan bermacam sumberdaya yang ada di lingkungan desa. Orang tua saya memutuskan pergi ke kota karena hal itu menjadi satu-satunya pilihan yang mereka tahu dan bisa mereka ambil. Pastinya, hal itu juga yang dilakukan oleh anak-anak lain di desanya masing-masing yang ingin merawat mimpi dan berusaha punya kehidupan yang lebih baik.
Kelak, ketika saya sudah cukup besar dan mengunjungi rumah kakek-nenek di desa, saya menyadari kalau desa kedua orang tua saya tidak memiliki banyak generasi muda yang bertahan di desa. Berangsur-angsur perubahan memang terus datang. Jalan raya terasa semakin dekat dengan rumah-rumah warga. Jalanan di dalam desa telah beraspal dan permukiman kian padat. Saya menyaksikan sebagian persawahan yang berganti jadi bangunan atau toko. Ada koperasi, puskesmas, sekolah, dan pasar modern. Sungai yang membelah desa telah menyempit. Orang-orang tidak lagi mandi dan mencuci baju di sungai yang telah berwarna cokelat itu. Setelah puluhan tahun kedua orang tua saya merantau, masih banyak orang tua bertahan di desa dengan bekerja di sawah dan ladang.
Sungguh, saya masih menikmati senangnya pulang ke desa tempat orang tua saya dilahirkan. Berbagai aktivitas yang menggali pengalaman saya dalam berinteraksi dengan masyarakat desa maupun lingkungan desa kakek-nenek saya, seperti berjalan pagi atau bersepeda keliling desa, masih menjadi hal yang mengasyikkan. Lantas, saya pun menyadari bahwa saya sendiri sebetulnya telah berproses belajar dari desa beserta penduduknya. Saya berharap masih bisa terus belajar dari desa dengan menikmati perjalanan-perjalanan ke berbagai desa lainnya. Buku ini merekam sebagian pengalaman itu.
Saya ingat pertama kali ide untuk menuliskan suatu tulisan tentang desa wisata muncul dari pengalaman jalan-jalan di berbagai desa di sekitar Malang bersama teman sekampus ketika kuliah Manajemen Pariwisata di Sekolah Pascasarjana Universitas Sahid. Kami banyak berdiskusi usai berkunjung ke desa dan melihat bermacam inisiatif hebat yang dicetuskan oleh warga, termasuk generasi muda, untuk tidak sekadar bertahan, melainkan mengembangkan desa dengan berbagai gagasan, salah satunya aktivitas wisata di desa mereka. Di sisi lain, pemerintah melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif kala itu, juga turut gencar mengembangkan program desa wisata. Jalinan interaksi antara pariwisata dan desa menjadi dinamika yang buat saya penting untuk coba direkam dan terus didiskusikan.
Meski begitu, buku ini bukanlah sebuah hasil penelitian, melainkan upaya untuk membuka ruang dialog tentang desa wisata. Saya harap buku ini dapat menambah perspektif, wawasan, serta diskusi kita untuk pengembangan desa wisata. Segala kekurangan yang ada di dalamnya, tentu menegaskan keterbatasan saya, baik dalam hal pengetahuan maupun pengalaman. Hal ini semoga justru dapat memicu peluang serta kreativitas munculnya ragam gagasan lain untuk mewujudkan keberlanjutan pengembangan desa wisata kini dan nanti.
Saya berterima kasih kepada kedua orang tua saya, Hasmi Haniyah dan (almarhum) Dalidjo, yang memperkenalkan saya untuk pertama kalinya pada desa sebagai akar diri saya; sahabat karib, rekan diskusi, dan teman jalan-jalan, Roni Khoiron dan (almarhumah) Bundo Susy Bhudiharty; Prof. Baiquni dari Universitas Gajah Mada yang percaya naskah tentang desa wisata ini punya peluang untuk diperbincangkan lebih lanjut; guru saya, Bu Maya (Ismayanti) dan Bu Ina (Ina Djamhur); serta tim INSISTPress, Udin Choirudin dan Devananta Rafiq. Buku ini saya dedikasikan untuk para pengajar, peneliti, akademisi, pemikir, penulis, dan aktivis di bidang pariwisata di Indonesia, terutama para pendamping dan pegiat desa wisata.
Nurdiyansah Dalidjo
Kota Bekasi, 12 Juni 2023