Menari di Atas Kuburan Massal: Rekonstruksi Budaya Indonesia Pascagenosida

 

Oleh: Ryan Adi Parameswara dan Anggun Pramesti Cahyani | Departemen Sejarah, Universitas Gadjah Mada | Histma 8(1): 77 – 81

Komunisme di bawah rezim Soeharto memang benar-benar diberangus. Bahkan, secara garis besar, masyarakat Indonesia dikategorikan ke dalam dua golongan yakni patriot nasionalis dan komunis. Seseorang yang mendapat cap komunis dari rezim melalui “bersih lingkungan,” tidak akan mendapat nasib yang jelas, bisa saja dibunuh, menghilang, ataupun disulitkan secara administratif karena dinilai “tidak bersih.” Sementara di sisi yang lain, “bersih lingkungan” secara politis justru menguntungkan Soeharto karena rezim Orde Baru yang ideologi politiknya secara fundamental anti-komunis, dapat melanggengkan kekuasaannya bahkan hingga beberapa dekade.

Tak hanya itu, para perempuan yang dianggap terafiliasi dengan Gerwani harus melapor kepada kantor militer setempat, tak jarang mereka yang melapor digunakan untuk memenuhi kepuasan seksual bahkan menghilang atau tidak kembali ke kampungnya. Praktik prostitusi semacam ini mendiskreditkan bahwa sebenarnya rezim Orde Baru mempraktikkan kembali apa yang dilakukan pemerintah kolonial terhadap perempuan. Pers juga dibungkam secara represif, jika seorang aktivis menyuarakan gagasannya hari ini, maka ia akan mati besok. Hal-hal semacam ini cukup untuk menggambarkan rezim Orde Baru yang selain represif, juga bersikap otoriter.

Jika berbicara mengenai komersialisasi tubuh perempuan, Orde Baru mendiskreditkan tarian keraton Jawa sebagai standar kebudayaan yang adiluhung, sehingga akan sangat terlihat perbedaan antara penari pedesaan dengan penari keraton. Tarian keraton Jawa menjadi standar yang dipegang teguh sebagai simbol peradaban oleh negara. Padahal secara akademis, Amerika Serikat memahami tari-tarian tersebut berasal dari masyarakat yang melakukan pembantaian jutaan nyawa.

Rachmi Dyah Larasati dan teman-temannya sebagai salah satu golongan penari yang berdinamika pada masa Orde Baru, kini pada masa reformasi banyak melakukan replikasi-replikasi serta rekayasa tari guna mengenang tari-tarian yang dikriminalisasi serta direkonstruksi oleh Orde Baru. Tidak ada yang dapat mereka lakukan untuk mengembalikan keaslian tarian yang telah direkonstruksi—kebanyakan tarian pedesaan yang ditigmanisasi dekat dengan komunisme—kecuali dengan memproduksi replika tari tersebut.

Sesaat setelah peristiwa 30 September 1965, militer terutama Angkatan Darat mengeluarkan narasi yang menyudutkan Gerwani. Mereka mengabarkan bahwa Gerwani telah melakukan tindakan keji terhadap para perwira yang diculik pada malam jahanam 30 September 1965. Disebutkan mereka menyiksa para perwira tersebut dengan berpakaian setengah telanjang. Kemudian setelah eksekusi terhadap para perwira selesai dilakukan, Gerwani dan para penculik melakukan pesta seks. Narasi tersebut menimbulkan kemarahan rakyat sehingga bergejolak upaya pembersihan PKI dan unsur-unsurnya termasuk Gerwani di berbagai daerah.

Contoh kasus yang menimpa seorang Gerwani adalah Ibu Puji, seorang Ketua Gerwani Kotapraja Surabaya yang diserahkan kepada hansip dan diperkosa oleh tujuh orang sekaligus. Kasus lain adalah Saina, seorang tahanan politik yang sebelum dijadikan tapol disiksa dan diperkosa agar mengaku bahwa dia melakukan tarian telanjang dan pesta seks pada malam jahanam tersebut. Padahal, kegiatan tersebut tidak pernah ia lakukan.

Kabar burung mengenai perilaku Gerwani yang sebenarnya dibuat-buat kemudian masuk ke surat kabar angkatan bersenjata. Pada surat kabar tersebut dijelaskan bahwasannya anggota Gerwani yang cantik sengaja melacurkan diri. Maka semakin buruklah citra Gerwani. Implikasinya, program peningkatan kebudayaan nasional yang digagas oleh Soekarno kandas. Berikutnya, perkembangan kebudayaan termasuk seni tari akan diawasi secara ketat oleh rezin Orde Baru.

Pergolakan politik yang terjadi pada pertengahan tahun 1965 merupakan titik balik bagi kekuasaan Presiden Soekarno. Peristiwa ini secara historiografis digambarkan seakan-akan hanya berdampak pada aspek politik. Padahal, Peristiwa 30 September 1965 yang menimbulkan pembersihan orang-orang yang diidentifikasi PKI tidak hanya berdampak pada aspek politik. PKI yang memiliki berbagai cabang organisasi seperti SOBSI dan BTI yang tentu saja menyentuh seluruh sendi kehidupan masyarakat di wilayah pro PKI, termasuk salah satunya di bidang seni. Pada tulisan ini, Rachmi Dyah Larasati sebagai seorang penari yang berasal dari pedalaman Jawa Timur memiliki pandangan tersendiri terhadap dampak yang ditimbulkan oleh Peristiwa 30 September 1965. Mulai dari bersih lingkungan terhadap para penari tua yang ada di kampung halamannya, hingga rekonstruksi kembali tari-tari yang sudah lama berkembang pedesaan Jawa. Baginya, di dunia tari Peristiwa 30 September 1965 amat berpengaruh karena berangkat dari kejadian tersebut, makna kultural tarian daerah berubah secara drastis.

Terdapat beberapa tarian daerah yang pada masa awal kebangkitan Orde Baru dianggap tarian terlarang. Tarian tersebut merupakan Jejer yang berasal dari daerah Banyuwangi serta tarian Tayub dan Gandrung yang berasal dari Jawa Timur bagian Barat. Kebetulan tarian-tarian tersebut berkembang di daerah-daerah “merah,” sehingga kerap diikutkan oleh pemerintah Orde Baru dalam upaya penumpasan ideologi partai yang dianggap terlarang tersebut. Tak tanggung-tanggung, beberapa jenis tarian tersebut sampai dihilangkan dari pelajaran seni di kurikulum sekolah. Kala itu guru-guru tari maupun penari yang sudah eksis sebelum Peristiwa 30 September 1965 tidak kembali satu persatu ke kampung halamannya saat “bersih lingkungan.”

Kemudian diceritakan bahwa setelah “bersih lingkungan” dinilai cukup, muncul aturan-aturan pemerintah yang intinya berisi standarisasi tarian daerah seperti Tayub dan Gandrung. Para pelatih tari yang berbasis keraton dengan hawa tarian yang lebih “halus” diturunkan ke desa-desa untuk merekonstruksi tarian-tarian yang dianggap terlarang tersebut sesuai standar yang telah ditentukan. Maka, dapat dilihat bahwa pemerintah sebenarnya tidak mampu menghentikan tradisi tarian yang dilarang tersebut untuk dipertunjukkan, kemudian mereka membuat standarisasi-standarisasi untuk merekonstruksi tari tersebut. Sebenarnya kemunculan kebijakan ini tidak mengejutkan karena memang sejak lama tari-tari daerah ini bergesekan dengan kalangan kyai yang berusaha memperketat syariat Islam. Karena kebanyakan tarian daerah pakaiannya tidak sesuai dengan yang dianjurkan dalam cara berpakaian dalam agama Islam. Kini selain diperhalus, pakaian tari juga ditambah dengan “dalaman” agar tidak terlalu vulgar.

Perilaku pemerintah ini menyebabkan makna kultural asli pada tari-tarian daerah tersebut menghilang serta popularitas tari daerah di kalangan masyarakat pedesaan menjadi menurun. Pada dekade 1990-an tarian daerah ini dilegalkan kembali, tentu dalam bentuk yang telah direkonstruksi. Bahkan sempat dipentaskan di Vietnam pada tahun 1994. Berbagai reaksi serta tindakan pemerintah tersebut sudah cukup untuk menjelaskan bahwa pemerintah Orde Baru ingin mencabut makna kultural tari-tarian pedesaan yang dianggap dekat dengan PKI hingga akar-akarnya. Kemudian, pemerintah berusaha melakukan “sensor” terhadap stigma yang mereka tanamkan pada tarian tersebut dengan melakukan konstruksi pada tari tersebut yang cenderung bersifat kratonisasi.

Kamboja sebagai negara yang sama-sama bangkit dari pengaruh komunis menjadi komparasi dalam buku ini. Cara memperlakukan seni tari pasca pengaruh komunisme dihilangkan antara Kamboja dan Indonesia berbeda. Jika di Indonesia tarian pedesaan sempat dilarang, kemudian direkonstruksi dan dilegalkan kembali. Hal tersebut terjadi karena rezim Orde Baru yang membangun ideologi politik secara fundamental dengan narasi yang menjadikan PKI sebagai dalang Peristiwa Gerakan 30 September 1965. Guna melanggengkan ideologi tersebut, tentu pemerintah Orde Baru harus selalu bersikap anti-Komunis, bahkan memastikan tidak ada yang tersisa dari ideologi terlarang tersebut. “Bersih lingkungan” menjadi salah satu upaya konkret rezim Orde Baru dalam hal ini. Dampaknya, para penari pedesaan yang biasanya terafiliasi dengan BTI maupun Lekra, juga ikut “dibersihkan.” Maka untuk tetap melestarikan tarian pedesaan tersebut tetapi dengan melupakan latar belakang historisnya, Orde Baru memperbarui tarian-tarian tersebut dengan rekonstruksi dan ketika sudah dilegalkan kembali, tarian tersebut sudah kehilangan makna kultural aslinya.

Berbeda halnya dengan Kamboja yang baru selesai bertahan dari komunisme dan kerajaannya yang monarki kembali berkuasa, tari-tarian di sana justru dimaknai sebagai simbol keberhasilan rakyat Kamboja untuk bertahan dari komunisme Pol Pot. Pemaknaan yang berbeda ini dapat terjadi karena format negara Kamboja yang berbentuk kerajaan. Dimanapun itu, terutama di Asia, tari merupakan salah satu aset kultural kerajaan yang sangat berharga. Selain itu, tarian yang dimaknai sebagai kebangkitan dari komunisme ini juga tarian yang memang biasa ditampilkan di Kraton Kamboja. Berbeda halnya dengan tarian pedesaan di Indonesia yang dimaksud. Perbedaan latar belakang dan ideologi politik tersebut pada akhirnya memunculkan reaksi yang berbeda pula dari masing-masing pemerintah kedua negara. Bagaimanapun juga, memang banyak negara-negara yang bertahan dari pengaruh komunisme. Namun, cara bertahan mereka berbeda-beda dan tentu hal tersebut menimbulkan reaksi yang berbeda-beda pula saat Komunisme mulai hengkang.

Di sisi lain, meskipun di Indonesia tarian pedesaan menjadi hilang makna kultural aslinya, tarian tersebut dimasukkan sebagai khazanah kekayaan budaya bangsa. Sehingga, ketika tari-tarian itu dilegalkan kembali, kemudian banyak dipertunjukkan bahkan hingga kancah internasional. Sangat normal pada masa tersebut, ketika sebuah negara melakukan kunjungan ke Indonesia atau sebaliknya, pembukaan akan selalu disuguhkan dengan tarian daerah. Tak jarang, tarian yang ditampilkan adalah tarian pedesaan yang telah direkonstruksi. Maka dapat dilihat bahwa sebenarnya, posisi tarian pedesaan ini sangat kompleks, sejak awal rezim Orde Baru sudah dilarang, kemudian direkonstruksi, dan ternyata setelah dilegalkan kembali digunakan sebagai sarana pengantar diplomasi antar negara. Maka, secara tidak langsung, tari-tarian yang dulunya dicap sebagai tarian orang-orang komunis bahkan hingga dilarang, kini mempercantik citra Indonesia sendiri. Dalam hal ini bukan saja mengenai tariannya, melainkan juga mengenai para penari baru yang diregenerasi dan direkonstruksi gerak tariannya, meskipun tarian tersebut sebenarnya berasal dari pedesaan yang kesannya lebih “bebas.” Sehingga dapat dipahami, bahwa memang tari-tarian pedesaan ini tidak pernah mendapatkan makna kulturalnya lagi setelah Peristiwa 30 September 1965.

Rekonstruksi budaya yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya mendapat respon positif dari masyarakat umum karena mereka dinaungi oleh spirit anti-kolonialisme yang melahirkan rasa nasionalisme dan kebanggaan terhadap budaya sendiri. Sementara itu, pada sisi yang lain, tarian yang dibawakan hingga keluar negeri untuk mempererat atau membuka hubungan diplomatik, ternyata memiliki kepentingan ekonomi selain kepentingan politik. Berarti terdapat kapitalisasi terhadap ketubuhan perempuan penari, karena pertunjukan tari tidak hanya sebagai sarana diplomasi secara politis, tetapi juga sebagai sarana untuk memperoleh kekuatan ekonomi.

Sebenarnya hanya segelintir penari potensial yang mendapatkan akses untuk menari keliling dunia karena proses birokrasi terhadap perempuan yang cenderung sulit. Hal tersebut dilanggengkan oleh golongan islam konservatif dan norma-norma sosial yang bersifat patriarkis. Sehingga kebanyakan penari yang berkeliling keluar negeri biasanya menembus batas-batas norma dari lingkungan kultural mereka. Seperti contohnya adalah penulis sendiri yang menuntut cerai suaminya karena keterbatasan akses yang disebabkan langgengnya birokrasi patriarkis. Birokrasi yang dimaksud adalah ketika seorang perempuan akan bertugas ke luar negeri, maka mereka harus meminta ijin pada suaminya, jika suami tidak menyetujui, maka sepotensial apapun si penari, tidak akan diberangkatkan ke luar negeri. Sistem ini akan sangat sulit untuk diubah, sehingga penulis menyarankan, penari potensial menjauh dari birokrasi dan mengembangkan diri secara internal (di dalam negeri). Sementara mereka yang memang bertugas untuk membawa misi negara melalui tarian, dijadikan sebagai penari khusus.

*Arsip ulasan di Jurnal Histma