PRAKATA BEREBUT BALI: PERTARUNGAN ATAS RUANG & TATA KELOLA

Lima tahun telah berlalu sejak (edisi bahasa Inggris) buku ini pertama kali diterbitkan oleh Palgrave Macmillan. Berjalannya waktu tentu telah membawa dibarengi perubahan kondisi bagi Bali secara umum maupun di lokasi tempat studi kasus buku ini difokuskan, menjadi lebih baik atau lebih buruk. Secara umum, ada beberapa catatan penting tentang kondisi Bali yang perlu saya sampaikan sebagai prakata edisi Indonesia ini. Yang pertama adalah pandemi Covid-19 (2020–2022). Pandemi telah membawa ekonomi Bali ke titik nadir sebagai akibat tingginya dari ketergantungan yang tinggi pada satu sektor ekonomi saja, yakni industri pariwisata. Menurut catatan Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM) Regional Bali, terdapat setidaknya 74.000 buruh pariwisata yang dirumahkan tanpa mendapatkan gaji dan bahkan di-PHK (Radar Bali, 28/08/2020). Sebagaimana saat Bom Bali pertama dan kedua, ajakan kepada buruh pariwisata untuk pulang ke kampung halaman dan kembali ke pertanian berkumandang. Akan tetapi, tanah di kampung halaman sudah dijual, dan kalau pun ada yang tersisa, luasannya tidak lagi memadai dalam untuk menyambung hidup sehari-hari, apalagi membayar cicilan bank dan rentenir.

Seiring dengan berlalunya badai pandemi, kunjungan wisatawan berangsur membaik. Alhasil, upaya melakukan pemberagaman (diversifikasi) ekonomi pun kembali meredup. Laiknya pecandu yang sakau, kondisi ekonomi yang berangsur pulih meningkatkan lagi dosis kecanduan terhadap pariwisata, melebihi dosisnya sebelum pandemi. Dalam mengejar ketertinggalan di masa pandemi Covid-19, pemerintah mendorong percepatan investasi pariwisata yang pada gilirannya melemahkan perlindungan sosial dan lingkungan. Di samping itu, kebijakan pemerintah nasional untuk memprioritaskan pengembangan ‘Sepuluh Bali Baru’ menjadi tantangan bagi industri pariwisata Bali untuk mempertahankan keistimewaannya dalam pasar wisata global. Untuk itu, perluasan komoditas pariwisata dilakukan melalui pengemasan atraksi-atraksi baru, salah satunya wellness tourism (wisata kebugaran).

Upaya mengejar ketertinggalan ini kemudian ‘terbantu’ dengan adanya Perang Rusia-Ukraina. Perang di kawasan Eropa Timur ini membawa peningkatan jumlah ‘turis cum investor’ Rusia dan Ukraina yang menghindar dari kewajiban bela negara di medan perang. Menariknya, tidak seperti negara mereka yang sedang bermusuhan, warga kedua negara tampak akur dan bekerja sama di Bali dalam mengendalikan bisnis mereka. Alhasil, saat ini Bali dibanjiri aliran investasi Rusia dan Ukraina untuk membangun akomodasi, tengoklah misalnya Hidden City di Ubud (Gianyar), Detiga Neano Resort di Bugbugan (Karangasem), maupun Canggu yang kini dijuluki sebagai “New Moscow”.

Perkembangan akomodasi pariwisata Bali pun mengalami perubahan sebagai respons atas krisis. Pasca Setelah Bom Bali I, misalnya, perubahan yang mencolok adalah menjamurnya pembangunan vila, akomodasi pariwisata yang dirancang sebagai ruang privat untuk menciptakan kesan intim dan aman dibandingkan hotel yang bersifat semipublik yang lebih rentan dari aspek keamanan. Di era pascapandemi, bermunculan akomodasi pariwisata yang mengarah pada model enklave mirip ‘kampung’, misalnya proyek Hidden City di Ubud yang akan menjadi ‘Kampung Rusia’. Model enklave ini bertujuan untuk mempertahankan ekslusivitas ala vila namun dapat membangun rasa komunalitas, dimensi yang tidak dimiliki vila yang cenderung individualistis sehingga menyulitkan interaksi sosial di masa pandemi.

Seperti pada investasi-investasi yang lainnya, tentu ada pihak yang mendukung investasi semacam itu. Calo proyek diuntungkan dari komisi, pejabat mendapatkan upeti dengan mengeluarkan izin, dan pemerintah menjustifikasi proyek berdasarkan potensi pendapatan daerah. Akan tetapi, masyarakat Bali kebanyakan masih berada dalam posisi ambivalen: berharap ada lapangan pekerjaan namun sekaligus khawatir akan dampak tidak terkendalinya pariwisata. Saat ini, pertanyaan yang perlu diajukan adalah sampai kapan kita terus berkompromi dengan kecanduan kita pada industri pariwisata. Kita sedang digerogoti kecanduan yang dosisnya terus meningkat sampai pada titik di mana tidak ada lagi ruang yang tersisa bagi kita untuk bernapas lega.

Sebagai gambaran, mari kita tengok sejenak laju penyusutan luasan kawasan lindung di Bali. Pada 1995, kawasan lindung Bali mencakup 33,7% dari luas provinsi;, pada 2009 menyusut menjadi 31,2% dan pada 2020 hanya tersisa 23,09%. Selain itu, kawasan pertanian lahan basah (sawah) juga menyusut. Pada 2009, sekitar 13,5% dari total luasan Bali merupakan persawahan, tetapi pada 2020 luasannya menciut menjadi 10,19%. Penciutan kawasan lindung dan pertanian lahan basah ini merupakan dampak dari perkembangan kawasan budidaya, utamanya kawasan efektif pariwisata yang terus mengalami perluasan (2,2% dari total wilayah Bali pada 2005, menjadi 2,3% pada 2009 dan melonjak ke angka 7% pada 2020). Singkatnya, produksi ruang-ruang baru untuk melayani ekspansi industri pariwisata masih terus berlanjut. Hal ini juga telah dilegitimasi melalui perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Bali 2009 melalui Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Bali No. 3/Tahun 2020 sebagai instrumen reorganisasi ruang yang terkini.

Terlepas dari perubahan penting yang terjadi di Bali saat ini, menurut saya, premis-premis dari buku ini rasanya masih penad untuk kita jadikan bahan perenungan. Hal ini penting mengingat protes terhadap dampak negatif industri pariwisata secara sosial dan ekologis telah menggejala di belahan dunia, misalnya di Kepulauan Canary (Barcelona), Athena (Yunani), dan lainnya. Dalam konteks Bali, kita tidak bisa lagi menggunakan tiga perspektif—pilihan rasional, konservatif, dan institusionalis—sebagaimana diungkapkan dalam buku ini dalam memahami krisis sosial-ekologis di Bali. Hal ini karena ketiga perspektif tersebut problematik dan terbukti tidak membawa kita keluar dari krisis yang melanda. Perspektif pilihan rasional memandang krisis bukan sebagai konsekuensi dari struktur kuasa yang timpang, melainkan sebagai akibat dari pilihan-pilihan rasional pada di tingkat individu. Dengan demikian, pilihan rasional mengarahkan pada solusi terhadap krisis secara atomistis atau perubahan perilaku pada di tingkat perorangan.

Perspektif konservatif tidak kalah problematik. Pendekatan ini melihat krisis sosial-ekologis Bali disebabkan oleh pengaruh dari luar, misalnya globalisasi, modernisasi, individualisme, dan materialisme yang kemudian mengubah budaya orang Bali yang tadinya guyub, spiritualis, dan memegang teguh tradisi menjadi individualistis, materialistis, dan hedonis. Solusi bagi para konservatif Bali ini adalah pengentalan identitas ke-Bali-an dengan mencurigai segala sesuatu dari luar Bali sebagai ancaman bagi budaya Bali.

Saat prakata ini dibuat, Bali sedang menjadi tuan rumah bagi perhelatan internasional World Water Forum 2024. Bali sendiri sebenarnya sedang mengarah pada krisis air. Selain itu, air menjadi sarana ketidakadilan di mana terdapat kesenjangan distribusi dan konsumsi air antara masyarakat lokal dengan wisatawan: konsumsi 1 kamar hotel setara dengan kebutuhan air 15 orang penduduk lokal. Ironisnya, ketika masyarakat sipil Bali, bersama masyarakat internasional, melalui People’s Water Forum (PWF), mendiskusikan isu air yang makin mengkhawatirkan, mereka justru diintimidasi, dibungkam, dan dibubarkan oleh organisasi massa (ormas) bergaya preman yang difasilitasi aparat negara. Seperti halnya perhelatan-perhelatan internasional sebelumnya, forum ini pun didelegitimasi dengan berbagai cara. PWF dituduh sebagai ‘antek asing’ dan diselenggarakan oleh ‘orang non-Bali’. Dalam cara berpikir ini, ‘orang Bali’ diasumsikan menyambut gembira perhelatan internasional World Water Forum—tanpa peduli bahwa apa yang dirundingkan di dalamnya berdampak buruk terhadap kehidupan mereka sehari-hari, misalnya air—karena perhelatan tersebut menjadi indikasi bahwa Bali aman untuk dikunjungi. Lagi-lagi, upaya membenturkan ‘Bali versus non-Bali’ ini merupakan bentuk mobilisasi identitas budaya secara konservatif yang sejatinya melayani kepentingan industri pariwisata.

Ketiga adalah pendekatan institusionalis yang memahami bahwa krisis Bali disebabkan oleh ketaksesuaian model kelembagaan dalam mengelola ruang dan sumber daya Bali. Dalam hal ini, kerusakan alam dan manusia Bali dianggap oleh para penganut pendekatan institusionalis sebagai dampak dari otonomi daerah di tingkat kabupaten/kota yang menyebabkan fragmentasi identitas dan sumber daya bersama yang ada di Bali. Bagi mereka, Bali perlu dikelola menggunakan pendekatan Manajemen Satu Pulau (One Island One Management) yang mana provinsi menjadi pusat kepengurusan budaya dan alam Bali. Mereka secara naif mengasumsikan bahwa pemerintah provinsi akan menjadi pengurus yang lebih baik dibandingkan dengan ‘raja-raja kecil’ di kabupaten/kota. Sejatinya, kedua lembaga tersebut sama-sama tidak kebal dari kooptasi maupun kendali para pemain dengan kekuatan ekonomi yang mampu memengaruhi bagaimana politik lokal bekerja. Hal ini karena institusi (lembaga/pranata) merupakan produk dari konflik sosial dan sekaligus medan pertarungan kuasa dari para pemain sosial dalam mengakses kekuasaan dan sumber daya yang ada di dalamnya. Dengan demikian, lembaga mana pun tidak akan pernah bersifat netral, dan perubahan tata kelola ruang dari satu lembaga ke lembaga lainnya harus dilihat sebagai manifestasi dari perebutan atas kekuasaan dan sumber daya tersebut.

Buku ini menawarkan cara pandang yang berbeda dari ketiga perspektif di atas. Menggunakan pendekatan antropologi hukum dan geografi kritis, melalui buku ini, saya ingin menunjukkan bagaimana krisis sosial-ekologis di Bali terjadi dan bagaimana solusi yang didasarkan pada ketiga perspektif dominan itu telah gagal memberikan solusi dan justru membawa kita jatuh pada krisis yang lebih dalam. Perspektif kritis yang dianjurkan buku ini bertujuan untuk mengajak kita bersama untuk terus menemukan kemungkinan-kemungkinan yang melampaui perspektif dominan dalam rangka mendorong perubahan sosial yang lebih adil dan berkelanjutan. Perubahan sosial ini tidak akan pernah terjadi tanpa didahului munculnya kesadaran kolektif bahwa Bali sedang tidak baik-baik saja.

Akhir kata, saya berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu mewujudkan terbitnya edisi Indonesia buku saya ini. Apresiasi setinggi-tingginya saya sampaikan kepada Achmad Choirudin dan Gede Indra Permana yang telah bekerja keras untuk menerjemahkan buku ini dengan sangat baik, dan juga kepada INSISTPress yang berkenan menerbitkannya.

Agung Wardana

Heidelberg, 24 Mei 2024