Kejahatan Hutang Luar Negeri dan Reformasi Bank Dunia

Rp 65.000

Description

Jurnal WACANA No.03/1999 | Kejahatan Hutang Luar Negeri dan Reformasi Bank Dunia

Negara punya hutang sebenarnya bukan hal baru. Bahkan “negara teokratis” Vatikan pun pernah berhutang kepada para saudagar kaya di bandar-bandar niaga besar Venesia, Genoa, dan Florence, untuk pembiayaan perang Salib. Inggris mungkin negara yang pertama kali secara resmi mengakui punya hutang. Hutang pemerintah Inggris  dari  bangsawan kaya dan pengusaha swasta dalam negeri. Pada 1945, Inggris tercatat sebagai negara penghutang terbesar di dunia, jumlah hutang mencapai GB£ 21,3 milyar untuk pembiayaan Perang Dunia Kedua.

Lantas, bagaimana dengan masalah hutang dalam negeri saat ini? Hal yang paling jelas adalah terjadinya perubahan peta kedudukan para pelaku yang terlibat. Negara-negara penghutang besar masa lalu, kini justru menjadi pemberi pinjaman kepada negara-negara baru merdeka, umumnya bekas negara jajahan mereka.Jika negara-negara seperti inggris atau Belanda di masa lalu meminjam dana dari sumber-sumber dalam negeri mereka sendiri (karena memang ada akumulasi modal yang dihasilkan dari pengurasan kekayaan sumber daya alam dari negeri jajahan mereka), maka negara-negara baru bekas jajahan justru tidak memiliki sumber-sumber itu, dan mau tidak mau, akhirnya harus meminjam pada sumber luar negeri, biasanya justru negara penjajah mereka yang sudah terlanjur kaya-raya lebih dahulu.

Hal penting lainnya adalah sifat hutang dan mekanisme peminjamannya. Hutang-hutang luar negeri saat ini sebagian besar merupakan peminjaman untuk program atau proyek-proyek pembangunan ekonomi, meskipun harus diakui banyak yang khusus atau “sengaja” diselundupkan untuk belanja militer dan perang, seperti Perang Vietnam dan Korea, ataupun Perang Teluk.

Pada tahun 1965, Indonesia_masa Presiden Soekarno menyatakan keluar dari kenggotaan PBB karena tidak senang dengan tekanan dan persyaratan mekanisme hutang  dari Bank Dunia dan IMF kala itu. Namun kembali menjadi anggota setelah rezim Soeharto mengambil kekuasaaan pada tahun 1966.  Nasib Indonesia pun masuk ke dalam “lingkaran kapitalisme” Barat. Kucurabn dan segar (hutang!) muali merambah sektor-sektor penanaman modal, terutama sektor industri manufaktur dan ekstrajsi bahan mentah. Dengan model perencanaan pembangunan bertahap jangka panjang ala Rostowian, perekonomian nasional melaju, sedemikian pesatnya hingga mencapai pertumbuhan rata-rata 7-9% per tahun, terutama padadasa warsa 1980an.

Lalu pada akhir 1990an, krisis keuangan datang. Mulanya krisis mata uang dan moneter, berubah melebar menjadi krisis keuangan dan ekonomi. Di Indonesia, malah berkepanjangan menjadi krisis politik sekaligus krisis sosial yang diwarnai kekerasan. rezim Soeharto tumbang setelah 32 tahun berkuasa. Gelombang reformasi politik dan ekonomi mulai dijalankan, namun landasan perekonomian sudah terlanjur babk belur. Prakarsa Bank Dunia, IMF, dan lembaga internasional lainnya memberikan dana bantuan dan pinjaman baru dalam jumlah besar, ternyat justru semakin membuka borok-borok sistem perekonomian Indonesia yang selama ini sebagian besar dibiayai (dan memang terlalu bertumpu) pad hutang luar negeri. Citra tentang Indonesia yang selama ini “tidak ada masalah dengan hutang luar negeri” (karena dikaburkan dengan istilah “bantuan pembangunan”) serta merta berubah! Mulailah bermunculan analisis-analisis terbuka dan berani memperlihatkan data telanjang tentang berbagai penyakit hutang luar negeri separah yang pernah dialami oleh semua negara penghutang berat dan bermasalah di seluruh dunia.

WACANA kali ini sengaja menyajikan tulisan-tulisan yang lebih membahas masalah hutang luar negeri dari aspek-aspek politik ekonomi, hukum internasional, dan landasan moral maupun etiknya. Mengetengahkan bahwa peran hutang luar negeri dalam pembangunan ekonomi nasional suatu negara, ternyata tidak selamanya atau bahkan nyaris seluruhnya tidak terbukti mensejahterakan negara dan rakyatnya.

(ROEM TOPATIMASANG, Pengantar: Jerat Hutang Luar Negeri, h.2-17)

Daftra Isi:

  • Pengantar | Jerat Hutang Luar Negeri | Roem Topatimasang | h. 2-17
  • Kajian | Hutang Luar Negeri dan Investasi Asing: Mitos dan Fakta | Sritua Arief | h. 18-50
  • Kajian | Pertanggung Gugatan Keuangan Bank Dunia: Agenda Reformasi Mendesak | Kunibert Raffer | h. 51-89
  • Kasus | Hutang Kriminal, Bank Dunia dan Korupsi di Indonesia | Jefrey A. Winter | h. 90-126
  • Kasus | Beban Hutang, Hak Hidup, dan Milenium Pembebasan (Tinjauan Etis) | Yosef P. Widyatmaja | h. 127-133
  • Kasus | Jerat Hutang dan Perubahan Strategi Pembangunan | Ivan A. Hadar | h.134-144
  • Kasus | Menimbang Kembali Uang Emas | Zaim Saidi | h.145-157
  • Tinjauan Buku | Bank Dunia dan Hak Asasi Manusia: Sikap Oportunis [Tinjauan buku Bank Dunia, IMF dan Hak Asasi Manusia karya Daniel D. Bradlow] | Saleh Abdullah | h.158-163
  • Tinjauan Buku | Doktrinasi Hutang [Tinjauan buku Faith and Credit: The World Bank’s Secular Empire karya Susan George dan Fabrizio Sabelli] | Widya Prasetyanti | h.164-168