Description
Mungkin banyak orang Papua kini sudah tidak makan sagu dan lebih memilih makan nasi, atau terpaksa makan sagu karena tak ada uang untuk beli beras. Yang jelas, bagi orang Moi di Tanah Papua Barat, pilihan itu bukan sekadar soal selera. Ia adalah cermin dari perubahan panjang terkait tanah, cara hidup, dan identitas akibat perluasan industri ekstraktif dan pembangunan yang memutus hubungan manusia-alam—keretakan metabolik. Tanah bagi orang Moi bukan sekadar hamparan untuk dipijak, melainkan mama pemberi makan, penyambung perjalanan hidup, pembentuk identitas. Apa yang terjadi ketika mama mereka direnggut? Ketika hutan dibongkar? Ketika sungai tak cukup lagi memberi makan tapi malah membawa racun? Ketika adat harus bernegosiasi dengan kekuasaan negara, modal, dan bahkan agama?
Buku ini menelusuri retakan demi retakan yang mengubah kehidupan Malamoi—dari sagu sebagai makanan pokok hingga nasi dari luar yang dipribumikan, dari hutan sebagai ruang hidup menjadi angka bermata uang, dari adat sebagai cara hidup menjadi kenangan. Namun, apakah semua itu sekadar kehilangan? Ataukah ada sesuatu yang justru lahir dari reruntuhan?
Di tengah berbagai perubahan, orang Moi tetap mencari siasat untuk bertahan, meramu identitas dalam dunia yang makin menjauh dari akar. Dengan narasi yang berpijak pada penelitian mendalam serta refleksi kritis, buku ini mengajak kita untuk menyelami bagaimana budaya pangan bisa menjadi jendela untuk memahami luka, upaya bertahan, dan kemungkinan masa depan sebuah komunitas—sebagai subjek politis dan ideologis—yang terus bernegosiasi dengan zaman.