Melawan Ketergantungan Pada Minyak Bumi

Rp 70.000

Penulis: Effendi Syarief
Pengantar: Roem Topatimasang
Penerbit: INSISTPress & LPTP
ISBN: 979-3457-35-x
Edisi: I,  September 2004
Kolasi: 19×22,5 cm; xi + 227 halaman

Description

Isu bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia telah menjadi sesuatu yang sama mudah terbakarnya seperti BBM itu sendiri. Mengapa? Sudah sangat gamblang: puluhan juta rakyat jelata negeri ini sangat tergantung dan ditentukan peruntungan hidupnya oleh BBM. Sumber energi utama untuk menyalakan api di dapur-dapur rumah mereka adalah minyak-tanah. Kenaikan harga salah satu jenis BBM tersebut dapat berakibat fatal mematikan penyulut api dapur di rumah-rumah penduduk, terutama mayoritas kelas menengah ke bawah.

Buku ini mendedahkan gerakan penggunaan energi alternatif, minyak nabati atau biodiesel berupa minyak jarak dan minyak sawit sebagai sumber energi pengganti atas bahan bakar fosil. Dan ini merupakan upaya konkret mengurangi hegemoni negara-negara maju dan perusahaan transnasional. Dilengkapi dengan panduan teknis yang mudah dipahami dan sekaligus analisa ekonomi-politik untuk gerakan sosial dan pemberdayaan masyarakat.

***

Ada tiga hal unik dan menarik dari buku ini. Pertama, buku ini ditulis berdasarkan pengalaman praktis langsung dari serangkaian percobaan panjang, sejak tahun 1980-an, oleh penulisnya sendiri—seorang anak muda di Kota Solo yang tekun mencoba dan mencoba terus, bahkan ketika telah bekerja sebagai teknisi dan koordinator program lapangan pada Badan Kerjasama Teknik Internasional Jerman (GTZ) di Flores dan, kemudian, di beberapa negara Afrika, dan di Jerman sendiri. Ketekunannya itulah yang mengantarnya ke dalam lingkaran para peminat dan penganjur BBM alternatif sedunia, yang tergabung dalam jaringan BioDiesel Internasional. Berbeda dengan banyak karya tulis sebelumnya, buku ini justru lahir dari suatu proses induktif yang kaya dengan contoh-contoh nyata, tapi tetap tidak mengabaikan uraian-uraian teoretik dasar yang baku. Meskipun berusaha keras menyederhanakan bahasanya sedemikian rupa, agar para pembaca awam—yang menjadi sasaran utama buku ini— dapat benar-benar mengerti uraian-uraiannya—yang dalam banyak hal memang tak terhindarkan untuk menjadi sangat teknis—sang penulis cukup mampu menjelaskan dengan baik, lengkap, dan rinci, mengenai pengertian-pengertian dasar biokimia, termodinamika, dan mekanika dari tawaran alternatif BBM nabati dan BioDiesel yang diunggulkannya.

Kedua, buku ini tetap mampu melihat konteks permasalahannya secara lebih menyeluruh, mulai dari aspek-aspek teknis sampai ke aspek-aspek non teknis, terutama dalam keterkaitannya dengan masalah-masalah dampak lingkungan hidup dan perusakan ekosistem. Jelas, sungguh tidak memadai dan lengkap sama sekali, jika masalah energi tak dikaitkan dengan salah satu isu gawat tersebut. Dan, lagi-lagi, sang penulis mampu menguraikannya secara praktis dan mudah dipahami, dan tetap mendasarinya pada uraian-uraian teori baku.

Ketiga, buku ini sekaligus menawarkan alternatif pemecahan yang sangat masuk akal, tidak hanya berhenti sekedar mengecam dan menyatakan ketidaksetujuan pada apa yang dinilainya sebagai pilihan yang salah dan keliru selama ini. Dan, sekali lagi, dia mampu mengaitkan gagasan dan usulan alternatifnya dengan konteks yang lebih luas, yakni aspek-aspek politik-ekonomi dan sosial dari permasalahan energi dan isu lingkungan hidup yang menjadi inti perhatian utamanya. Dalam hal ini, harus diakui bahwa uraian-uraiannya memang masih sangat umum, sering melompat-lompat atau melenceng terlalu lebar. Mungkin karena dia memang seorang teknisi yang, tentu saja, lebih memahami seluk-beluk ‘mesin mekanik’ katimbang ‘mesin sosial’ yang bernama sistem politik dan ekonomi—walaupun tak buta sama sekali dengan hal yang terakhir ini. Pengalamannya sebagai aktivis di beberapa organisasi non pemerintah selama ini, tetap meninggalkan jejak jelas dalam inti uraiannya ketika menyoroti masalah tersebut, terutama ketika dia menekankan pentingnya penerapan alternatif yang ditawarkannya sebagai bagian terpadu dari suatu gerakan masyarakat yang lebih luas.

Walhasil, sebagai seorang praktisi dan juga aktivis gerakan sosial—dengan latar belakang sebagai mantan pelajar filsafat yang sempat terpesona dengan teorama-teorama termodinamika dan fisika kuantum—saya sendiri melihat hal yang ketiga itulah yang paling menarik dan terpenting dari buku ini. Hukum termodinamika ketiga pun sudah menegaskan bahwa impian hukum kedua sebelumnya—bahwa suatu sistem, setelah melewati serangkaian proses atau tahapan tertentu, selalu akan kembali ke keadaan sesempurna sebagaimana awalnya—tidak akan pernah benar-benar tercapai.

Singkat dan sederhananya, kesadaran akan keterbatasan sumber energi konvensional selama ini semestinya tidak hanya melahirkan kesadaran untuk berhemat dalam penggunaannya, tetapi juga kesadaran bahwa isu tersebut—dengan segenap dampaknya yang merusak—sekaligus merupakan suatu sumber ‘energi’ atau ‘bahan bakar’ baru untuk menggerakkan suatu bentuk perubahan sosial ke arah suatu tatanan masyarakat masa depan yang lebih hemat sumberdaya dan energi, tetapi lebih adil dalam pembagian dan pemanfaatannya. Ukuran kemakmuran dan kesejahteraan mestinya bukan lagi pada seberapa banyak sumberdaya dan energi yang digunakan, tetapi pada seberapa banyak manfaat merata yang diperoleh dari pemakaiannya yang sesedikit mungkin, yang sangat ketat dibatasi hanya dari jenis-jenis dan sumber-sumber yang benar-benar dapat diperbaharui saja. Suatu gerakan perubahan sosial, karena itu, bisa saja dimulai dari isu-isu praktis keseharian semacam itu.” Roem Topatimasang dalam pengantar buku.