Negeri Tentara: Membongkar Politik Ekonomi Militer

Rp 65.000

Description

Jurnal WACANA No.17/2004 | Negeri Tentara: Membongkar Politik Ekonomi Militer

Enam tahun sesudah gerakan pro-demokrasi di Indonesia melengserkan Jenderal Besar Soeharto dari singgasana kepre­si­denannya, tuntutan penghapusan peran politik militer dan po­lisi, yang dulu tergabung dalam satu wadah ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), kini telah menabrak tembok. Apa yang ter­jadi justru sebaliknya: gerakan pro-demokrasi kini harus berhadapan dengan arus balik perlawanan militer terhadap usaha-usaha de­mokratisasi di Indonesia. Masalah ini sangat serius, sebab militer di negeri ini telah bermetamorfosa menjadi kekuatan politik yang pa­ling menentukan, dan di bidang ekonomi pun kekuatannya tidak da­pat diremehkan. Dengan kata lain, kita sudah dapat berbicara tentang remiliterisasi di Indonesia.

Indikatornya sekedar indikator kekuatan militer di la­pangan, tapi juga indikator kedigdayaan militer dalam seluruh konstelasi politik di Indonesia, karena dua hal. Pertama, penyerbuan be­sar-besaran ke Aceh sejak Juni lalu didasarkan pada Keputusan Presi­den­ Megawati Soekarnoputri sebagai Panglima Tertinggi ABRI. Ke­dua­, biaya perang di Aceh mendapat lampu hijau dari parlemen, de­ngan janji masih dapat ditambah lagi apabila dibutuhkan. Untuk enam bulan pertama, sejak Juni sampai dengan 9 November 2003, par­lemen mengesahkan anggaran sebanyak Rp 1,2 trilyun untuk biaya pe­ngiriman dan operasi pasukan di Aceh. Sedangkan untuk enam bulan berikutnya DPR RI telah menyetujui anggaran sebesar Rp 1,3 trilyun. Tidak jelas, dari mana asal dana yang disediakan untuk membia­yai pasukan TNI dan Polri di Aceh, sebab tidak mungkin diambil dari APBN yang sudah ditentukan alokasinya tahun lalu. Apakah ada per­u­sahaan—atau perusahaan-perusahaan—yang menalangi biaya itu? Ka­lau ada, apa imbalan yang diharapkan pihak swasta itu dari para ser­dadu kalau mereka berhasil menumpas pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka? Lalu, bagaimana kelanjutan usaha segitiga antara pe­me­rintah Indonesia, parlemen Indonesia, dan perusahaan-perusaha­an­ yang menalangi biaya operasi militer itu? Tapi yang lebih prinsip lagi adalah: apa dampak bagi kehidupan de­mokrasi di Indonesia yang masih sangat rapuh dan rentan, bahwa par­­lemen kita, yang konon tersusun dari hasil pemilihan umum paling­ de­mokratis sejak zaman Soeharto, dapat begitu mudah menyerah meng­hadapi ‘todongan’ militer sebanyak trilyunan rupiah, pada saat eko­nomi nasional kita masih begitu morat-marit?

(GEORGE JUNUS ADITJONDRO, Pengantar. Reformasi di Titik Balik? Membongkar Upaya-upaya Remiliterisasi di Indonesia, h.3-16)

Daftar Isi:


>> lihat versi bahasa Inggris | English version-click

>> edisi lainnya, lihat daftar jurnal WACANA