Dari Diskusi ’Dongeng, Alusi Dan Sastra’; Mitologi Jawa Tidak Menarik Lagi*
Mengangkat dongeng, mitologi masih memiliki daya tarik untuk dikemas menjadi karya sastra kontekstual. Tentu, mitologi itu tidak sekadar diceritakan kembali, tetapi harus dilakukan tafsir ulang agar tetap memiliki nilai kontekstual dengan perkembangan zamannya. Hanya saja, mitologi Jawa agaknya sudah jenuh, tidak menarik lagi. Kondisi ini terjadi karena sudah terlalu banyak dibicarakan dan dikisahkan dalam khasanah sastra Indonesia.
Demikian pengamatan yang mencuat dalam diskusi bertema ‘Dongeng, Alusi (Pasemon) dan Sastra’ di Toko Buku Toga Mas, Gejayan, Rabu (13/4) malam. Diskusi menghadirkan pembicara Dr Faruk HT, Hairus Salim HS, Gunawan ‘Cindhil’ Maryanto dengan moderator Puthut EA. Diskusi diselenggarakan setelah peluncuran kumpulan cerpen ‘Bon Suwung’ karya Gunawan ‘Cindhil’ Maryanto, serta disemarakkan dengan pembacaan cerpen oleh Naomi Srikandi, Whani Darmawan dan Slamet Gundono.
Menurut Faruk HT, sesuatu yang sudah sering ditulis dan dibicarakan biasanya menjadi tidak menarik lagi. “Fiksi bersetting Jawa sudah terlalu banyak ditulis, seperti sudah tidak memiliki daya tarik lagi,” ucap Kepala Pusat Penilitian Kebudayaan UGM. Kalau toh masih ditulis dalam fiksi, kata Faruk HT, harus memiliki kemampuan melakukan eksplorasi, seperti style bertutur dongeng, atau pola alusi alias pasemon. Harapannya mampu memunculkan metafora-metafora yang benar-benar mendalam dan sublim.
Sedangkan Hairus Salim berkomentar, pembaca akan terjebak kalau cerpen dianggap sesuatu yang menghibur. “Cerpen-cerpen Gunawan Maryanto justru bikin bingung, menyesakkan dada. Butuh 2-3 kali baca ulang untuk bisa memahami makna,” katanya. Hal ini terjadi, cerpennya tidak ada alur, terlalu banyak metafora, sehingga untuk mencapai tataran makna seperti harus menembus berlapis-lapis metofora itu. Tapi inilah, sesuatu risiko mengangkat alusi dan mitologi masa silam. Tokoh-tokoh yang hadir serba gelap, misterius. “Membaca cerpen nuansa mitologi benar-benar dibuat merenung,” katanya. Diakui Gunawan Maryanto, ia sengaja membuat cerpen mengajak pembaca merenung, melakukan refleksi pada masa silam. “Saya mengajak pembaca melakukan tafsir ulang mitologi. Ketika bertemu dengan mitos menjadi sebuah teks baru dan makna baru,” tandasnya. Inilah, kata Gunawan, barangkali sebuah dialektika masa silam, masa kini bahkan masa datang. (Jay)-g
*Sumber: Kedaulatan Rakyat, 18 April 2005
*Kabar acara diskusi buku: Bon Suwung: kumpulan cerpen/ Gunawan Maryanto/ INSISTPress, 2005.