Bahan Permenungan bagi Bangsa Indonesia

Bahan Permenungan bagi Bangsa Indonesia*

BANGSA Indonesia, hingga hari ini, masih dicekam budaya kematian dan kemurungan. Kekerasan struktural berupa konflik manifes (antaragama dan antaretnis) maupun konflik laten (kemiskinan, ketidakadilan, dan pengungsian) merebak di mana-mana. Konflik manifes maupun laten itu masih berkecamuk di Aceh dan Maluku akibat pertikaian senjata kelompok gila ambisi, kekuasaan, dan klaim kebenaran.

Kekerasan bukan hanya menimbulkan jatuhnya korban nyawa, tetapi juga robohnya ketahanan psikis-mental. Masyarakat Aceh dan maluku, sebagaimana Timor Timur menjelang maupun pascareferendum, dicekam trauma, ketakutan luar biasa, dan ketidakpastian berkesinambungan. Kelompok-kelompok yang bertikai telah kehilangan naluri dan kreatifitas kemanusiaan buat mencari penyelesaian konflik secara damai.

Para pihak yang bertikai, meski mengklaim sebagai kelompok paling benar dan kuat, sebenarnya mereka lemah. Mereka menghabiskan energi hanya untuk melakukan kebodohan natural manusia yakni saling menyalahkan dan membunuh.

Di tengah kepungan situasi budaya kematian dan kemurungan kalbu, ajaran para pejuang kemanusiaan dan perdamaian bagaikan oase di tengah padang pasir kehidupan. Diktum inilah yang pantas dikemukakan guna mengapresiasi buku Dom Helder Camara, Spiral and Violence dalam edisi Indonesia. Buku aslinya sudah terbit tahun 1971. Camara sungguh seorang pejuang kemanusiaan dan perdamaian yang bisa disejajarkan dengan Mahatma Gandhi atau Martin Luther King Jr. ***

CAMARA dibesarkan di tengah komunitas Amerika Latin yang bergelimang ketidakadilan, kemiskinan, represi, dan kekerasan. Ia, di atas batu karang Brasilia, tumbuh menjadi tokoh teologi pembebasan, pekerja sosial yang gigih, dan pejuang antikekerasan yang tak kenal lelah. Sebagai uskup agung, jabatan tinggi dalam hirarki gereja, ia tetap hidup sederhana memberdayakan umatnya dalam menghadapi kezaliman penguasa.

Buku Spiral Kekerasan ini didasarkan pada pengalaman hidup Camara sebagai pemuka agama, pekerja sosial, dan aktivis perdamaian. Hidupnya membuahkan teori tentang kekerasan yang orisinil, tajam, dan berakar pada realitas hidup.

Buku ini sangat inspiratif untuk agenda aksi menjungkirbalikkan budaya kekerasan. Teori Camara bisa disejajarkan dengan teori kekerasan struktural Johan Galtung (1975). Teori Galtung itu deduktif-analitik, maka sukar dipahami. Teori Camara induktif-analitik, diangkat dari observasi dan pengalaman lapangan, sehingga lebih lugas, mudah dimengerti.

Teori Camara menjelaskan bekerjanya tiga bentuk kekerasan personal, institusional, dan struktural, yang bisa berupa ketidakadilan, social riots (kerusuhan sosial), dan represi negara. Sebagai strukturalis Camara yakin bahwa fenomena kekerasan merupakan realitas multidimensi yang saling terkait.

Dari ketiga bentuk kekerasan itu yang paling mendasar (menjadi sumber utama) adalah ketidakadilan sosial ekonomi, katanya. Ia menyebut ketidakadilan sebagai kekerasan nomor wahid.

Camara melihat kekerasan nomor 1 menimpa baik perseorangan, kelompok, maupun negara sebagai buah makin terkonvergensinya negara berkembang dalam sistem kapitalisme global. Ketidakadilan merupakan buah upaya elite nasional, sebagai kaki tangan atau agen rezim kapitalis internasional dalam rangka memelihara interes mereka. Ujung-ujungnya melembaga kondisi subhuman.

Rakyat kebanyakan dikondisikan hidup di bawah standar yang layak sebagai manusia normal. Kondisi miskin-papa-hina-dina ini mendorong munculnya berbagai bentuk kegaduhan sosial (kekerasan nomor-2).

Aparat negara turun tangan memelihara ketertiban menggunakan politik laras bedil. Represi negara atas pembangkangan dan keonaran sipil merupakan kekerasan nomor 3. Mekanisme kerja ketiga bentuk kekerasan itu menyerupai spiral. “Ketika kekerasan susul-menyusul silih berganti, dunia jatuh ke dalam spiral kekerasan”, tulis Dom Helder Camara. Teori spiral kekerasan membenarkan postulat “kekerasan merupakan mata rantai kekerasan lainnya”.  ***

TEMUAN Camara tentang “siklus” kekerasan ini menelanjangi kebobrokan sistem pembangunan ekonomi, sosial, dan politik di negara-negara berkembang. Pembangunan itu dalam praktiknya tak lain hanya sebagai gedibal (jongos dan babu) rezim kapitalisme global.

Pembangunan adalah kemasan baru dari anggur lama kapitalisme, yang dari sono-nya penuh riba, ketimpangan, dan ketamakan. Pemerataan dan keadilan adalah nonsens. “…satu-satunya jawaban untuk mengatasi kekerasan adalah keberanian memberantas ketidakadilan…”, begitulah penegasan Camara.

Gerakan antikekerasan Camara tak sebatas kampanye atau propaganda. Ia juga bergerak langsung memberdayakan masyarakat di tingkat akar rumput. Strategi yang ditempuhnya adalah penyadaran (konsientisasi) dan transformasi etik dengan visinya yang terkenal Human Brotherhood dan Abrahamic Minorities.

Gerakan antikekerasannya diwadahinya dalam AJP (Action for Justice and Peace) dan MEB (Movement for Basic Education). Dalam keragaman strategi dan aksinya, Camara melihat bahwa kekerasan bukan gejala sembarangan.

Misi, visi, dan aksi Camara menjungkirbalikkan kekerasan boleh dibilang lintas etnis, agama, ras, dan negara, pendeknya menembus berbagai sekat-sekat sosial-primordial.

Camara adalah pejuang kemanusiaan dan perdamaian milik siapa saja. Uskup Agung aktivis ini senantiasa menyerukan semua umat beragama bersatu, menyatukan visi, dan membuka kembali kitab-kitab suci untuk menemukan ajaran kemanusiaan universal dalam rangka melawan musuh nyata ketidakadilan.

Gerakan camara adalah perpaduan antara dunia empiris dengan teori, antara praktik dengan imajinasi, antara isu-isu personal dengan isu-isu publik di tingkat nasional maupun global. Hasilnya sebuah formulasi teori dan strategi aksi yang komprehensif dengan rumusan agenda aksi yang jelas.  ***

TAK usah panjang lebar komentar terhadap buku yang inspriratif ini. Bagi bangsa Indonesia yang hingga kini tak pulus dirundung kekerasan, buku ini jelas amat berguna sebagai bahan permenungan siapa saja. Ya rakyat jelata yang kurang mengerti politik, sampai para penggede bangsa ini.

Mereka semua, kalau memang berkehendak baik, dapat “bertemu” dalam semangat Camara, yakni melawan ketidak adilan dalam rangka merealisasaikan rasa kemanusiaan.

Ide-ide dan langkah Camara tersebut dapat dijadikan bekal untuk refleksi maupun aksi mengatasi budaya kematian dan kemurungan kalbu yang masih menghantui bangsa Indonesia.

*Oleh: J Sumardianta, guru SMU Kolese de Britto Yogyakarta. Sumber: Harian KOMPAS –  Senin, 17 Juli 2000.

*Rehal buku: Spiral Kekerasan/ Dom Helder Camara/ Komunitas Apiru (penerjemah)/ INSISTPress, 2000.