Menuju Pendidikan ‘Keadilan Sosial’*
Freire, Schumacher, dan Blaug bersetuju dalam satu hal meski pada periode berbeda: pendidikan adalah sebuah alat pembebasan. Itulah salah satu hal yang ingin disampaikan dalam buku tulisan Francis Wahono ini. Dalam masyarakat Indonesia, pendidikan adalah sektor kesejahteraan rakyat yang harus dibiayai oleh negara dan selalu harus diurus oleh birokrasi. Pendidikan kita sepenuhnya menjadi urusan pemerintah yang ditangani oleh para birokrat, sehingga masyarakat seolah mengalami “mati rasa” ketika terjadi kerancuan bernalar dalam sistem pendidikan nasional: ada pembedaan antara sekolah negeri dan sekolah swasta.
Opini publik yang terbangun selama ini adalah bersekolah di sekolah negeri biayanya jauh lebih murah ketimbang di sekolah swasta. Dari mana sumber dananya, kita tak pernah ambil pusing. Namun, tidak demikian halnya dengan Francis Wahono, yang telah melakukan riset terhadap kondisi riil pendidikan kitasalah satunya tentang dikotomi lembaga pendidikan negeri dan swasta. Wahono mengurai kerancuan bernalar dan mempersoalkan adanya subsidi bagi sekolah negeri.
Orang tua yang menyekolahkan anaknya di lembaga negeri ataupun swasta sama-sama membayar pajak, tetapi mengapa ketika pajak yang dikumpulkan negara dan semestinya dikembalikan ke masyarakat secara adilantara lain berupa pembiayaan kependidikanhanya dikembalikan lewat jalur lembaga pendidikan negeri? Hal ini, menurut dia, berarti warga negara yang menyekolahkan anaknya di sekolah swasta juga bertindak sebagai penyubsidi sekolah negeri. Wahono juga membuka mata pembaca bahwa dikotomi itu sebenarnya adalah warisan pemerintah kolonial yang masih lestari hingga kini.
Pada masa kolonial, yang dimaksud negeri adalah sekolah milik pemerintah kolonial, sedangkan swasta adalah sekolah nonpemerintah, yang zaman itu diwakili oleh sekolah Kartini dan Taman Siswa yang notabene adalah “musuh” kolonial. Karena itu, dikotomi ini harus segera diakhiri karena disinyalir telah menjadi sumber ketimpangan ekonomi sosial. Kerancuan bernalar juga menimpa sekolah desa dan sekolah kota. Riset Wahono menunjukkan bahwa secara tak sadar telah terjadi proses penguatan ketidakadilan sosial. Nasib sekolah kota sama baiknya dengan sekolah negeri: menjadi pusat limpahan subsidi pemerintah. Sebaliknya, sekolah desa justru menjadi sekolah yang menyubsidi pemerintah lewat berbagai macam pajak dan sumbangan. Padahal sekolah yang lebih membutuhkan subsidi adalah yang berlokasi di desa. Akibat dari ketidakadilan ini, banyak sekolah desa yang defisit dan terancam tutup. Terhadap masalah tersebut, sebenarnya kita bisa memetik pengalaman dari Amerika Serikat dengan program free education untuk murid taman kanak-kanak sampai siswa kelas 12. Dengan demikian, tidak seorang anak pun yang terancam mengalami hambatan biaya sekolah. Benarkah siswa bebas biaya? Tidak demikian sesungguhnya. Orang tua memang tidak dibebani biaya sepeser pun ketika memasukkan anaknya ke sekolah. Tetapi mereka adalah pembayar pajak kekayaan daerah yang rupanya dikoleksi dan dialokasikan untuk kepentingan sektor pendidikan di setiap distrik.
Membaca buku ini kita seolah diajak membedah perut dunia pendidikan nasional dengan pisau analisis yang tajam. Karena itu, buku ini dapat dikatakan sebagai buku kritik pendidikan yang mengantar pembaca pada kesadaran bahwa pendidikan kita dalam kenyataannya tengah mengingkari visi dan misi utamanya: memanusiakan manusia. Atau, dari kaca mata analisis politik ekonomi, tengah mengalami dekadensi dan degradasi. Penulis juga menyoroti praktek pendidikan yang sudah menyerupai sebuah perusahaan yang mengubah siswa tidak hanya menjadi bijak dan cerdas, tetapi menjadi aset yang memberikan keuntungan finansial bagi lembaga pendidikan. Bukan rahasia lagi, sekolah-sekolah kita telah menjadi “kapitalis” dengan berkompetisi lewat persaingan prasarana dan gedung sekolah yang dimiliki. Citra “sekolah bermutu” dibelokkan pada sekolah yang memiliki fasilitas komplet, mahal, dan gedung megah. Maka, tidak salah bila dalam pengantarnya Mansour Fakih mengatakan bahwa pokok pikiran dasar buku ini merupakan peringatan bahwa kita harus mencegah pendidikan yang berakibat menjadikan manusia terdidik menjadi eksklusivistis, elitis, karena kedudukannya sebagai kelas kaum terpelajar.
Lewat buku ini, Wahono mengajak pembaca turut berupaya mengembalikan pendidikan pada semangat awalnya: pendidikan sebagai wahana untuk memanusiakan manusia serta wahana untuk pembebasan manusia. Salah satu caranya, berbekal momentum reformasi yang pernah digulirkan, sudah saatnya mengubah paradigma pendidikan “kompetitif” berpendekatan “sumber daya manusia” menjadi paradigma pendidikan “keadilan sosial” berpendekatan “pemberdayaan manusia”. Momentum itu, dalam kaca mata Wahono, adalah transformasi cara bernalar dan bertindak bangsa.
*A. Ariobimo Nusantara | Artikel ini berasal dari Majalah TEMPO – 12 November 2001.
*Rehal buku: Kapitalisme Pendidikan: Antara Kompetisi dan Keadilan/ Francis Wahono/ INSISTPress, Cindelaras, Pustaka Pelajar, 2001